Anak zaman now, anak zaman old
Meskipun jelas saya dibesarkan oleh kedua orang tua saya, saya pada dasarnya dibesarkan, dididik dan dibentuk oleh keseluruhan warga desa. Di kampung saya dulu, juga mungkin sekarang, hamparan sawah, pegunungan, bukit, sungai dan kolam, perkebunan, madrasah dan mushala serta orang-orang yang ditemui di setiap sudut tempat itu adalah ‘orang tua’ yang membentuk kepribadian saya. ‘Super-ego’ itu menyerap dalam kepribadian ‘ego’ anak-anak desa sehingga mereka mempunyai kepribadian yang relatif serupa.
Ketika kecil dulu, selepas sekolah saya biasa bermain ke penghujung kampung tanpa perlu khawatir apapun sampai larut senja. Ketika malam tiba kami pergi ke mushala: mengaji, belajar, tapi juga bermain dan berlari di halaman surau, disinari lampu remang dan cahaya rembulan. Biasanya kami tak pulang ke rumah sampai pagi karena tidur bersama di surau kampung adalah sebuah kesenangan tersendiri. Baru setelah mandi pagi di kolam atau sungai, anak-anak pulang ke rumahnya untuk sekedar ganti baju sekolah.
Sebagai bapak dan ibu yang kini punya anak dua, saya merindukan suasana itu. Hidup di kota besar, apalagi sekelas Los Angeles, adalah hidup dalam penjara. Dulu ketika saya kecil, seluruh bentangan alam adalah tempat bermain dan menempa diri. Orang tua tidak perlu risau karena semua orang dewasa kenal dan tahun siapa anak siapa. Kearifan di desa mengajarkan secara alamiyah pengawasan dan pengajaran kolektif. Anak-anak siapa saja diawasi oleh setiap orang dewasa di kampung kami.
Di sini, kini, hanya untuk bermain ke depan apartemen, orang tua disuruh mengawasi. Anak-anak saya larang berkali-kali untuk melewati pagar apartemen, padahal hanya untuk bermain bola basket tak jauh dari tempat parkir. Saya tidak boleh secara hukum meninggalkan anak saya yang sudah berumur 7 dan 8 tahun di rumah sendirian hanya untuk pergi ke super market satu dua jam belanja. Hukum disini mengatur itu semua. Lalai bisa fatal akibatnya. Suasana perkotaan yang dipenuhi rimba beton dan jalan raya, tidak memungkinkan anak untuk bermain bebas. Belum lagi ancaman predator perdagangan manusia (human trafficking) belakang muncul.
Karena itu, anak saya terpenjara. Sebagai pelarian dari keterpenjaraan itu, mereka menyalurkan energi pada papan dan ponsel pintar. Berjam-jam melotot didepan layar. Mereka juga menyusuri dunia, bahkan lebih jauh dari sekedar batas desa, tapi hanya pada dunia maya. Ototnya mati, telinganya kadang tuli dipanggil berkali-kali tak peduli.
Akibat lainnya, anak-anak saya, juga anak lain pada umumnya yang hidup di kota besar, kurang sekali bergerak. Mereka juga kurang tersinari matahari yang menyehatkan. Mereka jarang sekali, atau bahkan tidak pernah, mengalami manfaat ‘mandi hutan’. Mandi hutan adalah istilah baru dalam dunia kesehatan dimana ternyata diam atau bermain di hutan, di antara pepohonan dan rumut hijau, adalah kegiatan menyehatkan. Di Jepang sekarang marak perkumpulan mandi hutan yang kerjanya bersama-sama berdiam diri menikmati suasana hutan untuk tujaun kesehatan. Karena itu pula mungkin anak-anak kurang kuat daya tahan tubuhnya.
Saking ingin mereka main, berlari-lari, loncat-loncat, berkejaran, saya dan istri selalu membiarkan mereka bermain lama-lama di seolah, selepas jam belajar. Saya juga tidak terlalu peduli ocehan dan keluhan orang di lantai dua–kami tinggal di lantai 3–yang bilang rumah saya berisik karena sepertinya anak-anak sering loncat. Meski saya berusaha membatasi mereka bermain dan loncat-loncat terutama saat malam, saya sebenarnya membiarkan mereka karena loncat-loncat, berkejaran lebih baik buat anak-anak daripada berasik-asik tanpa gerak di depan layar.
Mungkin ada baiknya apa yang diperaktikan suku Quraish sebagaimana kita ketahui dari hikayat Nabi Muhammad (dia dikirim ke keluarga Baduin, diasuh dan disusui oleh Halimah binti Sa’diyah) diterapkan ke dalam kehidupan ank-anak kita, meski tidak sepenuhnya. Anak-anak kita kirim ke kampung dan desa untuk diasuh oleh kearifan, lingkungan dan budaya yang masih relatif alami. Biarkan mereka untuk waktu tertentu menyerap esensi budaya dan energi hidup pedesaan. Biarkan bukit, sungai, hamparan sawah dan perkebunan, budaya dan kebiasaan mengajarkan mereka dasar-dasar identitas dan kehidupan. Entahlah, mungkin itu hanya pikiran saya yang prihatin dengan anak-anak modern yang terpenjara.
Los Angeles February 2018