Konsili FORMACI: Karena Kaderisasi Intelektual Harus Dilanjutkan!

Selang beberapa minggu pasca silaturahmi para alumni dan senior Formaci di Subang, kemarin Formaci lintas generasi berkumpul sebentar di Sawangan. Berbeda dengan silaturahmi di Subang, kegiatan kali ini sedikit ‘serius’ dan formal. Saya sebut sedikit dengan sungguh-sungguh. Karena Formaci sebagai forum kajian tanpa bentuk, sedianya tidak memiliki mekanisme formal layaknya organisasi lain.

Kami kemarin berkumpul untuk konsili. Ya, forum studi kami punya acara tahunan bernama Konsili. Konsili untuk memilih Imam.

Dari namanya terlihat eklektik dan nyentrik. Saya bertanya kepada salah seorang senior: kenapa waktu itu, sekitar tahun 1988, nama Konsili yang dipakai, untuk memilih Imam pula.

Konon yang mengusulkan nama Konsili untuk kegiatan rapat tahunan dan pemilihan ketua Formaci itu adalah Kak Budi (Budi Munawar). Meniru tradisi katolik dalam pemilihan Paus. Nama pemimpinnya sendiri disebut Imam, jelas meniru dari tradisi Syiah.

Jadi alih-alih memakai nama seperti Komfercab, Muktamar, Mubes dll, Formaci memakai nama Konsili. Dan kemarin ‘konklaf’ konsili memilih dewan imamah yang terdiri dari 3 orang.

Konsili hanya mekanisme ngobrol sederhana. Tak ada palu sidang, tak ada pemimpin sidang, tak ada prosedur. Yang ada hanya moderator yang memandu obrolan.

Obrolan dalam setiap konsili selalu berisi dua hal: pertama, konsili adalah ajang menyambungkan sanad dan mentransmisikan tradisi, serta spirit ‘keformacian.’ Spirit dan tradisi itulah yang selama ini menjadi perekat kekuatan Formaci. Tak ada yang merekatkan dan mengikat Formaci selain tradisi ini: tak ada AD/ART, tak ada aturan baku, tak ada sistem.

Tentu dari obrolan itu juga junior menjadi tahu siapa saja seniornya: dari wartawan hingga ‘nabi’, kuliah di banyak kampus bagus dari Autralia sampai Amerika, peranannya dalam melakukan perubahan besar dari balik layar dan lain sebagainya. Dengan demikian cerita itu menjadi role model dan eksemplar yang bisa diikuti jejaknya.

Kedua, obrolan itu akan berujung pada analisa singkat kondisi terkini yang dialami para aktivis. Setiap aktivis memiliki tantangan zamannya. Pada tahun 80an para aktivis fokus pada kajian murni. Tahun 90an-2000an, para aktivis Formaci berevolusi menjadi pegiat kajian dan gerakan. Intinya diskusi tahap kedua ketika Konsili diarahkan pada kebutuhan apa yang dihadapi para aktivis masa kini.

Meski begitu, setiap aktivis di Formaci wajib membaca tiga disiplin dasar: Sosiologi, Filsafat dan Kajian Keislaman. Setelah itu kajian difokuskan pada kebutuhan masanya.

Pemilihan siapa Imam biasanya menjadi sesi paling singkat dan paling tidak menarik. Tentu ini berbeda dari umumnya pergelatan ‘muktamar’ organisasi lain yang selalu mencapai klimaks pada pemilihan ketua. Biasanya, karena aktivis inti hanya tak lebih dari 10an orang, ketika Konsili digelar, siapa yang akan menjadi Imam sudah diketahui.

***

Ada yang menarik dari Formaci dalam 10 tahunan terakhir ini. Jika pada tahun 80an, 90an bahkan sampai 2000an Formaci identik dengan HMI, kini tak lagi demikian.

Dulu ketika saya kuliah, kawan-kawan PMII intelektual berlabuh di Piramida jika ingin serius kajian. IMM mempunyai Fasco Learning Center, kawan-kawan MPO juga punya forum kajian sendiri. Selain itu ada juga seabreg forum lain seperti Seroja, Koplik, LS-ADI, ISAC, Jakarta Secret Society dan sebagainya.

Kini rupanya hampir semua forum kajian yang waktu itu hidup subur sudah mati. Hanya tinggal Formaci yang masih bertahan–dengan dinamikanya. Memang ada juga forum-forum baru yang berbasis kefakultasan seperti PIUS di Ushuluddin, dan LKBHMI di Syariah. Tapi yang lintas fakultas dan terbuka hanya tinggal Formaci

Karena hal itu, Formaci kini menjadi jembatan dan rumah bersama anak-anak mahasiswa faksi intelektual. Banyak kader Formaci berasal dari PMII dan IMM. Sekjen PBPMII sekarang, misalnya, semasa kuliah adalah anggota presidium. Sekarang, ketua Umum cabang IMM juga aktivis Formaci. Hal ini tentu menggembirakan karena intelektualisme mestinya melemaskan ketegangan sektarian organ ekstra yang kadang berlebihan di Ciputat.

Leave a Reply

%d bloggers like this: