Sisi Lain Amerika: #1 Rasisme

Seorang ibu tua, sekitar 65 tahun, tiba-tiba ditendang sampai tersugkur di keramaian kota New York. Pelaku ruapanya tidak puas. Setelah ibu itu tersungkur, ia kembali menendang kepalanya berkali-kali. Kejadian itu terjadi di siang bolong. Orang-orang seperti tidak peduli. Petugas keamanan malah seperti mencoba menghindar dan menutup kantor yang ia jaga.

Kebengisan itu terjadi minggu lalu. Rekaman video CCTV dan telepon gengagam yang terseber segera menyulut kemarahan dan kecaman.

Peristiwa itu tidaklah lebih brutal. Sebelumnya, mungkin bulan lalu, 8 orang meninggal sia-sia ditembak ditempat spa milik komunitas Asia di Atlanta. Beberapa orang tua di San Francisco juga mengalami kekerasan.

Tentu ada banyak peristiwa lain lagi yang tidak perlu diceritakan di sini. Dalam peristiwa-peristiwa itu, motif pelaku sama-sama berdasar pada kebencian tak berdasar pada orang Asia. Apa yang disebut Anti-Asia, belakangan meningkat cukup tajam di banyak kota di Amerika.


Banyak yang tidak tahu, sikap kebencian pada etnis Asia di Amerika sebenarnya jauh lebih tua dari sikap anti-Muslim atau anti-Meksiko. Bahkan sikap rasis itu pernah tertuang secara resmi dalam kebijakan negara. Apa yang disebut Page Act, undang-undang yang didikenal juga sebagai Chinese Exclusion Act atau peraturan Anti-Cina, berlaku pada 1875. UU itu pada dasarnya ingin membatasi jumlah migrasi orang Asia ke Amerika. Orang Asia dianggap pembawa penyakit atau pelacur. Karena itu mereka harus ditolak untuk datang ke Amerika.

Kebijakan anti-Asia juga berlangsung selama perang dunia kedua, menarget orang-orang Jepang.

Tahun 80an juga terjadi gelombang anti-Asia. Kali ini alasannya cukup lucu: mobil-mobil Jepang yang lebih hemat bahan bakar, lebih tahan lama dan murah perawatan mulai membanjiri Amerika. Detroit, kota pusat industri mobil di Amerika, mulai terasa imbasnya. Mobil pabrikan Amerika tidak lagi dilirik konsumen. Produksi menurun drastis. Industri mobil mengalami resesi dan karena itu banyak karyawan yang dirumahkan.

Buat orang Amerika, semua oran Asia terlihat serupa. Kemarahan pada Jepang menjadi kebencian pada orang-orang berwajah Asia. Seseorang bernama Vincent Chin dibunuh dengan sangat sadis atas dasar kebencian. Ia dibukul dengan pemukul baseball sampai otaknya keluar dari batok kepalanya.

Yang membuat orang Asia marah besar adalah karena dua pelakunya, Mike Nitz dan Ron Ebens, hanya dijatuhi 3 tahun hukuman percobaan dan denda $3500 dolar. Orang Asia merasa tidak memiliki kesetaraan dan hak hukum di Amerika. Bias aparat hukum ini akan terus terulang hingga kini. Kasus polisi yang rasis dan aparat hukum yang bias terlihat dalam banyak kasus terakhir, seperti dalam kasus George Floyd.

Banyak juga yang tidak tahu, salah satu penembakan masal di California terjadi karena sentimen anti-Asia. Kejadian yang cukup tragis itu terjadi pada akhir tahun 80an. Patrick Purdy, seorang rasis pemuja kulit putih, datang ke sekolah dasar Cleveland dan menembak anak-anak berwajah Asia di lapangan sekolah. Lima orang anak tak berdosa meregang nyawa ketika mereka asik bermain. (Lagi-lagi, penembakan di sekolah kemudian menjadi biasa tejadi di Amerika hingga kini)


Apakah pada dasarnya orang Amerika rasis? Jawaban sederhananya: kita tidak bisa melakukan generalisasi. Sikap rasisme ada di semua komunitas, di semua negara. Banyak juga orang Indonesia, orang India, orang Tiongkok, orang Arab, yang rasis.

Namun memang sikap rasisme dan ketakutan pada segala yang bukan putih, karena perkembangan sosial politik tertentu, belakangan sedang meningkat di Amerika.

Bukti sederhananya begini: Trump, presiden paling rasis di dunia, terpilih menjadi presiden lima tahun lalu. Pada pemilu terakhir tahun 2020, meski kalah, Trump masih dipilih oleh lebih dari 70 juta orang Amerika. Suara pendukung Trump di Dewan (House of Representative) juge meningkat meski kalah dari partai Demokrat. Senator pendukung Trump sama banyaknya dengan senator partai Demokrat (sekarang jumlah senator di Amerika 50:50 antara Demokrat dan Republican yang mayoritas pendukung Trump).

Tidak mungkin orang se-rasis Trump terpilih dan memiliki dukungan kuat kalau pada dasarnya ada cukup banyak orang di Amerika yang rasis. Bukan begitu?

Kampanye anti-China dan perang dagang selama masa Trump, tuduhan Covid19 sebagai virus China, merajalelanya produk China di Amerika, mulai kuatnya industri teknologi negara-negara Asia di Amerika, adalah beberapa faktor yang membuat sebagian orang Amerika merasa terancam.

Samsung sudah mulai merangsek dan mengancam dominasi Apple. Mobil-mobil Jepang sejak tahun 80an lebih banyak dilirik oleh konsumen di Amerika. Sebagian besar produk yang didesain di Amerika, diproduksi di China. Jika anda berkunjung ke kampus-kampus top di Amerika, mungkin setengahnya diisi orang Asia. Kampus saya, UCLA yang singkatannya adalah University of California Los Angeles diplesetkan menjadi: University of Caucasian Lost among Asian (Kampus orang-orang kulit putih yang hilang di antara orang Asia).

Amerika mungkin dianggap too much Asian oleh sebagian pemuja kulit putih dan kelompok ultra kanan. Dan manifestasinya adalah meningkatnya sentimen dan bahkan kekerasan bermotif anti-Asia. Sentimen lama yang terkubur dalam psike orang Amerika, muncul kembali.

Tapi perlu dicatat dengan tinta tebal, wajah rasisme Amerika hanyalah satu sisi dari muka negeri Paman Sam itu. Kita juga harus catat bahwa gerakan anti-perbudakan, gerakan kebebasan sipil, gerakan perempuan, gerakan kesetaraan, lahir dan tumbuh juga di sana.

Amerika memang melahirkan Klu Klu Klan. Tapi ia juga melahirkan Martin Luther King dan Obama. Wallahua’lam.

Leave a Reply

%d bloggers like this: