Catatan tentang “Thick description” Clifford Geertz
Oleh: Zezen Zaenal Mutaqin
Buku The Interpretation of Culture karya Clifford Geertz adalah buku kumpulan esai di mana sebagian besar esai itu pernah dipublikasikan di berbagai penerbiatan ilmiah—kecuali bab satu. Esai-esai dalam buku itu seluruhnya berkaitan dengan konsep-konsep kebudayaan. Yang lebih menarik, kebanyakan dari esai-esai dalam bukunya itu berisi pemaparan empirik hasil penelitinnya di beberapa tempat seperti di Mojokuto (Pare), Bali dan Maroko. Secara keseluruhan, karya Geertz ini berbicara tentang apa itu kebudayaan, peran apa yang dimainkan oleh kebudayaan dalam kehidupan sosial, dan bagaimana seharusnya semua itu dipelajari. Tentu saja Geertz tidak hanya mengkopi teori-teori kebudayaan yang telah ada. Dia melangkah lebih jauh. Dalam buku tersebut, Geertz berusaha melakukan pendefinisian ulang kebudayaan. Geertz berharap bukunya bisa menjadi sebuah risalah tentang kebudayaan yang dibangun di atas sejumlah analisis-analisis kongkret. Buku TIC (The Interpretation of Culture) diterbitkan tahun 1973. Sejak diterbitkan hingga kini buku tersebut telah menjadi salah satu buku yang sangat berpengaruh dalam studi antropologi.
Geertz adalah pelopor antropologi interpretatif. Model antropologi ini jelas-jelas dipengaruhi oleh filsafat bahasa. Dirinya sendiri maupun para komentator selalu menghadirkan dua sosok pemikir besar yang amat berpengaruh terhadap karya-karyanya: Weber dan Wittgenstein. Weber adalah mbahnya sosiologi interpretatif (verstehen). Wittgenstein adalah sokoguru filsafat analitik.
Apa itu antropologi interpretatif? Jawabannya dengan jelas dan detail dipaparkan oleh Geertz di bab pertama buku TIC: Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture. Bab satu ini, tidak seperti bab-bab lain, adalah esai yang sengaja ditulis Geertz sebagai penjelasan teoritis seluruh esai dalam buku itu. Semacam penjelasan metodologi atas apa yang sebelumnya ia kerjakan dalam menganalisa kebudayaan.
Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture.
Geertz mengawali dengan definisi kebudayaan. Apa itu kebudayaan? Geertz dalam mendefinisikan konsep kebudayaan berhutang pada Weber. Menurutnya, manusia ibarat laba-laba yang hidup tergantung dalam jejaring makna yang dirajutnya sendiri. Budaya ibarat jejaring itu. Dan analisis yang dibangun untuk melihat apa itu budaya, dengan demikian, bukanlah model ilmu eksperimental yang bertujuan menguak hukum-hukum, tetapi sebuah model penafsiran yang tujuannya mencari makna.
Definisi ini diajukan Geertz sebagai buah dari keinginannya menyederhanakan konsep budaya[1]. Keingian ini telah muncul sejak pertama kali Geertz menginjakan kaki di Harvard untuk kuliah. Sebagaimana dipaparkannya dalam Available Light(hal 12), ketika Geertz mulai kuliah di Harvard, gurunya, profesor Kluckhohn dan asistennya Alferd Kroeber, tengah berusaha menyusun sebuah definisi antropologis yang komprehensif dan definitif tentang budaya. Kedua orang profesor itu mengkompilasi berbagai definisi dalam berbagai karya ilmiah yang muncul sejak Arnold dan Tylor hingga saat itu. Mereka menemukan sekitar 171 definisi kebudayaan yang dikelompokan ke dalam 13 kategori. Karya Kuckhohn ini (Miror of Man) adalah anak dari zamannya. Karya itu mewarisi sejumlah sifat yang saat itu mungkin lumrah: berambisi menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan apa yang dikerjakan, dibayangkan, diucapkan dan diyakini oleh manusia. Saat itu beredar pandangan yang lumrah bahwa orang Amerika bersifat paragmatis dan praktis, orang Jerman otoriter, orang Rusia senang kekerasan, orang Melayu malas dan lain-lain. Semua itu terjadi karena kebudayaan mereka membuat mereka demikian. Geertz ingin menjadikan definisi kebudayaan dalam antropologi lebih sederhana, terfokus dan mawas diri (AL. Hal 13).
Definisi kebudayaan yang diajukan oleh Geertz ini akan lebih jelas dalam prakteknya dilapangan (tepatnya dalam etnografi). Setiap tindakan manusia selalu berdasar pada sejumlah jejaring makna. Untuk mengauk ini, seorang pengamat (dalam hal ini etnografer) dituntut tidak hanya patuh pada seperangkat prosedur metode normatif seperti membuat catatan-catatan laporan, menyeleksi informan, mentranskip tek-teks, memetakan medan penelitian, membuat diary dan lain-lain. Seorang etnografer harus berani menempuh petualangan yang penuh resiko untuk mencari makna dan masuk pada penjelasan yang mendalam (thick description, istilah yang dipinjam dari Gilbert Ryle[2]).
Geertz meminjam sebuah contoh yang amat inspiratif untuk menjelaskan apa yang dimasud dengan penjelasan mendalam (thick description). Ia mengumpamakan seseorang yang berkedip dan ngedipin (dalam bahasa Sunda lebih jelas: ngiceup dan ngiceupan). Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang itu berkedip atau ngedipin? bukankah keduanya dalam prakteknya, terlihat melakukan hal yang sama, yakni menggerakan kelopak matanya sehingga sesaat terpejam lantas terbuka kembali. Satu perbuatan yang terlihat identik namun sesungguhnya sangat jauh berbeda. Berkedip (twitch or blink) adalah sebuah tindakan raflektif semata yang hampir tidak bermakna. Sementara ngedipin (wink) adalah sebuah model komunikasi (biasanya berbentuk konspirasi), di mana di dalamnya tersimpasn pesan yang hendak disampaikan, memuat kandungan makna tertentu dan merujuk pada sejumlah jejaring makna yang secara sosial telah mapan. Contohnya bisa semakin rumit kalau kita menghadirkan sosok ketiga yang mengejek orang yang berkedip dengan memarodikannya (parodying) atau sosok keempat yang berlatih berkedip (rehearsing)[3]. Menurut Geertz, dalam satu tindakan yang terlihat identik itu terkandung hirarki makna yang bertingkatobjek yang menjadi objek studi etnografi. Etnografer dituntut terjun dalam kubangan makna tersebut untuk menetahui, dan tentu saja menganalisis, apa yang sesungguhnya terjadi.
Karena itu, karya antropologi bukan hanya berisi paparan realitas yang ditemui selama dilapangan, tetapi lebih dari itu seorang etnografer dituntut untuk menganalisis apa yang dihadapinya. Menganalisis adalah usaha untuk memilah struktur-struktur makna dan menentukan arti serta landasan sosial sebuah peristiwa. Ini bukanlah hal mudah—penuh resiko—karena seorang etnografer akan berhadapan dengan struktur konseptual makna yang rumit, saling tumpang-tindih, berjalin-berkelindan, asing, implisit dan tak biasa. Etnografi seperti berusaha membaca sebuah manuskrip.
Lahir Sebagai Kritik
Antropologi Interpretatif yang digagas Geertz adalah kritik terhadap dua model pendekatan studi budaya yang ada saat itu. Apakah budaya itu sesuatu yang objektif atau subjektif; apakah budaya merupakan tingkah laku yang berpola atau sebuah kerangka pikiran? Pertanyaan tersebut telah menimbulkan sebuah perdebatan sengit. Kelompok yang mengusung ide budaya sebagai entitas objektif selalu membayangkan budaya sebagai realitas supraorganik yang ada dengan sendirinya yang memiliki kekuatan dan tujuan-tujuannya sendiri (mungkin semacam fakta sosial ala Durkheim?) Sebagai reaksi atas pandangan yang menggambarkan seolah budaya adalah sebuah entitas tersendiri yang terpisah dari manusia, lahirlah pandangan lain: persfektif subjektif. Menurut aliran ini, budaya adalah: sesuatu yang terletak dalam pikiran dan hati manusia (TIC hal 11). Inilah model pendekatan yang sering disebut cognitive anthropology.
Antropologi kognitif memandang budaya sebagai sesuatu yang dibentuk dari struktur-struktur psikologis manusia yang mana dengan hal itu individu-individu atau kelompok memandu setiap tindakan mereka. Ward Goodenough, salah seorang tokoh aliran ini, merumuskan kebudayaan masyarakat sebagai sesuatu yang terdiri dari apapun yang diketahui atau dipercayai sejauh berlaku dan bisa diterima oleh anggota masyarakat kebudayaan tersebut. Lantas bagaimana sebuah kebudayaan digambarkan? Menurut aliran ini, kebudayaan bisa digambarkan dengan cara menuliskan dengan rinci aturan-aturan yang bersifat sitematis–semacam algoritma etnografi—sehingga memungkinkan seorang etnografer berfungsi dan berperan sebagai seorang warga asli kelompok yang diamatinya (menjadi native)
Tepat disinilah poin yang dikritik oleh Geertz. Menurut Geeertz, budaya adalah sesuatu yang bersifat publik lebih karena makna yang dikandungnya. Kita tidak mungkin bisa ngedipin tanpa tahu apa itu ngedipin bagaimana caranya ngedipin. Kita tidak bisa mencopet tanpa tahu apa itu mencopet, bagaimna mencopet dan lain-lain. Namun mengambil sebuah kesimpulan bahwa mengetahui bagaimana ngedipin adalah ngedipin; mengetahui bagaimana cara mencopet adalah pencopetan, adalah sebuah kesimpulan yang keliru. Jika kita mengetahui sebuah kebudayaan tidak berarti kita merupakan bagian dari kebudayaan tersebut. Pengamat tetaplah pengamat. Meski sekelompok orang bisa terlihat oleh kita, kita harus tetap mengingat bahwa manusia bisa menjadi misteri bagi manusia lain. Kita tidak bisa memahami bukan karena kita tidak mengetahui apa yang meraka katakan, tetapi karena kita tidak bisa jadi mereka. (TIC hal 13. Mengutip Wittgenstein)
Untuk memahami sebuah kebudayaan kita tidak perlu menjadi warga asli kebudayaan tersebut. Yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan mereka. Inilah tujuan antropologi menurut Geertz: memperluas ruang diskursus manusia. Sebagai sistem tanda yang saling mendukung dan berkaitan, budaya bukanlah energi penggerak di mana seluruh peristiwa sosial, institusi atau prilaku digerakan. Budaya adalah konteks: sesuatu yang di dalamnya kita bisa memperoleh sebuah penjelasan mendalam.
Hal ini bukan tanpa masalah. Kekhawatiran bahwa antropologi tak lebih dari konstruksi teoritis pikiran antropolog, muncul kepermukaan. Karena itu Geertz menekankan bahwa dalam berdialog dengan kebudayaan yang hendak fahaminya, seorang etnografer (antropolog) perlu “melihat segala sesuatu dari sudut pandang pelaku (aktor)”(TIC, hal 14). Dalam istilah Weber, antropolog harus berempati (verstehen). Setiap penafsiran terhadap budaya haruslah dimulai dengan penafsiran kita sendiri tentang apa yang dikemukakan atau dipikirkan oleh pemberi informasi (informan), lantas kita menyusunnya menajadi sistematis. Penafsiran yang baik terhadap apapun, sebuah puisi, seorang manusia, sejarah, ritual, institusi, masyarakat dan juga budaya, adalah penafsiran yang terikat dengan jantung hati apa yang ditafsirkannya (18). Etnograper seperti pelukis atau tukang foto. Ia hadir untuk menuliskan diskursus sosial (sebuah peristiwa atau momen) yang mengalir dan lekas hilang agar menjadi abadi. Abadinya peristiwa dalam tulisan membuat hal itu mungkin dianalisis, ditafsirkan dan dinilai jauh-jauh hari setelah kejadian faktualnya tiada. Ketika melakukan penafsiran, yang dilakukan oleh etnografer adalah mencari dan menduga makna sebuah peristiwa, menilai dan mempertimbangkan kembali pencarian makna tersebut dan akhirnya menggambarkan kesimpulan penjelasan dari hasil pencarian yang paling baik (20).
Dari pemaparan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa deskripsi entografis memiliki tiga karakteristik: (1)bersifat interpretatif, (2)apa yang hendak ditafsirkan adalah sebuah diskursus sosial yang selalu mengalir, (3)usaha penafsiran adalah usaha penyelamatan sebuah diskursus dari kebinasaan (dengan mencatatnya, atau memotretnya)dan membuatnya mungkin untuk dilihat kembali. Karakteristik baru harus segera ditambahkan: (4) deskripsi etnografis bersifat mikroskopik.
Pendekatan antropologis secara karakteristik ditandai dengan sangat luas dan abstraknya penafsiran serta dalamnya pengetahuan. Anehnya, hal ini diambil dari sebuah pengalaman, atau peristiwa yang amat partikular (sabung ayam, sebagai contoh, atau penculiran yang menimpa seorang Yahudi, Cohen, di Maroko). Lokus studi berbeda dengan objek studi. Antropolog tidaklah mempelajari desa (misalnya ketika penelitian Geertz disebuah desa di Bali) mereka belajar di sebuah desa. Kita bisa mempelajari hal berbeda di tempat berbeda, dan juga bisa mempelajari sesuatu di lokasi tertentu. Kadang-kadang fakta sepele bisa mewakili isu besar. Ngedipin adalah wakil dari moda epistemologi, sekwanan penyerang domba menyimbolkan revolusi dan perlawanan dan lian-lain.
[1] Geertz dalam TIC mengutip 11 definisi budaya yang bersifat panoptical yang dipaparkan Clyde Kluckhohn: (1) total way of live of a people, (2) the social legacy the individual acquires from his group’ (3) a way of thinking, feeling, and bealiving, ……[2] Gilbert Ryle (1900-1976) adalah seorang filsuf Inggris yang memgang peranan sangat penting dalam perkembangan filsafat analitik dan linguistic kontemporer. Lahir di Brington dan lulus dari Oxford dan mengajar di sana mlai 1924. Menurutnya filsafat tak lebih dari analisis linguistic. Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Concept of Mind (1949). (dikutip dari ensiklopedia Microsof Encarta 2006).
[3] Geertz mengajukan contoh sendiri dengan memaparkan catatam etnografisnya tentang sebuah kejadian di Maroko berkaitan dengan sebuah peristiwa yang terjadi yang melibatkan seorang Francis, Cohen yang Yahudi dan sekawanan suku Berber.