Setelah Si Das Man Setahun Ph.D: Mencari Ritme

Saya sendiri lupa, Septemper silam genap setahun saya menjadi Ph.D.

Perasaan baru kemarin saya tiba dari Amerika: tergopoh-gopoh, sedikit linglung dan dirundung kesedihan karena kepergian orang tua saya ketika saya dan keluarga baru saja tiba dan berada di karantina.

Setelah itu hidup seperti bergerilya dengan sakit dan kematian karena pandemi. Kami sekeluarga selamat meski banyak sekali kabar duka karena pandemi dunia.

Di tengah kondisi yang menegangkan dan menakutkan itu saya menyelesaikan sekolah doktoral. Jangan-jangan pandemi adalah pendorong utama kenapa saya cepat selesai kuliah: saya tidak bisa melakukan apapun selain fokus pada disertasi. A blessing in disguise.

Dan jadilah pada September 21 saya mempertahankan disertasi secara online. Tiga orang profesor saya duduk di ujung dunia yang berbeda dengan saya. Setelah dua jam diskusi, saya akhirnya bisa bernafas lega. Disertasi dipertahankan dengan sangat memuaskan. Saya jadi doktor.

Setelah itu, dunia mulai perlahan pulih di awal tahun 2022.

Ritme hidup saya berlari lintang-pukang: mencari pekerjaan, menstabilkan kehidupan domestik, menancapkan karir dan cita-cita. Saya menjadi Das Man, mengutip Heidegger. Saya menjadi saya yang tidak bisa lagi mengontrol otentisitas diri karena harus mengejar dan memenuhi kebutuhan hidup. Saya tergerus oleh hari-hari yang menenggelamkan. Berhenti berefleksi. Saya selalu menjadi sepeti “mereka” karena terpaksa.

Ada banyak rencana yang ingin dilakukan. Tapi hidup terlampau berat dan harus ditaklukan. Ini bukan soal menyerah. Ini hanya soal menunda mimpi dan menyusun strategi karena hidup memang butuh amunisi dan nutrisi.

***

Saya belum juga bisa menemukan ritme: menyeimbangkan kemampuan reflektif ditengah kesibukan yang menyita waktu dan energi. Saya baru faham, betapa sulitnya dosen-dosen di Indonesia untuk produktif. Kesehariannya sibuk dengan urusan mencari rezeki, sesuap nasi dan urusan administrasi. Tak ada waktu untuk refleksi

Atau itu hanya karena saya belum menemukan ritme yang pas?

Pernah mencoba model bangun pagi sekali. Konon ini strategi Kak Edi (Almarhum Azyumardi). Menurut cerita, kenapa ia tetap bisa produktif meski banyak sekali kesibukan dan jabatannya, adalah karena strategi bangun pagi. Strateginya mudah diingat: tidur lebih awal, bangun lebih awal. Jam 3 sudah bangun untuk mengerjakan kerjaan akademik dan reflektif. Dijeda subuh, ia akan terus duduk dan menulis sampai menjelang terang.

Mudah bukan? Tidak. Tidak mudah sama sekali. Bayangkan anda harus menembus kemacetan 2 jam dan sampai ke rumah menjelang sahalat isa. Badan sudah remuk. Tapi pasti tidak bisa langsung tidur. Ada anak yang mengajak main, ada istri dan keluarga dengan beragam urusannya. Tidur jam 10 atau jam 11. Jika bisa bangun jam 3 pagi dengan kondisi badan remuk dan capek sebelum itu, itu pasti pengecualian. Atau kalaupun bangun, malah tidak fokus karena badan masih minta istirahat.

Model lain: menulis disela-sela kesibukan. Pagi di kantor sebelum mulai aktif mengerjakan kerjaan. Siang atau sore setelah tugas selesai, sebelum kembali ke rumah.

Model itu bisa dilakukan, tapi hanya untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan fokus dan konsistensi tinggi. Saya menulis catatan-catatan untuk blog, artikel esai pendek untuk koran, atau tugas konsultansi saya dengan strategi ini. Tapi cara ini tidak bisa dipakai misalnya untuk menulis artikel jurnal. Menulis artikel jurnal tidak bisa disambi karena ia harus akademik dan rigorous. Butuh membuka rujukan dan membangun argumen.

Karena itu pula proyek nulis jurnal dengan kawan belum juga tergarap maksimal. Menulis jurnal itu butuh waktu duduk yang lebih lama. Butuh fokus.

Jadi, jika anda punya resep jitu, mungkin bisa berbagi dengan saya. Biar saya tidak jadi Das Man!

Leave a Reply

%d bloggers like this: