Cerita tentang Gantung-Siwur Saya: Kyai Mesir.
Sekitar tiga minggu lalu sepupu saya memberi tahu bahwa silsilah keluarga yang selama ini dicari telah ditemukan. Dipegang oleh salah satu kerabat jauh–sangat jauh. Dan catatan berupa pohon keluarga itu ada di Serpong! Ya, di Serpong.
Tetua di Kuningan meminta saya segera datang menghadap dan bersilaturahmi ke Ibu Ida. Kebetulan saya dan beberapa sepupu yang paling dekat dari Serpong karena tinggal di Pamulang.
Tujuannya sederhana: membuktikan apa yang dibicarakan Kakek dulu memang ada. Kalau bisa, saya disuruh meminta kopi dari catatan itu. Lantas akan kami digitalkan.
Ketika kecil saya sering mendengar pembicaraan orang tua perihal siapa nenek moyang kami. Konon kami adalah keturunan Bupati Kuningan pertama. Saat itu pusat pemerintahan berpusat di Desa Cikaso–desa yang sekarang berada di Kec. Karamatmulya. Tidak jelas betul informasi itu. Tapi Kakek selalu bilang informasi yang hampir pasti: kami adalah keturunan Kyai Mesir. Kyai Mesir dulu dari Sindanglaut, Cirebon.
Ketika SMA, saya masih ingat ikut pertemuan keluarga besar Mbah Mesir di Pesantren Al Mutawali di Cilimus. Ibu Nyai pondok itu juga salah satu keturunan Kyai Mesir.
Tapi setelah itu hampir tidak ada lagi kejelasan. Yang ada hanya cerita nenek-mamak yang tersisa: kita keturunan Kyai Mesir. Kyai Mesir sendiri namanya adalah Kyai Haji Abdurrahim, begitu Kakek kami bilang.
Kenapa dinamai Mbah Mesir? Saya sendiri tidak tahu. Tapi obrolan spekulatif kami kira-kira begini: beliau adalah kyai yang lama tinggal di Mesir untuk belajar. Terus kembali ke Kuningan/Sindanglaut, Cirebon. Komunitas menyebutnya Kyai Mesir karena beliau lama sekolah di Mesir atau setidaknya memiliki jalur keturunan dari sana.
Bisa jadi ceritanya sepenuhnya berbeda. Sepupu kami yang lain menarik jauh ke Sultan Mesir yang konon menikah dengan Rara Santang, putri Prabu Siliwangi yang akan melahirkan Sunan Gunung Jati. Tapi tentu itu spekulasi yang berlebihan.
Semua itu hanya dugaan sampai minggu lalu.
Kami bertiga datang ke rumah Ninik jauh kami di Serpong. Melihat langsung gulungan panjang kertas itu dibuka.
Saya baru pertama berjuma dengan Nik Ida. Beliau seorang pensiunan namun aktif berbisnis. Ia punya butik kelas premium. Anaknya presenter di TVRI. Suaminya dulu pejabat di Kementerian Kehutanan.
Nik Ida menyambut kami dengan hangat. Ia seperti menemukan saudara lama yang hilang. Ia mempersilakan kami masuk ke rumahnya yang besar dan asri. Ruang depan ia sulap menjadi galeri butik premiumnya. Kami disuruh langsung ke ruang belakang.
Setelah mengobrol lama dan memperkenalkan diri, ia langsung mengajak kami ke ruang belakang. Di ruang terbuka itu terbentang meja kayu panjang. Sebuah kertas terbentang. Ia mengajak kami ke dekat kertas itu.
Ia mengambil tongkat kayu kecil. Dan lantas ia menunjukan silsilahnya. Ia keturuan dari salah satu anak Mbah Mesir. Nik Ida kebetulan asli dari Sindanglaut.
Setelah itu ia menunjuka ke jalur silsilah lain.
“Kyai Mesir punya sepuluh anak. Encep kayana keturunan ti Nyai Mesir.” Ia menunjuk ke anak kedua Mbah Mesir dengan tongkatnya.
“Jadi ini silsilah Encep: Kyai Mesir-Nyi Mesir-Kyai Said-Hafsah-Kholil.” Abah Kholil adalah Kakek saya. Jadi kalau diteruskan begini silsilah saya: Kyai Mesir-Nyi Mesir-Kyai Said-Hafas-Kholil-Khomisah-Zezen Zm.
Jadi Mbah Mesir dalah gantung-siwur saya.
Di atas Kyai Mesir ada tulisan tertera garis jalur ke atas. Dalam kotak di atas Kyai Mesir tertera: Bupati Kuningan, Ibukotanya di Cikaso, 1650.
Dari diskusi kami, jalur ke atas itu terputus dan tidak jelas keturun ke berapakah Kyai Mesir dari Bupati Kuningan itu. Sepertinya, dari keterangan tahunnya, Kyai Mesir bukanlah anaknya langsung Bupati Pertama Kuningan.
Tapi fakta bahwa dia ngaji ke Mesir (jika dugaan itu benar), dan lantas dijuliki Mbah Mesir, menunjukan bahwa ia memang berasal dari kalangan yang punya akses dan termasuk kalangan menak Cirebon. Untuk bisa berhaji saja saat itu sudah luar biasa.
Melihat dokumen itu saya tertegun. Jarang-jarang dalam tradisi orang Sunda kita tahu jalur keturunan sampai 7 tingkat.
Apakah ini otentik? Saya sempat bertanya pada diri saya sendiri. Sepertinya dokumen itu otentik. Dokumen itu mbuktikan apa yang dulu oleh kakek sering dibicarakan: kita keturunan Kyai di Kamarang, Cirebon, dan jalurnya nyambung ke Mbah Mesir.
Catatan itu dibuat tahun 1954. Di pojok kiri atas dokumen itu tertera keterangan kapan dibuat. Sudah mulai buram tapi masih bisa jelas dibaca.
Lantas dokumen itu diperbaharui tahun 1966. Keturunan paling bawah yang masuk catatan adalah Kakek Kholil dan adik-kakaknya (Wak dan Ni kami).
Dalam obrolan kami dengan Nik Ida di Serpong kemarin, kami ngerumpi banyak hal. Saya sampaikan bahwa keluarga kami masih ada kerabat jauh dengan keluarga Kusumaatmadja. Termasuk dengan Pak Sarwono. Kakek dulu suka bilang bahwa Pak Sarwono sering diajak main ke Kuningan ketika kecil.
Rupanya Nik Ida juga denger informasi itu. Tapi tentu saja saya hanya menganggap informasi itu rumor belaka. Setidaknya sampai ada bukti kuat, sekuat catatan keturunan Kyai Mesir yang baru saja temukan.
Dari penelusuran di internet, saya menjadi bingung. Mbah Mesir banyak dicatat dan diberitakan sebagai tokoh di Jawa Timur yang menjadi hulu dari banyak kyai dan pesantren terkenal sekarang ini.
Sepertinya mungkin itu Mbah Mesir yang lain? Atau memang Mbah Mesir yang sama? Mbah mesir mempunyai 10 orang anak. Yang di Jawa Timur, menurut berita, adalah keturunan dari anak ke 9 Mbah Mesir. Entahlah.
Sejarah leluhur kami masih penuh teka-teki. Tapi setidaknya ada serpihan yang sekarang terkumpul.