Nikah Beda Agama, Bolehkah?
Kelas Pemikiran Islam Kontemporer tadi berdiskusi tentang topik yang sangat menarik. Isu mendasar yang ditanyakan adalah: bagaimana Syari’ah tetap relevan dan bermakna dalam membentuk tatanan moral dan etik dalam kehidupan Muslim kontemporer.
Jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Syari’a yang dianggap sebagai pesan universal dan abadi islam dituntut untuk terus relevan. Atas dasar itu penafsirannya harus senantiasa diperbaharui. Itulah kenapa hukum Islam tumbuh dan berkembang. Namun demikian, kita mungkin bertanya: di mana batas penafsiran itu diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Tentu pemahaman atas penafsiran itu harus berlandaskan pada tradisi. Tradisi menjaga keberlangsungan (continuity), tapi pada saat yang sama tradisi harus pula bernegosiasi dengan perubahan (change). Pertanyaan selanjutnya: sejauh mana tradisi membolehkan perubahan?
Seorang mahasiswa lantas bertanya kepada saya di kelas: Bagaimana tradisi hukum Islam menghadapi fenomena pernikahan beda agama? Apakah mungkin perubahan hukum dilakukan? Isu ini menarik dan relevan karena kebetulan baru saja ada sedikit kontroversi karena seorang selebriti menikah dengan pasangan yang berbeda agama-meski akhrinya salah satu mengalah dan mengikuti pasangannya.
Isu ini cukup pelik dan tidak mungkin dijelaskan dalam catatan pendek ini. Namun saya ingin sarikan saja ide besarnya: bahwa dalam pernikahan beda agama, isu yang mungkin lebih banyak muncul adalah jika perempuan Muslim menikah dengan lelaki non-Muslim. Non-Muslim di sini kita asumsikan saja berasal dari kelompok ‘ahlul kitab’. Musyrikun (politeis) telah dikecualikan dari kemungkinan kita ini (diskudi panjang siapa ahlul kitab kita kesampingkan juga untuk sekarang).
Mayoritas ulama berpendapat lelaki Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita non-Muslim (ahlul kitab). Ada sebagian yang tidak menyukainya (makruh).
Bagaimana dengan wanita Muslim menikah dengan lelaki non Muslim? Hampir semua ulama madhzab melarangnya. Tentu hal ini diluar kebiasaan karena biasanya para ulama selalu memiliki perbedan pendapat dalam masalah hukum.
Apa alasannya? Apakah ada larangan yang jelas dari nas al-Qur’an tentang larangan menikahi lelaki non Muslim (ahlul kitab)?
Setahu saya tidak ada larangan yang jelas (semoga saya tidak keliru). Kesimpulan perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki non Muslim adalah hasil penafsiran terhadap ayat-ayat yang membolehkan lelaki Muslim menikahi wanita non-Muslim (Al-Maidah 5). Karena secara jelas nas membolehkan kepada lelaki Muslim menikahi wanita non-Muslim, maka sebaliknya (berdasarkan penafsiran) perempuan dikecualikan dari kebolehan ini (artinya perempuan tidak boleh melakukan itu karena nas hanya membolehkan lelaki saja).
Tapi kita harus melihat dan memahami juga apa alasan utama pelarangan wanita Muslim menikah dengan lelaki non-Muslim sehingga hampir semua ulama klasik melarangnya? Sebagai orang hukum, saya bertanya: apa kira-kira ‘ratio’ atau “legal reasoning’ atas pelarangan itu?
Alasan pelarangn itu setidaknya berdasar pada dua hal: menjaga agama dan menjaga keturunan agar tidak dirusak keyakinanya. Dengan kata lain, karena budaya patriarki dan budaya lelaki yang cukup dominan di masa lalu, perempuan hampir dipastikan akan tunduk dan dipaksa mengikuti tradisi dan agama lelaki. Perempuan Muslim menikah dengan lelaki non Muslim akan menyebabkan perempuan itu menjadi murtad dan akan melahirkan anak-anak yang bukan Muslim.
Argumen lain lebih menarik: karena Islam melarang paksaan dalam agama, perempuan kitabi yang menikah dengan lelaki Muslim tidak akan dipaksa mengikuti agama Islam meski nasab dan agama anak akan mengikuti ayahnya. Sebaliknya, karena ahlul kitab tidak mengakui agama Islam (sementara Islam mengakui ahlul kitab) dan tidak ada doktrin larangan paksaan dalam agama mereka, perempuan Muslim kemungkinan besar akan dipaksa mengikuti agama suaminya (kitabi).
Dus, karena itu, alasan menjaga agama agar tidak dirusak dan menjaga keturunan adalah alasan utama pelarangan. Itu juga yang menyebabkan kenapa jika lelaki Muslim lebih punya kebebasan dalam hukum islam klasik: karena lelaki Muslim (sama seperti lelaki non Muslim) lebih superior dan bisa menundukan (subjugate) perempuan ke dalam tradisinya.
Sekarang, jika hal di atas mejadi alasan utama bagi pelarangan itu, mari kita buat sebuah skenario yang real dan terjadi:
Ketika relasi dan peran sosial lelaki dan perempuan sudah setara; ketika hak menjalankan dan meyakini agama masing-masing sudah dihormati; apakah pernikahan beda agama masih dipandang dengan kacamata lama (yakni kacamata dimana relasi dan peran perempuan serta kebebasan memeluk agama tidak setara dan bebas).
Bayangkan seorang perempuan Muslim mau menikah dengan lelaki non-Muslim. Lantas mereka membuat kontrak pra-nikah dimana klausul kontrak yang mereka buat mengatakan bahwa tidak boleh suami memaksa istrinya mengikuti agamanya dan akan saling menghormati; Istri akan memiliki kebebasan menjalankan keyakinanya, apakah pernikahan mereka tetap tidak diperbolehkan?
Bukankah secara sosiologis jika suami-istri merdeka dan saling menghormati dalam menjalankan agamanya justru akan lebih baik jika perempuan Muslim menikah dengan lelaki non Muslim? Kenapa? Anak-anak pasangan nikah beda agama biasanya mengikuti agama ibunya karena anak lebih dekat dengan ibu dan dididik oleh ibu sejak kecil. Jika demikian, alasan hukum ‘mejaga agama dan keturunan’ tetap tercapai dengan syarat suami tidak memaksakan keyakinannya pada istri dan mereka saling menghormati dalam relasi yang sama.
Jika logika hukum dalam kondisi sosial sebagaimana disebutkan diatas ini dilanjutkan, kesimpulan hukumnya malah bisa menjadi terbalik: lelaki Muslim bisa jadi tidak dianjurkan, makruh, atau malah dilarang menikah dengan perempuan non-Muslim. Kenapa? Karena keturunannya kemungkinan besar mengikuti agama Ibunya (non-Islam) dan karena itu tujuan ‘menjaga keturunan’ malah tidak tercapai!
Dus, dalam kondisi ada jaminan kebebasan masing-masing suami istri untuk memeluk dan menjalankan agamanya dalam pernikahan mereka, apakah larangan pernikahan beda agama masih berlaku? Bukankah “alasan hukum” menjaga agama dan keturunan tidak ternodai dalam nikah beda agama dimana kedua belah pihak saling menghormati agamanya? Apakah mungkin hukumnya hanya menjadi semata “tidak disukai” atau makruh? Atau mungkinkah jadi diperbolehkan?
Selama ini, ketika salah satu pihak dipaksa berpindah agama, maka ini yang akan terjadi: nikah hilla, atau nikah akal-akalan. Suami atau istri akan pura-pura pindah agama hanya untuk melegalkan pernihakahan dan setelah itu masing-masing kembali ke agamanya semula—biasanya diam-diam karena siapa yang bisa memastikan hati dan keyakinan seseorang?
Sepertinya kurang masuk akal jika agama bertentangan dengan nilai keadilan (justice), keindahan (beauty), dan kasih-sayang. Wallahu a’lam. Wassalam.