Cerita Memilukan Kami di Kereta Api.

Ini kisah nyata yang benar-benar membuat saya mengurut dada. Dialami oleh saya sendiri, anak saya yang berusia lima tahun, dan istri saya. Begini ceritanya:

Anak saya baru saja disunat sebulan lalu. Sebelumnya saya berjanji beberapa hal agar dia mau disunat: naik kereta gantung, naik kereta Intercity train dan pergi ke Dunia Fantasi.

Anak saya lagi menggilai kereta. Semua jenis kereta dihafalnya: kereta cepat, kereta komuter, kereta MRT, LRT, Shinkansen, Maglev, TGV. Ilmunya didapatkan dari buku-buku yang saya belikan dan tentu saja dari Youtube.

Janji naik kereta gantung dan pergi ke Dufan sudah ditunaikan begitu ia sembuh. Satu lagi yang belum: naik kereta antar kota yang jauh. Ia selalu riang kalau bercerita tentang kereta. “Telus kapan aku naik intercity train, ayah.” Ia bertanya berkali-kali

Ketika saya ada tugas ke Solo untuk sebuah pekerjaan, awalnya saya tidak terpikir mengajaknya. Ini pekerjaan, bukan liburan. Jadi karena itu saya tidak terbersit membelikannya tiket.

Idenya muncul mendadak dan mepet. Kenapa tidak ajak anak saya itu: libur akhir pekan, hotel sudah dipesan, dan hanya akan dua hari saja. Cocok. Dan akhirnya saya beli tiket untuk kami bertiga.

Kereta kami jam 6 pagi. Jurusan ke Solo. Itu artinya dari Pamulang harus pergi pukul 4an. Mengejar shalat subuh di stasiun. Itu artinya juga kami harus bangun jam 3 pagi. Tergopoh-gopoh istri saya membopong anak saya yang masih tertidur kedalam taksi setelah dari kamar mandi.

Sepanjang jalan anak saya melek. Ia bertanya apakah benar ia mau naik kereta antar kota. Disebutnya nama stasiun Gambir yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Ketika taksi melewati Lebak Bulus, tangannya menunjuk stasiun MRT dan mulailan ia bercertia dengan suaranya yang menggemaskan. Pak Supir ikur nyengir.

Tapi certika keriangan saya dan keluarga berubah ketika tiba di dalam gerbong. Karena memesan terlambat saya dan istri serta anak saya berusia 5 tahun duduk sama-sama di lorong. Tak ada lagi kursi untuk istri saya duduk berdampingan dengan anak saya.

Setelah penumpang masuk, saya meminta izin ke penumpang yang duduk di samping istri saya apakah bisa bertukar tempat duduk. Hanya geser satu kursi. Perempuan muda itu, dengan kacamata dan jilbab hitam berusia 20an, menolak.

Saya jelaskan dengan baik bahwa sy memesan tiket mendadak jadi tidak mendapat kursi berdampingan untuk anak saya yang masih balita. Anak saya sedang main lego dan membaca buku.

Perempuan itu, dengan muka datar ala gen Z, hanya menjawab: maaf saya memang memesan di jendela. Tidak mau. Ujung matanya melirik ke anak saya. Saya tidak bisa menebak air mukanya karena ia mengenakan masker.

Saya tertegun. Lebih tertegun lagi karena empat orang lain yang juga duduk sendiri-sendiri tak ada satupun yang sudi sekedar bergeser satu nomor untuk anak saya. Atau sekedar berbasa-basi.

Saya mencoba berbicara ke otoritas gerbong yang namanya tercantum di ujung gerbong untuk mencari bangku kosong berdampingan. Saya jelaskan lagi kasusnya Jawabnya sederhana dan juga datar: tidak bisa. Semua sudah pesan, Pak.

Bayangan saya PTKAI mungkin punya kebijaka sederhana untuk memprioritaskan anak-anak dan lansia, terutama jika dalam kasus seperti saya. Misalnya petugas itu bisa meminta seseorang bergeser agar anak saya bisa duduk dengan ibunya. Tapi tidak ada.

Saya lagi-lagi merenung. Dosa apa saya ini. Kenapa orang-orang seperti kehilangan empati. Atau saya memang sedang sial saja.

Sepanjang jalan saya duduk di koridor agar bisa lebih dekat dengan anak saya yang meminta dibacakan buku kesukaannya tentang kereta. Ia ceria bertanya macam-macam tentang sejarah kereta. Sesekali saya berdiri dan memberika jalan karena koridor tengah saya halangi.

Anak saya terkantuk-kantuk karena bangun cukup awal. Ia tertidur. Seorang perempuan muda, juga seorang mahasiswi, yang duduk disampingnya tak peduli melihat anak kecil kepalanya tersuntuk kanan dan kiri. Tak peduli ketika saya berdiri beberapa kali membetulkan kepalanya dan mengganjal lehernya.

Istri saya yang duduk hanya berkaca-kaca menahan kesal. Jika duduk berdampingan ia bisa membuka sandaran tangan tengah dan membiarkan anak saya tidur dipangkuannya.

Perasaan saya yang bodoh mengatakan bahwa biasa saja anak mendapatkan prioritas. Saya tidak akan sampai melakukan itu (meminta orang geser) kalau tidak bawa anak atau tidak memesan tiket sedikit terlambat.

Sebagai orang yang belajar hukum sepanjang hidup, saya tak berhenti merenung: Orang-orang di sekitar tempat saya duduk itu merasa itu hak mereka. Mereka secara legal berhak duduk dengan pantatnya di atas kursi yang dipesannya. Mereka lupa diatas hukum ada etika dan akhlak. Saya tadinya berfikir: meminta bergeser sedikit untuk anak balita agar bisa duduk berdampingan dengan ibunya adalah kewajaran etika yang bisa dicerna dengan mudah oleh akal manusia. Saya akan melakukannya tanpa diminta jika dalam posisi mereka.

Tapi tidak demikian dengan pengalaman saya. Empat atau lima orang yang rata-rata berusia muda di sekitar saya tak ada yang peduli. Muka dan matanya tertempel dilayar HP sepanjang perjalanan: senyum sendiri, kepala bergoyang-goyang seperti sedang menikmati dangdut koplo. Sesekali gadis yang duduk disamping anak saya melirk dengan ujung matanya.

Sampai Yogya kami duduk terpisah. Istri saya baru bisa duduk berdampingan dari sana sampai Solo. Dan orang-orang yang duduk dekat kamu itu, yang dilihat dari usianya saya kira adalah para mahasiswa, merasa dunia baik-baik saja. Merasa tak ada yang salah dengan sikap dirinya. Semua sibuk dengan pelantang suara yang terjejal di lubang kupingnya! Suara menggelegar bertubi-tubi memenuhi syaraf telinganya, tapi suara kehidupan tak sampai di batin dan hatinya.

Leave a Reply

%d bloggers like this: