Hafalan Yarra
Apa keputusan paling disesali dalam setahun ini? Memasukan Yarra ke sekolah yang terlalu banyak tugas hafalannya!
Kenapa menyesal? Bukankah bagus anak belajar banyak hafalan? Bagus-bagus saja. Tergantung kondisi, latar belakang dan konteksnya. Namun untuk Yarra, saya merasa keputusan itu tidak tepat.
Hampir setahun sejak ia pindah dari sekolahnya di Clover Ave Elementary di bilangan Los Angeles bagian barat, Yarra masih juga belum bisa menikmati sekolah. Tadi pagi selepas subuh ia sudah komat-kamit menghafal ayat-ayat. Kata istri saya, akan ada setoran juz 29 pagi ini di sekolahnya.
Tapi tiba-tiba ketika saya masuk ke kamarnya dan bertanya, tangisnya meledak. Ia merasa kesal tidak hafal juga ayat yang ditugaskannya. Ia menjadi sangat sensitif dan serba salah. Ketika saya keluar, ia berteriak minta pintunya ditutup rapat karena ia sedang menghafal. Tangisnya pecah terdengar ketika saya harus bergegas pergi ke garasi, mengambil mobil untuk pergi ke kantor.
Sepanjang jalan, saya merasa berdosa. Terus dihantui perasaan bersalah. Harusnya tidak saya masukan Yarra ke sekolah itu.
Dulu ketika kembali dari Amerika, saya pragmatis saja: mencari sekolah yang dekat dari rumah dan mau menerima pindahan dari sekolah lain. Sekolah itu juga lumayan bagus. Toh hanya akan di sekolah itu kurang dari dua tahun saja karena ketika pindah ia masuk kelas 5. Saya lupa sekolah itu memang menekankan hafalan (tahfidz) Qur’an untuk anak muridnya.
Ketika ia menangis di bulan pertama dulu, saya sudah sampaikan ke pihak sekolah kondisi Yarra: bahwa ia tidak mungkin mengejar target hafalan karena ia baru pindah. Banyak masalah yang dihadapi Yarra. Saya mau ia betah dulu di sekolah. Problem utamanya waktu itu adalah bahasa: ia masih belum terlalu faham bahasa Indonesia.
Pihak sekolah cukup memaklumi dan saya juga sudah menyampaikan ke Yarra agar tidak terlalu ambil pusing urusan hafalan. Hafalkan saja sebisanya. Tidak perlu ikut standar hafalan teman sekelasnya.
Saya masih sering lihat ia sesekali menangis atau uring-uringan sebelum sekolah. Tapi ibunya, istri saya, biasanya bisa membujuknya untuk mau berangkat sekolah.
Saya selalu memelas dalam diri saya: betapa berat beban anak-anak sekolah dasar di Indonesia. Sekolah yang harusnya menggembirakan jadi momok yang mengerikan dan menggelisahkan. Sampai suatu saat Yarra bilang bahwa ia tidak akan pernah mau lagi sekolah di sekolah Islam.
Tentu soalnya bukan karena hafalan saja. Lebih rumit dari itu. Ketika di Amerika, ia hanya harus belajar 5 sampai 6 mata pelajaran saja. Sekolanya menggembirakan. Ia selalu menanti pagi datang. Ia selalu senang pergi ke sekolah.
Ketika tiba di sini, ada lebih 13 mata pelajaran yang harus dipelajarinya di sekolah, diluar tugas hafalan itu. Dengan keterbatasan bahasa, ia semakin merasa ketinggalan.
“Aku malu sama teman-teman kalau tidak hafal.” Ujarnya tadi pagi.
Saya tertegun. Inilah mungkin apa yang disebut peer pressure. Tekanan dari pertemanan yang dialaminya secara tidak langsung. Tidak ada kawannya yang mengejek atau merisak karena ia tidak hafal. Itu murni perasaannya sendiri. Sekali lagi, guru dan sekolahnya sudah memaklumi. Namun ia merasa malu sama teman-temannya karena hafalannya ketinggalan.
Saya bingung harus bagaimana. Tentu yang bisa dilakukan hanya menunggu sampai ia lulus kelas 6 nanti. Dan apa yang terjadi setahun ini harus jadi pelajaran untuk kami: mencari sekolah yang menggembirakan.