Catatan Harian

Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi.

Hidup kami sering berpindah-pindah. Masih nomad. Selepas menikah, kami pergi ke Australia karena saya harus melanjutkan pendidikan magister. Setelah dua tahun tinggal di Melbourne, kami kembali ke Indonesia ketika Amartya berumur satu tahun dan Yarra dalam kandungan.

Selepas itu, istri dan anak-anak mengungsi ke kampung. Tak lama setiba dari Melbourne, saya harus ke Belanda karena mendapatkan kesempatan fellowship di Leiden dan Utrecht.

Selepas dari Belanda, ketika kaki baru menapak dan hidup mulai mapan, dengan pekerjaan yang lumayan bagus, saya memutuskan untuk kembali sekolah. Saat itu belum genap 5 tahun bekerja. Tapi langkah matang harus segera diambil. Meski istri sedikit keberatan, alasan saya waktu itu sederhana: ada cita-cita yang harus diwujudkan mumpung usia masih relatif muda.

Pekerjaan dan pijakan yang mulai ajeg ditinggalkan kembali. Kami pindah ke Los Angeles. Ribuan mil ditempuh. Kehidupan mapan ditanggalkan. Anak-anak sementara kehilangan kawan-kawannya. Istri saya tidak bisa lagi arisan dan ngerumpi. Saya tak bisa lagi ngopi-ngopi.

Hidup sebagai mahasiswa yang hidup dengan beasiswa di tahun pertama penuh kekhawatiran. Dengan anak dua, beasiswa yang diberikan hampir tidak cukup kalau kami tidak mengencangan ikat pinggang. Tabungan mulai terkuras karena hidup di negeri orang tak hanya soal makan dan tempat tinggal. Butuh bayar uang telpon, uang asuransi jiwa dan mobil, bayar tagihan bulanan.

Kami masih ingat, tahun pertama begitu berat. Setiap belanja benar-benar dihitung. Kita selalu mencari supermarket paling murah. Untung Los Angeles menyediakan banyak pilihan tempat belanja, termasuk super market untuk kelas menengah bawah atau pelajar seperti saya.

Seiring berjalan waktu, kehidupan mulai membaik pada tahun kedua. Kampus membuka lowongan pekerjaan sebagai asisten peneliti bagi profesor. Saya mendaftar dan diterima untuk bekerja membantu Profesor pembimbing saya. Gaji bulan pertama kami syukuri. Hidup teras lebih leluasa. Sekarang kami bisa sesekali makan di restoran.

Dan waktu berjalan seperti kilatan cahaya. Ketika kehidupan mulai mapan, tiba-tiba datang masa di mana kami harus angkat kaki lagi. Kali ini beasiswa habis. Tidak mungkin hidup di Amerika tanpa sokongan dana pihak ketiga. Saya bukan anak Abu Rizal Bakrie atau Erik Tohir. Mustahil hidup dengan biaya minimal 2700 perbulan dari uang sendiri.

Dengan berat hati kami harus segera menyadari apa yang akan dihadapi segera: pindah kembali ke Indonesia. Apa-apa yang sudah kami miliki harus siap-siap dibuang. Sebagian didonasikan. Sebagian lagi diberikan.

Dengan semua konsekuensi, akhirnya hari di mana kami harus pindah kembali datang juga. Padahal saat itu kami baru saja ajeg. Baru saja menikmati sedikit keleluasaan hidup. Istri sudah memiliki kawan dan komunitas. Anak-anak sudah mengakar di sana. Amartya masuk di sekolah unggulan karena lumayan pandai dan berprestasi. Saya tinggal sedikit lagi menyelesaikan penulisan disertasi.

Keputusan pulang ini diambil setelah 3 aplikasi pengajuan dana tidak diterima dan tidak jelas rimbanya. Dua pengajuan ke kampus jelas ditolak. Satu lagi tidak jelas juntrungannya.

***

Yang satu terkahir ini sungguh mengecewakan.

Cerita singkatnya begini: sekitar pertengahan Juli tahun lalu (2020), senior yang bekerja di kementrian Ikhlas Beramal menghubungi saya. Intinya memberitahu ada yang bertanya nasib kuliah saya di Amerika. Saya jelaskan perkembangan studi saya dan harapan beasiswa baru. Sedikit mustahil kuliah Ph.D di Amerika selesai dalam 4-5 tahun.

Tak lama setelah ia menanyakan kabar, kawan lain yang juga bekerja untuk kementrian Ikhlas Beramal bertanya hal yang sama. Sepertinya itu pertanyaan yang diajukan orang yang sama lewat dua saluran berbeda.

Tak berselang lama, saya dihubungi untuk segera memasukan aplikasi untuk sebuah program beasiswa. Saya ingat betul, saya memasukan dua aplikasi. Saya cukup optimis karena saya tidak meminta, tetapi diminta. Mereka yang proaktif menghubungi saya pada awalnya. Aplikasi itu ibarat sebersit cahaya diujung lorong dalam kegelapan harapan.

Seperti biasa, kementrian Iklas Beramal selalu memberitahu kesempataan dengan tengat waktu mepet-mepet. Saya diminta memasukan semua persyaratan yang sedikit ribet itu dalam dua hari.

Setelah ke sana kemari dalam satu hari itu saya bisa menyiapkan semua persyaratan. Pihak Konsulat RI di LA mudah dihubungi dan sangat membetu karena saya cukup aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia. Pihak Fakultas di UCLA langsung membuatkan surat saat itu juga. Begitupun Profesor. Mereka sangat senang jika saya punya funding baru, meski cuma satu tahun.

Esok harinya, semua aplikasi saya kirim.

Waktu berjalan. Siang berganti malam, mingu beranti bulan. Harapan tetap tinggi. Jika pengajuan atas permintaan mereka ini diterima, minimal saya bisa bertahan di US sampai setahun lagi. Artinya saya bisa selesaikan disertasi, lantas pulang. Artinya juga mungkin saya bisa berkarya: dua tulisan jurnal sudah saya rencanakan. Lumayan bisa membantu akreditasi kampus di Indonesia. Selama ini, hal itu yang bisa saya bantu.

Tapi rupanya kementrian Ikhlas Beramal itu seperti hutan rimba. Atau seperti lautan teka-teki tak bertepi. Tak pernah ada lagi kabar setelah saya memasukan aplikasi. Semua kontak yang menghubungi saya sebelumnya, sudah saya hubungi kembali. Tapi tak pernah ada balasan.

Saya hanya ingin sekedar mendapat kejelasan. Tak enak di-PHP dan digantung. Saya sama sekali tidak merasa kecewa jika ada kepastian ditolak sekalipun. Bukankah mereka tinggal bilang: “mohon maaf permohonan anda ditolak.” Apa sulitnya menulis satu penggal kalimat atau email? Sampai detik ini saya tak mendapat kabar atau balasan apapun. Tak jelas di mana aplikasi saya. Mungin dimakan rayap, atau disembunyikan Kalong Wewe.

Ketika memasukan aplikasi itu, bayangan map terselip atau hilang, seperti pada aplikasi-aplikasi lain, sudah terbayang. Tapi saat itu muncul sedikit harapan kecil: mungkin sekarang ada perbaikan. Tapi ternyata masih sama saja. Jika berurusan dengan mereka kita masih harus selalu ikhlas–sambil terus berdoa.

Tadinya saya dan istri berniat bertahan di LA, dengan menguras tabungan yang hanya sedikit, sambil menunggu kejelasan informasi dari Kementrian Iklas Beramal. Tapi saya segera sadar, sepertinya tak akan pernah ada berita apa-apa. Dan karena itu saya memutuskan kembali ke Indonesia karena tak ada pilihan apapun yang lebih baik. Tak baik berharap pada pepesan kosong.

Mohon maaf atas curhatannya.

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: