Kenapa Hukum (Harus) Konservatif?

Bagaimana hukum menegosiasikan keberlangsungan (continuity), kestabilan dan perubahan? Kenapa hukum cenderung tertinggal dari perubahan yang ada?

Pertanyaan itu menjadi pertanyaan kunci pada tulisan singkat ini. Dua hal itu, stabilitas, keajekan dan perubahan, adalah dua hal yang sepertinya bertolak belakang. Jika Anda ingin melakukan perubahan, maka Anda harus berani menanggalkan kemapanan, keajekan.

Para sarjana, pemikir dan praktisi hukum sering dikritisi sebagai orang yang konservatif. Mereka berjalan di belakang perkembangan zaman dan waktu. Kenapa demikian? Hal itu terjadi karena ‘orang hukum’ cenderung sangat berhati-hati menyikapi perubahan. Mereka lebih setia pada tradisi dan prinsip hukum yang mapan dan bahkan tua daripada terburu-buru mengikuti inovasi.

Perubahan atau inovasi hukum yang radikal dan fundamental biasanya dilakukan bukan oleh para ahli/praktisi hukum, tetapi dilakukan oleh orang-orang di luar profesi hukum. Perubahan hukum yang radikal sering dibuat oleh para penguasa absolut, seperti dalam kasus Hammurabi, Justinian dan Napolean, atau sebagai buah dari revolusi, seperti dalam kasus di Prancis. Magna Carta yang punya pengaruh samapai sekarang di dunia, adalah buah dari perjuangan politik Raja Inggris dengan para Baron feodal (tuan tanah).

Lahirnya konstitusi baru yang biasanya mengandung prinsip-prinsip fundamental tatanan hukum, umumnya dibuat menyusul terciptanya tatanan kekuatan politik baru yang menyebabkan perubahan radikal dalam struktur kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Konstitusi 1945 Indonesia dirumuskan setelah melewati masa Revolusi kemerdekaan. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak lima kali dilakukan setelah melalui masa Reformasi 98, masa yang cukup bergejolak.

Penjajahan, penaklukan dan okupasi juga tak jarang melahirkan modifikasi hukum yang radikal pada sebuah negara/masyarakat.

Dalam semua kasus di atas, suluh utama perubahan dan inovasi yang radikal terhadap hukum dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan politik, bukan oleh orang hukum. Kontribusi orang hukum dalam mempromosikan dan mencapai perubahan hukum sangat sedikit. Para lawyers, hakim, qadi, jarang menjadi arsitek utama bagi perubahan hukum.

Dalam konteks hukum common law (hukum yang berkembang di Inggris dan negara koloninya), memang dikenal kasus-kasus penting (landmark cases) yang telah berkontribusi pada perubahan hukum yang cukup signifikan (misalnya Moses v. Macferlan, Marbury v. Madison, Mabo case). Namun meskipun demikian, dalam semua kasus itu, hakim pada dasarnya selalu memandang pada masa lalu, bukan sepenuhnya pada masa depan. Hakim yang melakukan perubahan hukum tetap harus bertumpu pada tradisi dan preseden ratio yang ada. Hukum di tangan hakim selalu bersifat evolusioner.

Dengan kata lain, orang hukum dan lembaga hukum melakukan perubahan sosial dengan hati-hati: menutup celah yang ada, menutup kebocoran, menambal sulam lubang pada struktur hukum yang ada.

Orang hukum tidak pernah berperan untuk merobohkan struktur dan menggantinya dengan sesuatu uang baru.

Apa yang menjelaskan kenyataan profesi hukum dan orang hukum cenderung konservatif dan terikat oleh tradisi? Apa ada alasan-alasan yang secara alamiah melekat pada profesi hukum/orang hukum, yang membuat sifatnya cenderung konservatif?

Secara alamiah hukum hadir untuk menjaga keajekan dan stabilitas dan karena itu sifatnya yang konservatif tidak terhindarkan. Konservatif sendiri artinya melestarikan dan menjaga sistem yang ada.

***

Dalam evolusi masyarakat terdapat dua kekuatan yang secara alamiah senantiasa bertolak-belakang: ada yang selalu mendorong dan melaju ke depan secara dinamis, namun ada juga kekuatan, energi, yang senantiasa menahan dan mengontrol laju agar tidak berjalan terlalu cepat. Dinamika kekuatan gerak, baik di alam maupun dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya saling melengkapi satu sama lain. Dalam analogi ini, hukum adalah kekuatan yang menahan laju kehidupan masyarakat agar tumbuh secara stabil.

Kehidupan sebuah bangsa atau masyarakat, mengutip Dostoyevsky, menyerupai gerak alam ini. Menurutnya, laju peradaban bangsa senantiasa berada dalam tarikan laju ke depan dan pengekangan/kehati-hatian. Hasrat itu digambarkan Dostoyevsky sebagai “kekuatan yang tidak pernah terpuaskan untuk maju sampai titik akhir (juga berarti kepunahan), meski pada saat yang bersamaan muncul kekuatan untuk menentang tercapainya titik akhir atau kematian.” Dengan kata lain, setiap bangsa memiliki hasrat tak terhindarkan untuk mengetes dan menggunakan kekuatannya sampai puncak untuk mencapai misi historis dan tujuannya, namun di saat yang sama ada hasrat yang besar pula untuk memperpanjang keberadaan bangsanya dan menghindari kematian dan kelelahan yang prematur karena penggunaan kekuatannya yang tidak terkontrol.

Hukum, dalam dialektika bangsa sebagaimana disampaikan, adalah komponen kekuatan utama dalam mengekang dan menahan untuk mengawetkan kehidupan sebuah bangsa. Hukum adalah perwujudan dari usaha mengekang dan mengawetkan bangsa terutama dengan cara mengekang penggunaan kekuatan oleh individu-individu ataupun oleh pemerintah. Lebih jauh usaha konservasi oleh hukum dilakukan dalam pengertian yang lebih luas: hukum adalah pranata yang mencegah sebuah bangsa atau organisasi dalam masyarakat melaju dengan terlalu cepat.

Power, kekuasaan dan kekuatan, adalah agen yang senantiasa menggerakkan perubahan. ‘People power’ misalnya, menunjuk pada kekuatan yang dimiliki masyarakat untuk mendobrak satu kondisi mapan yang sudah tidak dikehendaki. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, kekuatan, power, terwujud dalam bentuk revolusi dan peperangan. Revolusi dan perang adalah dua anti-tesa utama hukum. “Peperangan bukanlah masa di mana hukum tegak.” begitu kata Julius Caesar. Revolusi adalah waktu di mana hukum ditiadakan. Pada dua kondisi itu, peperangan dan revolusi, kekuatan sangat dominan dan hukum hampir tidak ada dan tidak berfungsi. Karena itu, pada dua kondisi itu, kekuatan hampir tidak terkekang dan terkontrol.

Dua kondisi di mana hukum hampir tidak hadir itu, revolusi dan peperangan, pada ujungnya selalu melahirkan tatanan hukum yang baru. Namun penyesuaian hukum yang radikal yang melibatkan kekuatan itu, peperangan dan revolusi, bukanlah pilihan akhir. Dalam proses legislasi kita juga melihat fenomena kekuatan (politik) sebagai agen bagi perubahan hukum dalam bentuk yang lain. Dalam proses legislasi, apa yang terjadi sesungguhnya adalah proses perubahan atau transformasi kekuatan dan kekuasaan menjadi hukum. Dinamika tekanan dan tarik-menarik kekuatan politik individu dan kelompok menemukan penyesuaiannya dalam lembaga hukum. Semakin permanen penyesuaian yang dilakukan, semakin dianggap berhasil hukum berfungsi.

Kekuatan (power) bisa dianalogikan dengan energi kinetik yang sangat kuat yang kadang bersifat destruktif. Hukum, di sisi lain, mirip dengan sifat-sifat materi: bersifat padat dan meniscayakan keajekan, sesuatu yang tidak dimiliki oleh energi kinetik. Seperti juga materi, hukum memiliki sifat inertia, cenderung menghindari perubahan, sementara kekuatan dan kekuasaan, seperti energi, cenderung dinamis dan senantiasa menginginkan perubahan. 

Sukses atau tidaknya sebuah bangsa dan peradaban, ditentukan dari keberhasilannya mentransformasikan dinamika kekuatan dan kekuasaan ke dalam bentuk penstabilan dan konservasi dalam bentuk hukum. Ada banyak contoh bagaimana menyeimbangkan kedua kekuatan itu gagal dicapai dalam sejarah. Dalam bahasa Dostoyevsky sebagaimana dikutip di atas, ada bangsa yang terlalu kuat “hasratnya untuk melaju cepat ke puncak/ujung misi peradabannya” mengalahkan “hasratnya untuk mengonservasi energi dan tidak segera tiba di masa akhir hidupnya.”

Peradaban Yunani Kuno dan Rezim Hitler Jerman adalah contoh dari peradaban yang gagal mengendalikan hasrat dan dorongan kekuasaan/kekuatan oleh kontrol dan pengekangan dan konservasi lewat mekanisme hukum. Bangsa Yunani pernah begitu berjaya, tapi hanya dalam tempo singkat saja. Begitu juga Jerman Nazi. Kedua bangsa itu sangat cepat hancur dan mundur karena kegagalannya mengekang kekuatan melalui instrumen hukum.

Sementara Bangsa Romawi adalah bangsa yang dianggap mengetahui rahasia bagaimana menggunakan kontrol dan kekangan hukum sebagai cara efektif bagi langgengnya imperium. Bangsa Romawi tidak tumbuh dengan sangat cepat, tapi relatif bertahan sangat lama dan cukup digjaya. Ia tidak kehabisan energi dan tidak cepat terbakar karena kemampuannya mengonservasi energi lewat pranata hukum. Kekuatan penyeimbang berupa hukum Romawi itu sampai sekarang masih terasa pengaruhnya.

Hukum adalah sistem di mana nilai-nilai dan unsur konstruktif masa lalu dilekatkan pada tatanan kekinian dan karena itu pranata hukum memungkinkan keberlangsungan pertumbuhan satu bangsa tanpa kerusakan dan gangguan. Sejarah juga membuktikan bahwa hukum sering menjadi kekuatan yang efektif untuk menengahi dan menetralkan pertentangan, ketegangan bahkan konflik.

Ketika keseimbangan dicapai, hukum akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya dari kemungkinan gangguan dan rongrongan.

Ketika kita berbicara keberlangsungan dan stabilitas inilah, kita akan bertemu dengan unsur penting lain dari hukum: durabilitas. Kita tidak bisa berbicara lembaga hukum tanpa memasukkan unsur kestabilan, durabilitas dan keajekan. Itulah kenapa hukum jadi (harus) konservatif.

* Zezen Zaenal Mutaqin. Tulisan ini bagian dari proyek buku saya yang sedang dikerjakan berjudul 8 kuliah hukum

Leave a Reply

%d bloggers like this: