Gegar Budaya Amartya
Saya sudah memperkirakan dan mempersiapkan psikologis saya sebelum tiba di Indonesia. Saya juga sudah bilang ke istri dan kedua anak saya bahwa proses transisi ini tidak mudah. Pasti sedikit bumpy, bahkan mungkin dengan sedikit turbulensi. Ibarat naik pesawat, masa pindahan seperti sekarang ini adalah masa take off atau landing.
Gegar budaya langsung terasa. Amartya dua kali tanpa sadar meminum segelas air dari keran di wastafel rumah. Ketika bangun tidur, ia langsung mengambil gelas, dan membuka keran. Ia teguk air itu dengan tanpa perasaan berdosa atau penyesalan. Sampai saya jelaskan: di Indonesia, air keran tidak bisa diminum!
“Why not, Ayah?” jawabnya polos.
“It is strange that we cannot drink tap water!” Sergah Amartya yang masih tidak percaya. Ia selalu ngotot kalau merasa benar.
Terus saya jelaskan bedanya tap water di LA dengan di Pamulang. Setelah itu ia faham dan menerima penjelasan saya.
Tapi mungkin karena sudah terbiasa, keesokan harinya, di pagi hari, ia mengulanginya lagi. Namun kali ini ia hanya baru meneguk setengah gelas sebelum kemudian ia semburkan air di mulutnya. Saya yang duduk di depan teve hanya terkekeh.
***
Shock culture lain terjadi ketika Amartya mulai persiapan sekolah.
Alhamdulillah akhirnya ia mendapatkan sekolah. Kami cukup kaget–meski sudah kami duga–betapa mahalnya sekolah-sekolah di Indonesia. Untuk sekolah kelas biasa yang lumayan bagus di sekitaran Pamulang, uang pangkal paling murah berada di kisaran 20 juta. Jika mau yang lebih ‘bagus’, uang yang harus dirogoh bisa diangka 80 juta. Ala Mak, uang dari mana sebanyak itu.
Jadi teringat betapa hidup di LA menyenangkan. Sekolah Amartya, Palms Middle School, adalah sekolah Magnet (Unggulan) di LA bagian barat. Amartya juga berhasil diterima di program kelas berprestasi (high achiever). Ketika Amartya harus angkat kaki 3 minggu lalu, semua gurunya menyayangkan. Ia salah satu murid paling cerdas, aktif dan friendly di kelasnya. Dua kali dia menang kompetisi. Dan semua itu gratis, tis, tis.
Di sini ada juga sekolah gratis. Di sekolah negeri. Tapi saya tidak terlalu yakin dengan kualitasnya. Sekarang siswa pendaftar di Sekolah negeri harus mengikuti sistem zonasi. Karena itu Amartya harus mencari sekolahan di wilayah Sawangan. Sementara secara geografis rumah kami jauh lebih dekat ke Tangerang Selatan. Dari awal saya tidak tertarik dengan opsi memasukan Amartya ke sekolah negeri.
Karena tidak mau masuk sekolah negeri, juga tidak bisa masuk ke sekolah elit yang mahal, kami terjebak dalam derita kelas menengah: harus membayar lumayan mahal untuk sekolah anak. Kalau orang kaya sekalian, tak masalah di manapun ia sekolah. Atau kalau tidak merisaukan mutu, di sekolah negeri sekalian bisa jadi solusi. Tapi karena dua opsi itu tidak bisa dijadikan pilihan, terpaksa kami harus mencari sekolah yang lumayan bagus. Tetapi juga lumayan mahal utuk ukuran dompet kami yang pas-pasan. Saya masih pengangguran.
Meski kita merogoh saku lumayan dalam, saya tetap merasa kurang puas. Uang yang dibayarkan ternyata belum termasuk uang buku dan uang seragam. Kalau dijumlah-jamleh, kedua komponen itu hampir 4 jutaan. Selain itu, karena Amartya masuk di tengah tahun ajaran, saya diminta mencari sendiri buku-buku itu. Wuih, mantap kan.
Tapi ala kuli hal, kami lewati semua tahapan itu. Tiba saatnya Amartya memulai bergabung kelas. Wali kelasnya mengirimkan jadwal pembelajaran. Dan saya berikan jadwal itu ke Amartya.
“What? 16 subjects???”
Ya, Amartya terkaget-kaget dengan jumlah mata pelajaran anak SMP di sini. Di Amerika, ia hanya belajar 5 mata pelajaran: Matematika, Science, Sejarah, Language, Art dan PE (semacam olahraga).
Di sini ada 16 subjek: Matematika, Agama, Al-Qur’an Hadith, SKI, Civic, Bahasa Indonesia, Biologi, Fisika, Sosial, Art, Olah Raga, Creativity, Tahfiz, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Konseling.
Karena SMP Islam, memang subjek yang diajarkan lebih banyak.
Luar biasa memang pendidikan kita ini. Bagaimana tidak, dari model seperti inilah inshaallah nanti lahir insan-insan paripurna seperti superman. Superman yang muntah-muntah karena ilmu yang dijejalkan ke otaknya kebanyakan.
Sampai di model kurikulum pendidikan, Bangsa kita ini memang konsisten menjalankan filosofinya: Kalau bisa dibuat banyak, ribet, dan sulit, kenapa dibuat sedikit, simpel dan mudah.
Saya mungkin model orang yang otaknya sudah dicuci karena kelamaan tinggal di luar negeri. Sah saja tuduhan itu. Indonesia punya identitas dan model sendiri. Jangan sok bawa-bawa model Amerika!
Saya setuju. Indonesia mungkin punya model sendiri. Tapi yang menggelitik di benak saya, terutama setelah melihat dan mengalami model pendidikan dasar di Amerika selama 5 tahun, adalah ini: kenapa anak-anak sampai harus belajar dengan mata pelajaran sebanyak itu?
Pendidikan dasar itu ibarat fondasi rumah. Mestinya anak-anak belajar yang mendasar tapi kuat dan mengakar. Kalau terlalu banyak dan semua mau dimasukan, saya tidak yakin akan efektif.
Anak-anak di usia dasar, menurut saya ayang bodoh, tak perlu dibekali kursi, kasur, figura, pas bunga, lemari, tv, kipas angin, alat dapur. Cukup jadikan mereka orang-orang yang punya fondasi dasar pendidikan yang kuat. Plus pembekalan karakter! Ya, karakter!
Amartya belajar banyak–dan cukup efektif–tentang karakter: jujur, kritis, mandiri. Ia, misalnya, marah ketika tes masuk SMP di sini minggu lalu. Bahasa Indonesianya pas-pasan. Sementara soalnya semua dalam bahasa Indonesia. Saya sudah bilang agar ia isi sebisanya soal-soal itu.
Dia ngotot ingin serius. Dan karena itu ia bertanya ini itu. Saya bilang mungkin ia bisa lihat di googel.
“That is cheating!” Katanya. Ia tidak mau terlihat bodoh karena tidak bisa menjawab soal-soal itu. Tapi juga tidak mau melihat jawabannya dari google. Jadilah ia uring-uringan. Akhirnya ia menuruti saran saya. Untuk semua jawaban yang ia tidak tahu, ia jawab: “aku tidak tahu karena belum belajar.”
Sejak di LA ia juga cukup mandiri, setidaknya untuk urusan-urusan sekolah. Ia biasa mengerjakan riset sendiri untuk tugas belajar. Bahkan ia sudah bisa mengedit film sendiri dengan cukup bagus. Awalnya diminta untuk tugas belajar.
Karena cukup mandiri itu, ia banyak mambaca novel-novel dan bacaan lain–meski belakangan sedikit kendor.
Bayangan saya, anak seusianya di tingkat dasar dan menengah, pendidikan harus difokuskan ke hal-hal fundamental seperti matematika, sejarah, seni, bahasa dan science. Kalau mau ada tambahan muatan agama, cukup satu saja: pendidikan agama Islam.
Dengan lebih ramping, diharapkan anak-anak lebih fokus dan lebih happy. Happy itu penting sekali untuk pembelajaran. Kalau dari awal anak-anak sudah stress, saya khawatir anak-anak Indonesia sudah layu sebelum berkembang.
Mohon maaf atas keluhannya. Semoga bermanfaat.