Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi (Bagian 2)

“Zen, kenapa tidak mencoba mendaftar program TA, atau Teaching Assistant?” Tanya seorang kawan.

Dalam banyak pengalaman kawan, jika beasiswa dari donor habis sebelum studi selesai, mahasiswa Ph.D bisa mendafar untuk menjadi TA dan kerena itu bisa terus studi dan bertahan di kampus tersebut.

Beberapa kawan Fulbrighter berhasil menempuh model seperti ini. Mereka terus melanjutkan studi dengan bekerja sebagai TA. Dengan bekerja sebagai TA, kampus akan membayar uang kuliah (tuition) dan sekaligus memberikan uang makan bulanan, semacam gaji. Dengan begitu mereka bisa lanjut studi meski dengan beban fokus yang terbagi.

“Law School di Amerika tidak memiliki anak mahasiswa S1. Sebagian besar mahasiswa PhD yang menjadi TA itu mengajar anak S1. Karena di fakultas hukum di Amerika tidak ada undergraduate, maka tidak ada mahasiswa doktoral yang direkrut untuk mengajar.” Itu penjelasan saya kepada beberapa kawan yang menyarankan saya mencoba jalur TA-ship (menjadi asisten).

“Dan karena itu tidak ada kemungkinan saya beralih ke jalur TAship.” Lanjut saya.

Beberapa kawan di ilmu sosial politik, studi agama atau antropologi memang biasa menjadi teaching assistant. Kawan-kawan yang mendapatkan beasiswa penuh dari kampus juga biasanya menjadi pengajar di kampus bersangkutan atau menjadi staf peneliti. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan gaji bulanan. Uang kuliah juga ditanggung.

Tapi tidak demikian dengan Law School. Di Amerika, sudah lama tidak ada program S1 untuk fakultas hukum. Fakultas hukum hanya menawarkan program JD (Juris Doctor), LL.M (Magister hukum) dan SJD (Science of juris doctor). Calon mahasiswa hukum harus mengambil dahulu S1 dibidang apapun sebelum ikut tes dan mendaftar di fakutas hukum. Begitu juga program LL.M

Model ini dahulu diperkenalkan oleh Harvard, tetapi kini sudah menjadi model umum pendidikan hukum di negara-negara Common Law seperti Inggris dan Australia. Sementara di negara-negara Eropa daratan, sistem pendidikan hukum masih seperti di Indonesia, berjenjang dari LL.B, LL.M, hingga Ph.D.

Saya sudah mencoba juga menghubugi satu orang Professor di departemen lain. Tapi ia menjelaskan bahwa biasanya departemen akan mendahulukan mahasiswa doktoral di tempatnya, sebelum merekrut dari departemen lain.

***

Saya juga sudah mencoba mengajukan aplikasi beasiswa penyelesaian disertasi Ph.D ke kampus UCLA. Mereka setiap tahun menerima aplikasi ini. Para mahasiswa doktoral bekompetisi di tingkat universitas untuk mendapatkan beasiswa yang bernama Dissertation Year Fellowship (DYF).

Entah kenapa saya belum beruntung. Aplikasi saya ditolak. Bisa jadi karena proposalnya buruk.

Tapi, kata kawan, sangat mungkin alasannya karena saya belum menjadi prioritas. Biasanya mereka mendahulukan para mahasiswa PhD bangkotan yang sudah nongrong lebih dari enam tahun. Semacam program stimulus cuci gudang mahasiswa tua. Saya disuruh daftar lagi. Katanya, banyak mahasiswa yang berkali-kali mendaftar.

Saya juga mencoba aplikasi di luar kampus UCLA. Yang saya tuju dua kampus bergengsi, Yale dan Harvard. Setiap tahun fakultas hukum mereka membuka aplikasi fellowship, tapi untuk tingkat post doctoral. Saya nekat mengajukan meski baru menulis disertasi. Namanya juga usaha, siapa tahu ada mukjizat.

Kedua aplikasi itu ditolak. Bisa jadi karena proposal aplikasi saya tidak bagus dan tidak layak. Meski sebenarnya ketika mengajukan permohonan itu saya cukup percaya diri. Pembimbing saya termasuk Profesor ahli Islam dan hukum Islam paling dihormati di Amerika dan dunia. Rekomendasi dia mungkin cukup ampuh. Ia juga sudah memberikan masukan bagi proposal saya. Tapi itu bukan sama sekali jaminan. Aplikasi saya dinyatakan belum bisa diterima.

Seorang kawan membesarkan hati saya. Sangat mungkin, kata dia, aplikasi itu ditolak karena program tersebut dibuat untuk pasca-doktoral. Meski ada pengecualian, biasanya pelamar minimal sudah mengantongi prospektus kelulusan. Pelamar harus sudah mengantongi kejelasan kapan wisuda. Dan ketika program dimulai, ia harus sudah selesai dengan program doktoralnya.

Penjelasannya cukup melegakan hati. Tulang belulang bisa tegak kembali. Setidaknya sekarang saya tahu, kisah ditolaknya lamaran beasiswa itu bisa jadi karena memang saya tidak cukup qualified, proposalnya buruk, atau karena alasan sebagaimana dikemukakan kawan saya di atas.

***

Atas tiga pengajuan yang gagal itu, meski saya kecewa, saya cukup lega. Semua sudah jelas: ditolak. Setidaknya saya bisa segera merumuskan strategi selanjutnya. Saya sudah menyiapkan rencana A, B dan C, layaknya orang normal pada umumnya.

Pada kekecewaan atas penolakan mereka, bagaimanapun saya menemukan sebuah kepastian. Kepastian sedari awal: kapan hari terakhir aplikasi dimasukan, kapan akan ada pengumuman tahap awal, kapan akan ada wawancara, dan kapan keputusan akhir diinformasikan. Semua itu berjalan sesuai proses yang jelas dan terukur.

Kenapa ini penting? Karena hidup itu, meski sesekali perlu ikut aliran nasib, haruslah direncanakan. Jika bulan November aplikasi itu gagal, bulan Desember saya akan melakukan hal lain atau menjalankan rencana berbeda. Rencana yang relatif ketat dan terukur ini penting, terlebih bagi saya yang hidup mengembara dengan keluarga, dengan dana pas-pasan pula.

Sementara pada aplikasi lain yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya senantiasa berada dalam ruang remang-remang dan ketidakpastian. Itu keluhan terbesar saya. Sebagai pemohon, saya tidak punya hak apapun untuk merasa layak diterima. Saya mafhum sepenuhnya kondisi itu. Tapi layaknya semua permohonan lain, idealnya saya mendapatkan kejelasan proses: kapan akan diumukan dan bagaimana nasib permohonan itu. Ini semata-mata karena hidup harus ditata.

Atas semua kegagalan dan ketidakpastian ini saya sepenuhnya mafhum. Ini zaman sulit dan paceklik. Covid merubah semuanya.

Banyak beasiswa yang dibekukan selama setahun ini. LPDP, misalnya, sempat menutup sementara pendaftaran sampai kondisi normal. Beberapa kesempatan fellowship juga ditangguhkan pembukaannya sampai akhir tahun 2021 atau tahun depan.

Ini masa ketika orang harus hunker down, diam dalam sarang dan guanya masing-masaing. Dana harus direalokasikan untuk kepentingan lain. Sehat dan makan lebih penting dari sekolah atau menyekolahkan orang.

Ya, saya seratus persen faham dengan semua kondisi itu. Dan karena itu, pada hasil akhirnya, saya merasa mafhum dan tidak terlalu kecewa.

***

Saya menuliskan semua catatan di blog saya ini semata-mata karena dua hal: proses katarsis dan sharing informasi dengan niat yang membangun.

Pertama, banyak orang melihat saya ini orang yang relatif mulus-mulus dan senantiasa sukses. Sekolah lancar, diterima di kampus keren di Amerika. Sering jalan-jalan keliling dunia. Sepertinya hidup saya enak.

Tidak sepenuhnya demikian, kawan. Pada setiap hal yang kita lihat indah dan menyenangkan pada diri orang lain, ada kekecewaan, kegagalan dan cucuran keringat yang tidak terlihat oleh kita. Ada kesulitan dan tantangan yang mungkin tidak akan pernah diketahui.

Karena itu, mungkin ada manfaatnya saya menceritakan kekecewaan dan kegagalan ini, agar orang tahu bahwa hidup orang selalu punya tantangannya masing-masing. Rumput tetangga tak sehijau yang kita duga.

Dan ketika menceritakan kegagalan itu pada orang lain, saya sedang mengobati diri saya sendiri. Telling is healing. Proses yang disebut katarsis.

Kedua, semoga keluhan dan informasi yang saya sampaikan juga bermanfaat untuk perbaikan ke depan.

Semua kawan yang pernah berinteraksi dengan Kementrian Agama, kementrian yang saya sebut sebagai Kementria Ikhlas Beramal, pasti tahu betapa ruwet, njelimet dan kerasnya polarisasi dan kepentingan di dalam tubuh organisasi itu. Birokrasinya juga masih harus terus dibenahi.

Keluhan saya mungkin tidak ada artinya. Tapi setidaknya sebagai orang yang peduli, saya telah berusaha menyampaikan keluhan itu sebaik-baiknya. Karena ia, kementrian itu, adalah rumah kita bersama. Rumah saya juga.

Sekali lagi mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini. Wassalam.

(Silahkan baca bagian pertama biar nymabung..)

One Comment

Leave a Reply

%d bloggers like this: