Hukum Kompromi
Kalau ceritanya ditarik ke belakang, sebeagimana saya yakini dan saya tulis di post facebook atau blog, kasus dijebloskannya Ahok ke penjara dalam pandangan saya lebih karena tekanan publik, bukan karena murni kasus hukum. Orang bisa berdebat perihal bukti-bukti dan fakta hukum. Tapi kenyataan demonstrasi yang tanpa henti, juga menjelang pemilihan gubernur, membuat orang Tionghoa yang juga Kristen ini menjadi korban tekanan opini publik. Ini saya kira penyakit akut pengadilan kita.
Karena Ahok dihukum lewat tekanan publik dan komprominya pengadilan menjatuhkan hukuman, maka dasar sama-sama harus masuk bui sepertinya, disadari atau tidak, berjalan. Atau, setiaknya pihak lain harus menjalani model hukumuan yang kurang lebih setimpal. Rizik ‘dihukum’ lewat hukuman kota di Mekah, tidak bisa pulang. Ahmad Dhani dihukum 1,5 tahun karena cuitan, Buni Yani dihukum 1,5 tahun. Hal ini bisa jadi karena intervensi politik tertentu, tapi juga bisa terjadi karena semata institusi pengadilan berfikir: “biar sama-sama adil!” Adil lantas dikira kalau aktor kelompok A dihukum, maka aktor kelompok B lantas juga dihukum. Kenapa? agar ‘sama-sama adil’.
Jika Ahok dihukum karena tekanan publik dan dilaksanakan oleh institusi pengadilan, maka jika Dhani, Buni Yani atau Rizik dihukum karena logika lain diluar hukum, orang tidak bisa juga protes. Atau kalaupun protes, argumennya sama-sama lemah. Kalau dia beragumen ini ketidak-adilan pengadilan, Ahok juga dihukum dengan cara tidak adil, bukan? Orang akan dengan mudah berargumen: semua sudah melalui proses pengadilan. Kalau hukum digunakan untuk kepentinganmu saat ini, jangan salahkan jika suatu saat ia akan menerkam dirimu sendiri. Itulah yang terjadi sekarang, saya kira.
Orang lupa, bahwa keadilan dan hukum tidak bisa semata-mata dikatakan mendekati keadilan hanya karena mengikuti serangkaian proses (hukum acara pengadilan). Hukum yang lebih tinggi tidak bisa semata karena satu peristiwa telah melewati tahapan proses acara hukum. Hukum positif berpijak pada landasan yang teramat rapuh jika dilepaskan dari hukum dan keadilan etis.
Saya tidak mengatakan bahwa secara hukum mereka tidak menjalani proses pengadilan yang benar. Yang saya ingin kritik adalah akar dan fondasi persoalannya: bahwa hukum di Indonesia lebih mirip sebagai alat pemadam kebakaran yang diperintah untuk memadamkan api bernama tekanan publik atau intervensi politik (kasus Anas dulu sangat kental nuansa intervensi SBY pada lembaga hukum).
Tentu, kalau dibandingkan dengan model resolusi lain di luar hukum, misalnya yang konflik atau berbeda kepentingan itu malah saling tembak atau melakukan tindakan kekerasan pada lawannya, tentu model hukum sebagai pemadam kebakaran ini lebih baik. Tapi untuk jangka panjang, hukum haruslah menjadi institusi yang objektif dan netral, terlepas dari intervensi politik atau tekanan publik. Hukum harus bekerja atas rasionalitasnya.