Kesemek
Muka lo kaya kesemek!
Buah ini telah kehilangan nama baiknya di kampung saya, bahkan mungkin di negeri saya secara keseluruhan. Buah ini sudah lama disisihkan, dipingirkan bahkan dibuang. Bertahun-tahun tak pernah lagi saya melihat buah ini dijual di tukang buah, apalagi di supermarket. Bahkan saya sudah lupa seperti apa rasa buah ini. Anak milenial sekarang mungkin sudah tidak lagi tahu apa itu buah kesemek!
***
Saya selalu ingat ketika awal bulan ayah datang dari sekolah tempat dia mengajar. Saya dan kakak saya tahu kalau awal bulan ayah baru saja gajian. Biasanya dia membawa oleh-oleh yang dibelinya di Pasar Baru Kuningan selepas mengambil gaji di kantor kementrian agama. Yang selalu dibelinya rutin setiap bulan adalah kopyah hitam. Dia mengkoleksi banyak kopyah hitam di kamarnya. Selain kopyah, dia sering membawa buah-buahan!
Kami selalu senang kalau ayah membeli anggur. Buah itu teramat mewah untuk kami yang saat itu hidup di kampung. Selain anggur, apel yang warnanya merah menyala juga sesuatu yang istimewa. Seingat saya, sangat jarang ayah membeli kedua buah mewah dan mahal itu. Untuk gantinya, ayah sering membawa buah-buahan yang mirip anggur dan apel, dan lantas dia akan bilang pada kami bahwa buah yang dibawanya itu adalah buah anggur dan apel jenis khusus
Untuk mengganti apel, ayah membeli buah yang berwarna hitam dan berbentuk bulat-bulat dalam tangkai. Bentuknya mirip sekali anggur, dengan rasa yang sangat berbeda. Belakangan kami tahu yang ayah beli itu buah kupa. Anyah tak punya uang untuk beli anggur, hanya bisa beli buah kupa. Saya tidak yakin anak milenial sekarang tahu buah itu. Saya juga lupa kapan terakhir melihat dan memakannya. Mungkin anggur palsu yang ayah bawa ketika saya SD dulu adalah buah kupa terakhir yang saya makan.
Buah kesemek mirip juga ceritanya: ayah tak bisa beli apel yang mahal karena harus diimport. Ayah beli buah mirip apel dengan warna kuning dan dipenuhi bubuk putih mirip tepung. Ayah menyebut buah itu apel ganjen. Ganjen dalam bahasa Sunda artinya genit. Kesemek adalah buah genit karena dulu selalu dijual dengan sekujur tubuh dipenuhi waran putih mirip bedak. Bedaknya terlalu banyak seperti orang genit.
Bentuknya yang tidak menarik, seperti penuh bulukan, membuat saya selalu kesal kalau ayah pulang ke rumah dengan membawa apel ganjen itu. Rasanya lumayan saya suka. Tapi buruk rupanya membuat buah itu dijauhi dan disingkirkan, sampai sekarang.
****
Tiga puluh tahun berlalu, ribuan mil jauhnya dari kampung, saya menemukan kesemek dengan wajah dan rasa yang sepenuhnya berbeda. Saya terkejut melihat buah itu kini cantik rupawan! Seperti melihat kawan ketika kecil yang selalu korengan tapi sekarang cantik rupawan. Buah itu di jual dengan tampilan menawan. Ia di simpan di etalase depan dengan warna kuningan yang menyala. Susuah sepertnya buat orang yang singgah di toko buah untuk tidak melihat dan memegangnya. Ia jadi primadona. Di sebuah super market Asia di pusat kota Los Angeles, buah itu dikerumuni pembeli karena sedang diskon. Saya lihat orang memborong buah itu tanpa tanggung-tanggung.
Buah itu membawa saya ke kampung, ke masa 30 tahun lalu ketika ayah selalu membawa ‘apel ganjen’. Tapi sekarang buah itu sama sekali tidak tampil genit. Ia elegan dan menawan. Apel asli lewat! Saya akhirnya membeli dengan perasaan ragu. Prasangka ketika anak-anak pada buah itu terus menggelayut. Saya beli secukupnya saja. Kalau enak saya akan beli lagi.
Dan ketika sampai rumah, dengan penuh perasaan penasaran dan kenangan, saya kupas buah itu, saya potong 4. Satu saya makan, yang lain saya kasih ke Yarra, anak saya yang berumur 8 tahun (pada usia 8 tahun pula saya mengenal ‘apel ganjen’ dari ayah!). Saya langsung suka, begitu juga Yarra dan istri saya. Rasanya lebih manis dari ‘apel ganjen’ yang dulu, 30 tahun lalu, saya makan. Dan setelah hari itu saya membeli beberapa kali buah yang namanya persimmon dalam bahasa Inggris.
***
Kesemek nama yang buruk, atau setidaknya kurang enak di dengar dalam leksikon bahasa Indonesia. Mungkin karena sering dipakai guyonan untuk hal-hal yang bernada mengejek. Padahal di negara lain buah itu menjadi primadona. Kekurangan kita orang Indonesia itu adalah dalah hal bagaimana membuat tampilan (packaging) lebih cantik. Buah yang enak dan nikmat dengan vitamin dan manfaat yang banyak harus tersingkit karena kita gagal membuatnya enak dipandang mata. Makanan tradisonal yang nikmat-nikmat baru belakangan masuk hotel setelah penampilan dipercantik. Saya kira kesemek harus dihidupkan kembali, dipercantik, dan dijual.
Ketika liburan musim panah lalu saya kembali ke Kuningan, kampung halaman saya, saya dan anak-anak berkunjung ke Palutungan, salah satu objek wisata di kaki gunung Ciremai. Setelah desa terakhir, di antara ladang warga, sebelum kita tiba di air terjun Palutungan, kita masih bisa melihat beberapa pohon kesemek yang berbuah. Dari jalan kita bisa melihat buahnya menyala kuning. Saya ingat ketika kecil lewat ke tempat itu, pohon kesemek berbaris dengan buah ranum. Tapi ketika kami lewat kembali beberapa bulan lalu, pohon-pohon itu hampir punah. Mungkin pohon-pohon itu kini sebagian besar telah di tebang karena dianggap tidak ada lagi gunanya.
Ayo Indonesia, hidupkanlah kembali kesemek :).