Politik, Ilmu dan Cerita Bukhari
Setelah Kanjeng Nabi Muhammad wafat, ada dua pekerjaan rumah besar yang dihadapi para penerusnya: kepada siapa urusan mengorganisir umat diserahkan (urusan kekuasaan yang adil), dan memastikan bahwa apa yang diajarkan Nabi, saat itu terutama Al-Qur’an, bisa dijaga dan difahami secara benar (urusan ilmu)
Pada hari ketika Nabi wafat, Senin, 6 Juni 632, urusan pertama terkait otoritas politik langsung menjadi persoalan yang hampir membawa komunitas yang baru tumbuh itu pada perang saudara. Baik Kelompok Penolong (Ansar) maupun kelompok Imigran (Muhajirin) merasa punya hak untuk mewarisi tampuk kekuasaan yang kosong ditinggal Nabi. Para pembesar Ansar diam-diam berkumpul di beranda rumah salah satu suku Bani Sa’ida, sesuatu yang lantas dikenal sebagai Saqifa Bani Sa’ida yang artinya pertemuan para pembesar di bawah atap rumah Bani Sa’ida. Dalam pertemuan itu, anehnya, para pembesar Kaum Muhajirin tidak diundang.
Meskipun begitu, Abu Bakar dam Umar yang sedang berada di Mesjid, meratapi kepergian orang yang dicintainya, akhirnya mendengar perihal pertemuan itu. Mereka sangat terkejut dan segera beringsut tergesa menuju rumah Bani Sa’ida. Jenazah Nabi dibiarkan di kamar Aisha, istrinya yang saat itu berusia 18 tahun, sampai 3 hari. Jenazah Rasulullah baru dikuburkan pada hari Rabu, tanggal 8 Juni 632, setelah kisruh politik akhirnya berakhir.
Negosiasi panjang antara dua kelompok besar, Ansar dan Muhajirin, akhirnya berujung pada kesepakatan diangkatnya Abu Bakar sebagai pemimpin otoritas politik tertinggi pengganti Nabi. Sejarah kemudian mencatat transisi ini tidak berjalan mulus karena banyak kelompok suku-suku Beduin yang melakukan usaha ‘separatisme’ karena merasa sumpah kesetian mereka hanyalah pada Muhammad SAW secara pribadi, bukan pada entitas politik. Abu Bakar berhasil menaklukan kembali mereka dalam serangkaian peperangan yang terkenal sebagai perang ‘ahl al-ridda’
Abu Bakar hanya dua tahun berkuasa dan meninggal secara alamiah pada 634. Untungnya, sebelum meninggal dia telah berkonsultasi dengan para petinggi Sahabat. Hasil konsultasinya itu berujung pada diangkatnya Umar ketika Abu Bakar meninggal dunia.
Umar adalah pemimpin yang dianggap berhasil dan memimpin lumayan lama, sekitar 10 tahun. Pada masanya Persia yang merupakan satu dari dua imperium saat itu, berhasil sepenuhnya ditaklukan. Ia juga berhasil melebarkan Islam ke seluruh Arabia, Persia dan mengambil banyak wilayah Romawi.
Umar meninggal karena ditikam Abu Lu’luah, hamba sahaya Persia yang ditawan dalam perang Qadisia. Konon alasanya karena ia merasa diberlakukan tidak adil dengan dipunguti pajak terlalu tinggi.
Abu Lu’luah bukanlah orang biasa. Nama Persianya adalah Piruz Nahavandi dan ia adalah seorang Jendral dari pasukan Rustam Farrokhzad. Riwayat lain mengatakan bahwa ia membunuh Umar untuk balas dendam karena ditaklukannya Persia. Umar, untungnya, sempat menunjuk tim 6 untuk menyeleksi pemimpin penggantinya, Uthman.
Dari sinilah cerita sejarah awal umat Islam akan sangat dramatis. Uthman yang berasal dari Banu Umayyah dianggap memimpin dengan tidak adil. Pada tahun ke 11 masa kepemimpinannya, sekelompok pemberontak berhasil mengepung rumahnya dan membunuh sang Khalifah pada 655 M ketika ia sedang khusuk membaca Al-Qur’an.
Ali dingkat dengan penuh kontroversi. Banyak para sahabat yang menentangnya, dengan alasan yang beragam dan tidak terlalu dijelaskan dalam sejarah. Ali berasal dari Banu Hashim, klan suku Quraish yang merupakan pesaing Banu Umayyah. Salah satu pemimpin pemberontak itu adalah Aisha. Konon Aisha sedang berada di Mekah ketika mendengar Uthan dibunuh dan Ali diangkat. Ia, juga bersama banyak sahabat lain, menuntut Ali mengadili pembunuh Uthman.
Aisha lantas pergi ke Basra dan memimpin pemberontakan kepada Ali dari kota itu. Dalam peperangan dua saudara yang terkenal dengan Perang Unta itu, 13,000 orang meninggal dan Aisha berhasil ditawan meski tidak disakiti oleh Ali.
Umayyah yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Sham, mengambil alih komando pemberontak. Pasukan Ali dan Umayyah bertempur dengan sengit di Siffin dan membunuh kurang lebih 70,000 orang, jumlah yang fantastis bahkan untuk ukuran kita saat ini.
Perang saudara itu berbekas sampai kini: terbelahnya umat pada dua kelompok, Sunni dan Shia (juga dulu Khawarij).
Serangkaian peristiwa itu lantas disebut sebagai Fitna Pertama. Ada tiga Fitna lagi dalam sejarah Islam. Fitna artinya perang saudara. Tapi perang saudara pertama ini cukup signifikan bukan hanya dalam pembentukan dua model kepemimpinan (khalifah vs Imamah), dua kelompok keagamaan (Sunni vs Shia), tapi juga dalam proses terbentuknya dasar-sadar dogma dan sumber rujukan keagamaan.
Dalam turbulensi politik itu, wajar jika setiap kelompok dan setiap orang mencari rujukan pembenaran. Salah satu rujukan pembenaran adalah dengan cara menyandarkan kebijakan, ucapan, sikap politik, dan yang lainnya pada Nabi. Hadith muncul dari keinginan menjustifikasi tindakan dan ucapan orang-orang pada generasi ini kepada otoritas Nabi. Dari pada hanya mengatakan bahwa saya ingin melakukan A, orang lebih aman mengatakan saya ingin melakukan A karena saya tahu dulu Nabi melakukannya. Ia, dengan demikian, membuat legitimasi atas tindakannya pada otoritas tertinggi.
Sejak akhir masa Umayya kebiasaan ini semakin menjamur. Tentu ini juga adalah sebuah peristiwa natural saja. Ketika para Sahabatnya tersebar ke penjuru wilayah Muslim dan ia ditanya sebuah persoalan, cara paling mudah baginya untuk menjawab adalah dengan mengingat kembali perbuatan dan perkataan Nabi. Tentu dalam banyak kasus ia memutuskan sendiri berdasarkan pertimbangan rasionalnya semata.
Hadith bahkan menjadi industri yang menggiurkan. Banyak para penyair yang diminta untuk membuat seolah-olah pada yang disampaikannya adalah ujaran Nabi. Belum lagi tubulensi politik yang tadi kita sebutkan membuat setiap kelompok dengan mudah mengaku apa yang diperbuatnya adalah juga apa yang dilakukan Nabi.
Urusan memahami apa yang diajarkan Nabi (ilmu) menjadi urusan serius. Bagaiman memisahkan pengakuan orang yang bisa dipercaya dari pembohong? Para ulama tahu betul soal ini. Karena itu, mereka mengambil langkah untuk mensistematisasi dan menyaring laporan-laporan.
Imam Bukhari konon melakukan 1080 kali wawancara di Mekah, Medinah, Irak dan Mesir, untuk meneliti mana laporan yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Ia berhasil menghimpun kurang lebih 600,000 laporan hadith untuk diteliti. Dari jumlah yang banyak sekali itu, ia hanya memasukan 7257 laporan hadith yang dianggapnya kredible dan bisa dipercaya. Jika jumlah hadith yang diulang-ulang dihitung sekali, maka jumlahnya menjadi hanya 4000 hadith.
Pertanyaannya: kemana sisa 592,743 laporan itu dibuang atau dimana laporan itu disimpan? Untuk pertanyaan ini smoga nanti ada yang mau menelitinya.
Juga yang penting dicatat adalah bagaimana Bukhari secara metodologis mensortir hadith-hadith itu. Dalam bayangan saya, ia menerapkan prinsip: semua laporan hadith harus dianggap meragukan sampai ia mempunyai bukti atas kredibilitasnya. Untuk menguji kredibilitasnya itulah dia berkeliling penjuru dunia Islam, mewawancarai orang-orang yang merupakan informannya. Bayangkan, 1080 kali wawancara. Ia, Bukhari, berusaha menjauhkan kepentingan pribadinya dan kerena itu ia berusaha objektif. Konon ia hanya menuliskan hadith sahih dalam koleksinya setelah ia berwudhu dan shalat dua rakaat untuk meminta pentunjuk dan kekuatan hati.
Berkat ulama seperti Bukhari, Muslim dan yang lainnya, sejak abad kedua hijriyah Umat setidaknya mempunyai pegangan untuk mengetahui apa, bagaimana dan mengapa Nabi melakukan, menyetujui atau mengatakan sesuatu.
Sejak saat itu memahami Qur’an tidak lengkap tanpa pemahaman Hadith dan sunnah (tradisi kenabian) secara keseluruhan. Imam Shafi’i lantas mensistematisir sumber rujukan utama Islam yang sampai sekarang disepakati bersama: Qur’an, Sunna/Hadith, Konsensus (ijma ulama) dan qiyas (penggunaan penalaran logika). Madzhab Shia berbeda sedikit dengan mengatakan sumber Islam itu hanya tiga: Qur’an, Sunna dan Akal pikiran (rasio).
Diskusi kita diatas secara tidak langsung membawa kita pada kesimpulan bahwa tanpa disadari, ilmu dibentuk dalam konstalasi politik tertentu. Bahkan tak jarang ilmu, seperti dalam kasus Ilmu Rijal al-Hadith, kemunculannya didorong dari keinginan memurnikan motif akademik dari interest politik pada masal awal Islam. Meskipun usaha itu telah dilakukan sebaik-baiknya oleh para ulama awal Islam, toh usaha itu masih menyisakan ruang bagi menyatunya kepentingan politik dalam teks akademik, ilmu dań tradisi. Tugas kita sekarang adalat melihat warisan tradisi dengan kacamata yang lebih kritis. Tujuannya bukan untuk mencari purifikasi ilmu, tapi semata agar kita insyaf dan bijak dalam menyikapi warisan yang kaya itu.
Salam.