Dari Mukmin ke Muslim

Kita selalu meyakini dan menerima apa yang sudah ada begitu saja. Terlebih jika urusannya keyakinan: ruang untuk bertanya tentangnya semakin sedikit. Saya pernah bereksperimen di beberapa kesempatan dan rata-rata responsnya sangat negatif. Entah kenapa sepertinya ‘kenakalan berfikir’ menjadi sesuatu yang sepenuhnya asing, apalagi jika dilontarkan di pengajian-pengajian mesjid. Lembaga itu kini tak lebih dari sekedar tempat di mana dogma agama yang sama diulang ribuan kali dan nyaris tanpa kebaruan pengetahuan. ‘Kenakalan berfikir’, sesuatu yang menjadi penanda kemanusiaan kita, dianggap seperti tindakan heretik. Padahal menurut saya, budaya yang tidak bisa menerima hadirnya kenakalan dan banalitas berfikir adalah budaya yang hampir mati.

Salah satu yang selalu dianggap sebagai tak bisa dipertanyakan adalah terkait identitas keislaman kita. Siapa itu orang Islam? Sepertinya sepele dan tidak ada manfaatnya bertanya seperti itu. Tapi bagi pengangguran seperti saya yang kerjanya menelusuri tanda baca, pertanyaan itu telah lama menggelitik pikiran. Dan butir-butir pikiran itu sebenarnya sudah lama mengkristal, terutama sejak saya aktif memberikan training-training mahasiswa. Metode anti-dogmatik dalam penyampaian training membuat pertanyaan senakal apapun diperkenankan dalam sesi tersebut.

Setelah lama membaca dan meneliti banyak sumber rujukan, keyakinan itu semakin terkonfirmasi. Saya sebenarnya berharap keyakinan itu terbantahkan agar keyakinan saya tak dogmatis. Sekali lagi, ini adalah keyakinan karena bukti-bukti akademik belum pula sepenuhnya menunjukkan hal tersebut. Kesimpulan sementara ini, meskipun demikian, menurut saya lebih mendekati kebenaran dari keyakinan saya sebelumnya berdasarkan perenungan dan sumber-sumber rujukan akademik. Tetapi ini catatannya: keyakinan saya sangat mungkin keliru dan dibantah, sama seperti keyakinan saya sebelumnya diubah dan dibantah.


Lama saya mempunyai fikiran bahwa identitas Islam yang dianut umat Islam tumbuh dan dibangun secara bertahap. Pertama kali saya mempunyai hipotesa ini ketika membaca karya-karya Nuscholish Madjid. Islam, dalam pandangan Cak Nur, bisa dikelompokan ke dalam dua pengertian: 1) sikap, pandangan, filosofi dan prilaku hidup; 2) identitas hidup kelompok. Jika pengertian pertama lebih bersifat etis-teologis, yang kedua merujuk pada kategori sosiologis

Dalam pengertiannya yang pertama, Islam diartikan sebagai inti dari keseluruhan ajaran para rasul dan nabi, dari Adam hingga Muhammad. Seleruh nabi itu, jika diringkas, datang untuk menyeru manusia agar tunduk dan berserah diri pada Tuhan. Hanya dengan menundukan dirinya pada yang Maha Absolut, bukan pada sesuatu selainnya, manusia berhak memperoleh keselamatan hidup, baik di dunia ini dan di akhirat. Itulah kenapa sejak kecil kita diajarkan bahwa semua para nabi itu beragama “Islam”: Ibrahim seorang muslim, begitu juga Isa dan pengikutnya.

Hampir semua kata Islam dan turunannya, dalam Al-Qur’an merujuk pada definisi ‘Islam” yang pertama ini: sebuah sikap ketundukan pada Tuhan sebagai jalan keselamatan.

Jika kita mencoba merekonstruksi identitas apakah yang disematkan dan diakui oleh generasi awal, setidaknya dari zaman Rasul sampai akhir abad pertama (kurang lebih tahun 80 H), maka jawabannya adalah “mukmin” (sebagian juga melaporkan bahwa identitas mereka sebagai “muhajirin” atau orang-orang yang berhijarah), dan bukan “Muslim”. Muslim sebagai kategori sosiologis, setidaknya menurut salah satu penelitian, baru muncul sekitar tahun 80an Hijrah, pada masa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan.

Jika kita merujuk pada Qur’an, sapaan Allah kepada Muhammad dan para sahabatnya dalam setiap ayat yang kita temua juga adalah: ‘Hai orang-orang mukmin.” Kata Islam tidak pernah merujuk pada definisi sosiologis.


Islam sebagai kategori yang merujuk pada identitas hidup, setidaknya menurut salah satu penelitian, baru muncul sekitar tahun 80an Hijrah. Namun perlu dicatat bahwa kata “Islm” dan turunannya, sebagaimana dijelaskan di atas, tentu sudah dikenal dan dipakai secara luas. Namun ia, dalam padangan saya, belumlah merujuk atau dipakai segaia kata yang merujuk pada identitas kelompok atau perorangan.

Kata Islam dipakai sebagai penanda identitas sosiologis, terjadi seiring pengkristalan kelompok. Jika pada awalnya Pengikut Muhammad tidak terlalu mengambil jarak dan garis pembeda dengan kelompok ‘believers’ atau ‘orang-orang beriman’ yang ada terutama dari agama Nasrani dan Yahudi, sejak tahun 80an, garis pembeda itu mulai jelas terlihat.

Namun untuk mengidentifikasi diri dan kelompoknya, para pengikut Muhammad tidak ingin menambatkan nama kelompok tersebut pada suku atau ras seperti Yahudi. Mereka tidak pula ingin menisbatkan nama agamanya pada pembawa risalah agama itu seperti Kristen (christian). Alih-alih, yang ingin dijadikan identitas agama untuk mereka adalah inti ajaran yang dibawa oleh Muhammad dan seluruh para nabi: al-Islam (penyerahan diri dan ketundukan).

Pilihan identitas Islam, karena itu, adalah sebuah pilihan yang bukan hanya tepat, tapi juga mengagumkan. Saya masih ingat bagaimana umat Islam tahun 40an sampai 70an selalu protes jika disebut Muhammadan oleh para orientalis. Kita tidak ingin disebut sebagai sekte Muhammad. Muhammad adalah utusan tuhan yang membawa ajaran bagi ketundukan dan tauhid (Islam).

Pengikut Muhammad saat itu tidak ingin terjerumus pada kesalahan yang pernah diperbuat oleh para pengikut agama sebelumnya; penuhanan rasul pembawa ajaran.

Inshaallah bersambung….

Leave a Reply

%d bloggers like this: