Kenapa Ibu Itu Meledakkan Dirinya?

Sedih. Bingung. Tak habis fikir: kenapa bisa seorang ibu membawa dua anaknya datang ke sebuah gereja hanya untuk meledakkan dirinya dan membuh orang lain yang dia tidak kenal, juga tidak berdosa? Untuk memahami itu saya membuat catatan singkat

***

Bahan baku terorisme begitu melimpah di Indonesia. Sama kayanya dengan sumber daya alam kita. Bahan baku terorisme itu, bisa kita kelompokan ke dalam empat jenis. Perpaduan empat jenis itu membuat seseorang lebih cenderung terlibat dalam sebuah aksi terorisme.

Pertama, bahan baku itu bernama ideologi. Ideologi tertutup, merasa diri paling benar, menjadikan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan sebagai musuh. Ideologi itu akarnya bisa dari banyak ajaran, baik agama atau filsafat. Marxisme pernah melahirkan banyak gerakan teror di Eropa dan Asia. Islam sejak awal melahirkan Khawarij sampai sekarang Wahabi ‘jihadis’. Jangan kira Kristiani dan Hindu atau Budha tidak punya bahan untuk menjadi gerakan teroris. Gerakan Klu Klu Klan atau terorisme Hindu di India hanyalah dua contoh kecil.

Ideologi atau ideologisasi itu berjalan secara bertahap melalui proses sosialisasi. Mungkin kawan kita dulu anak yang cerdas, kritis, pandai dan biasa saja. Tapi sepuluh tahun kemudian, tiba-tiba ia menjadi sangat radikal. Bahkan terjerumus pada terorisme. Apa sebab? Sosialisasi menjadi penting. Dengan siapa dia main dan bergaul, buku apa yang dia baca, apakah dia pernah berinteraksi secara langsung dengan orang-orang yang berbeda? Semakin sedikit dan terbatas apa yang dia baca, semakin sedikit lingkungan pergaulannya, semakin tertutup pula pola pikirnya. Semakin banyak yang dibaca, semakin luas pergaulannya, semakin terbuka pula biasanya sikap dan fikiran orang tersebut.

Ideologi inilah yang menyediakan bingkai (framing) dan ujungnya pembenaran atau justifikasi bagi sebuah tindakan. Namun demikian, tidak mesti orang yang secara ideologi termasuk dalam ideologi radikal akan mengaktualisasikan dirinya dalam gerakan radikalisme. Dengan kata lain, radikal saja, atau puritan saja tidak secara otomatis membuat seseorang mau mengebom. Meski demikian, ideologisasi radikal adalah tangga pertama bagi seseorang untuk masuk pada perangkap gerakan terorisme. Butuh tahap selanjutnya.

Kedua, kekecewaan terhadap apa yang dihadapi secara langsung oleh seseorang dalam hidupnya. Apa yang diharapkan tidak bisa diwujudkan. Kenyataan tidak sesuai dengan bayangan ideal yang semestinya. Bahasa kerennya orang tersebut mengalami deprivasi relatif. Mungkin bisa juga disebut semacam alienasi, meski tidak sepenuhnya pas. Mungkin seseorang mengalami kegagalan dalam hidupnya, orang tuanya bercerai, kehilangan pekerjaan, bisnisnya bangkrut, kuliahnya gagal, dan lain-lain. Serentetan kekecewaan dan kegagalan lebih besar mendorong orang terjebak dalam gerakan terorisme. Orang yang mengalami kekecewaan lebih mudah terbawa arus. Apalagi jika yang datang mengiming-imingi balasan surga. Yang kecewa akan dengan mudah diyakinkan bahwa hidup dunia adalah fana dan hidup sesungguhnya adalah di akhirat. Cara terbaik mencapai surga adalah dengan mengorbankan diri, ‘berjihad’. Tapi ingat, tidak semua orang kecewa atau gagal mesti menjadi radikal. Ini hanya bahan baku saja. Ada juga tentu orang yang tidak mengalami deprivasi terjebak dalam terorisme.

Kekecewaan juga jangan diartikan terlalu materialistis. Kekecewaan bahwa umat di sekitarnya terjerumus dalam kejahiliyahan, misalnya, bisa juga dimasukkan dalam kelompok kekecewaan. Kekecewaan karena negaranya tidak berdasarkan ideologi yang diyakininya, juga bisa dimasukkan kedalaman kekecewaan.

Ingat sekali lagi: tidak semua orang yang mengalami kekecewaan atau deprivasi mau ikut bergabung dengan kelompok radikal atau terorisme. Ada banyak yang mengalami deprivasi tapi menyalurkannya dalam gerakan lain yang lebih positif. Faktor ideologi kemudian menjadi penting. Tapi itu saja tidak cukup. Butuh faktor lain

Ketiga, adalah faktor insentif. Jika dia kecewa terhadap sesuatu dan ia ingin tergabung dalam sebuah gerakan, pasti karena ada manfaat yang akan atau ingin didapatkan. Jika seseorang tidak merasa akan mendapatkan manfaat atau sesuatu yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya, rasanya sulit seseorang bergabung dengan kelompok gerakan tertentu, termasuk kelompok radikal.

Manfaat atau keuntungan yang akan didapatkan, atau imbalan yang akan didapatkan dari bergabungnya seseorang dalam sebuah gerakan sosial, juga tidak bisa dipahami terlalu materialistis. Ada banyak contoh: seseorang bergabung dengan gerakan pemberontak, karena ingin memerdekakan kelompok, sukunya dari kungkungan rezim tertentu. Seseorang bergabung dengan marxisme, karena ingin mewujudkan masyarakat komunis tanpa kelas. Seseorang bergabung dengan HTI karena ingin mengganti sistem thagut dengan sistem khilafah. Seseorang ibu mengebom, bawa anaknya,karena merasa akan mendapatkan insentif berupa surga. Biarlah mati bersama agar bisa ke surga bersama. Paling begitu pikirannya. Keuntungan dan manfaat apalagi yang lebih tinggi dari surga, bukan?

Ideologi, bertemu dengan kekecewaan dikasih iming-iming keutungan dan manfaat hampir cukup untuk memicu seseorang mau menjadi pengantin untuk meledakkan diri. Tapi perlu juga satu faktor lagi.

Keempat, kesempatan. Ya, dalam teori gerakan, kesempatan menjadi penting. Kesempatan itu bisa berupa kemungkinan yang tersedia serapa politik atau bisa juga karena momentum yang tepat. Setelah peristiwa 11/9, kesempatan melakukan serangan di pesawat semakin sempit karena ruangnya semakin tertutup. Pada masyarakat yang totaliter, dimana tak ada ruang yang tidak terawasi rezim, sedikit sulit muncul gerakan terorisme. Kenapa terorisme cenderung terjadi di masyarakat yang relatif terbuka atau malah di dalam negara yang gagal? Karena dalam negara gagal tidak ada lagi otoritas yang mengontrol, sementara dalam masyarakat terbuka kebebasan dan hak membuat seseorang mempunyai hak, sampai pada tahap tertentu untuk mengorganisasi diri, meyakini ideologi tertentu dan lain-lain.

Kesempatan juga bisa juga sesuatu yang secara sengaja dibuat dan diciptakan oleh aktor-aktor tertentu. Para penggemar teori konspirasi senang sekali dengan faktor keempat ini. Inilah dasar argumen mereka: bom dan kelompok teroris tak lebih dari upaya kelompok tertentu untuk mengalihkan isu, teroris itu hanya alat yang digerakkan remote kekuasaan, teroris itu mainan militer atau mainan polisi. Semua itu dasarnya karena mereka meyakini bahwa terorisme itu adalah sebuah peristiwa yang dengan sengaja dibuat dalam kesempatan tertentu yang diciptakan. Naifnya, para penggemar teori konspirasi ini tidak melihat faktor kesempatan dalam teori gerakan sosial, termasuk gerakan terorisme, dalam rentang faktor-faktor lain yang berkaitan.

Itulah saya kira empat bahan baku utama gerakan terorisme. Untuk itu, saya kira, untuk memerangi terorisme kita juga harus menyelesaikannya dengan cara menyeluruh. Perangi ideologi radikal puritan seperti Wahhabisme, perbaikan konsidisi sosial, politik ekonomi agar kekecewaan orang bisa dikurangi atau tersalurkan dalam bentuk yang positif, perbaikan sistem hukum agar aktor-aktor yang terlibat, bisa diadili dengan proses yang transparan dan adil. Juga agar setiap upaya memerangi terorisme tidak lantas kebablasan menjadi dalih bagi tujuan kekuasaan atau politik.

Apakah pemerintah tahu dan sudah menjalankan semua ini? Saya hakul yakin tahu. Kawan-kawan saya yang aktif dalam program de-radikalisasi pasti sudah memberikan masukan. Banyak pula NGO yang aktif melakukan program pembinaan mantan teroris, misalnya, dengan memberdayakan secara ekonomi.

Tapi yang apapun butuh proses dan tidak mudah. Apalagi jika di sekitar kita masih banyak orang yang secara tidak langsung mendukung gerakan terorisme dengan bersimpati karena kesamaan ideologi. Juga ingat, ini bukan urusan polisi atau pemerintah. Ini soal kita semua. Yang jadi korban adalah orang-orang tercinta disekitar kita.

Bagi saya, meski semua faktor itu turut berperan, ideologi menjadi faktor kunci. Kalau otak sudah dicuci atau rusak, faktor kesempatan, insentif, kekecewaan menjadi tidak terlalu penting. Itulah kenapa para pelaku pengeboman 11/9 adalah orang-orang kelas menengah atas terpelajar.

Semoga membantu menjelaskan meski sedikit. Salam

Los Angeles, 12 Mei 2018

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: