Tarian Alam Semesta dan Ibadah Kita
Sejak kecil saya digelayuti banyak pertanyaan terkait ibadah ritual kita sebagai Muslim. Kenapa shalat harus 5 kali? Kenapa harus beberapa rakaat? Kenapa harus dimulai dengan takbiratul ihram dengan mengangkat tangan dan ditutup dengan salam, dengan cara menengok ke kanan dan kiri.
Ketika berhaji, kenapa harus bertawaf mengelilingi ka’bah berkali-kali. Dan cara dia berkeliling berlawanan dengan arah jarum jam. Kenapa tidak berputar searah dengan jarum jam?
Ada banyak lagi pertanyaan dibenak kita tentunya. Dan untuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sebagain besar kita serahkan pada apa yang kita sebut dogma.
Agama adalah keseluruhan sistem kepercayaan yang meiputi bukan hanya aspek-aspek rasional dan spiritualitas, tapi terutama ritus yang dasarnya adalah dogma.
Shalat, juga ibadah ritual lain, kita praktikan seperti sekarang karena kita mengikuti tradisi. Untuk itu, sepanjang terkait ritus ibadah, kita hanya bisa sami’na wa ato’na: cukup kita tunduk dan ikuti tradisi.
Tentu tradisi itu sendiri tidak tunggal. Tatacara shalat antar satu madzhab hukum dengan yang lain, dalam hal-hal yang tidak pokok, berbeda-beda. Tapi secara keseluruhan terdapat kemiripan praktik yang mengikat semua perpedaan itu.
Ritual ibadah selalu bersifat simbolik, karena elemen penting dalam setiap agama adalah soal simbol. Sebagaimana semua simbol yang hadir mewakili makna, ritual-ritual ibadah kita mestinya bisa dihayati maknyanya. Tapi memaknai sebuah simbol bukanlah hal mudah. Itulah kenapa kita sering mudah melihat apa yang nampak dan melupakan isinya.
***
Shalat adalah ibadah yang unik. Ia menggabungkan empat elemen inti dalam ritus: hati, pikiran, ucapan dan gerakan. Shalat memiliki gerakan-gerakan ritmis dan sistematis yang senantiasa diiringi oleh lafalan doa. Doa itu, bahkan jika kita shalat sendiripun, harus dilafalkan selain harus dihayati. Kesatuan gerak, hati dan ucapan ini penting dalam ritual shalat.
Saya tidak tahu apakah ada ibadah dalam agama lain yang seritmis, sistematis dan holistik seperti shalat.
Gerakan dan rakaat shalat juga menyimbolkan siklus semesta: hari dimulai dengan terbit mentari dan diakhiri dengan terbenamnya surya. Takbiratul ihram adalah fajar, salam adalah senja. Rakaat salat juga seperti siklus hari, ia berulang dengan ritmis: hari berganti, siang dan malam, datang minggu dan bulan.
Lihat pula bagaimana orang bertawaf. Imajinasi saya selalu membawa saya pada tarian planet dan bintang-bintang. Mereka berputar dalam keteraturan, mengitari satu medan magnet yang lama menjadi misteri dunia pengetahuan. Tapi sekarang ilmuan tahu, pusat tarian itu sebentuk energi purba tak terhingga besarnya, yang menarik semua di sekitarnya: lubang hitam.
Ka’bah, dalam imajinasi saya ini, seperti pusat darian itu. Setiap hari, lima kali, planet-planet tertarik menghadap kepadanya. Para jamaah berputar berdzikir mengelilinginya, seperti alam raya bertasbih kepadanya.
Ibadah seperti shalat, karena itu bisa kita maknai sebagi jembatan bagi debu yang fana ini untuk senantiasa tersambung pada Yang Abadi dan Yang Maha Luas. Meski berada pada ruang waktu spasial, ketika shalat kita seperti masuk pada ruang-waktu magis-spiritual: ketika shalat kita tidak boleh mengerjakan hal lain/gerakan lain selain fokus pada gerakan dan bacaan shalat. Kita sejenak keluar dari ruang-waktu temporer kita dan masuk pada ruang Yang Maha Luas dan Maha Abadi.
Wallahu’alam