Cuci Gudang Oligarki Lama
Semoga ada berkah yang terselubung, blessing in disguise, dari kerusuhan 21-22 Mei pasca pengumuman pemilu KPU kemarin. Kerusuhan itu sangat disayangkan. Ia menjadi noda dalam rajutan demokrasi pada masa Reformasi kita. Ia adalah salah satu noktah hitam terbesar dalam masa Reformasi: 6 orang meninggal. Kalender pada saat kejadian seperti menjadi tuah: 21 Mei, tepat 21 tahun peringatan Reformasi.
Ketika demonstrasi dan kerusuhan itu terjadi, tengah malam menjelang dini hari waktu Indonesia, saya mengamatinya dari layar televisi melalui livestreaming dari jarak ribuan mil. Saat itu siang menjelang petang waktu Los Angeles. Saya melihat bentrokan dengan penuh cemas dan sedih. Sedih karena apa yang saya takutkan akhirnya terjadi. Dilihat dari narasi yang dari awal dibangun, saya menaruh curiga bahwa para politisi pemburu kuasa bisa bermain sampai pada titik di mana darah bisa mereka tumpahkan. Dan itu akhirnya kita saksikan.
Saya tidak mengurusi siapa yang harus bertanggungjawab. Biar yang berwenang melakukan tugasnya. Yang jelas, dalam setiap peristiwa kekerasan politik, para politisi bisa dengan mudah cuci tangan: itu bukan bagian kita; itu pekerjaan penyusup dan provokator; itu pekerjan intelejen dan pihak ketiga yang ingin mencoreng gerakan damai; itu adalah pekerjaan para perusuh bangsa; perbuatan teroris!
Seperti kita lihat, masing-masing pihak mulai menggoreng isu yang hanya akan menguntungkan pihak mereka. Mereka hanya akan menyebarkan vidoe atau gambar dari sudut yang menguntungkan mereka. Mereka akan adu kekuatan narasi dan penafsiran peristiwa kerusuhan itu. Hal tersebut dilakukan karena bagi mereka kekerasan, sama seperti perang, adalah apa yang disebut Carl von Clausewitz sebagai “the continuation of politics by other means“. Jalur normal politics mereka tempuh sembari diam-diam menyiapkan para perusuh atau pembunuh.
Dalam dua tiga hari setelah peristiwa itu terjadi, benak saya terus-menerus diingatkan satu hal: jangan-jangan semua itu hanya menunjukan sebuah gejala dari berakhirnya masa para oligarki lama. Peristiwa itu menunjukan gejala cuci gudang para politisi didikan Suharto. Peristiwa kerusuhan itu semacam usaha terkahir sisa-sisa kekuatan Orde Baru untuk kembali dan menunjukan taringnya. Peristiwa itu adalah penanda akhir dari masih dominannya mentalitas dan prilaku Orde Baru.
Jika demikian, saya dalam hal ini sedikit optimis. Tentu ini tidak menjadi alasan bagi kita memaklumi kekerasan. Kekerasan harus dikutuk dalam bentuk apapun, apalagi jika sampai memakan korban. Tapi gejala perubahan satu epoch politik, terutama di negara-negara demokrasi baru, tak jarang mewujudkan diri dalam varian kekerasan yang berbeda-beda.
Perlu dicatat, ketika saya mengatakan sisa-sisa kekuatan dan mentalitas oligarki lama dan Orde Baru, saya tidak sedang menunjuk hidung satu kubu politik. Para anak didik Suharto menyebar ke semua kubu sesuai perutungan dan irisan kepentingan politik. Prabowo jelas mantan keluarga dekat, menantu, Cendana. Titik, juga Tommy, adalah anak Suharto. Keduanya aktif bahkan terlihat dilapangan sembari mengumbar nostalgia gombal bahwa masa Ayahnya lebih baik. Selusin orang lain ada di kubu itu.
Tapi harus juga diingat, Wiranto, Hendropriyono, Luhut, untuk menyebut beberapa yang paling berpengaruh, adalah anak kandung Orde Baru dan bagian dari oligarki lama bangsa kita. Tepat di sinilah, saya kira, kelemahan mendasar Jokowi: ia menyerahkan urusan keamanan pada Wiranto sehingga Jokowi sulit mencari pijakan kokoh bagi legitimasi politik-keamanannya.
Orang bisa dengan mudah melihat peristiwa kerusuhan kemarin sebagai kelanjutan rivalitas dua jendral yang sudah ‘bermusuhan’ sejak masa Reformasi. Wiranto adalah orang yang mencopot Prabowo atas pelanggaran HAM-nya. Tapi Wiranto juga bukan “Mr. Clean” yang tanpa dosa. Pada tangannya kita bisa melihat bercak noda masa lalu. Dengan mudah pula orang menduga bahwa ia mungkin saja menggunakan cara-cara lama. Karena itu pula pemerintahan Jokowi tak punya pijakan legitimasi yang kokoh dan jaminan bahwa semua langkah dan tindakannya sesuai bukan hanya dengan aturan hukum, tapi juga dengan prinsip dan etika kemanusiaan.
Tapi bukankah kehadiran anak kandung Suharto dan Orde Baru pada masa demokrasi ini adalah pilihan kita bersama? Ketika perubahan besar terjadi pada 1998, kita memilih jalur ‘reformasi’ dan bukan ‘revolusi’. Karena itu, untuk jangga waktu tertentu, unsur-unsur lama niscaya diakomodir dan bertahan. Sebagai contoh, Golkar tidak dibubarkan. Sampai 10 tahun pertama Reformasi, para politisi kita adalah orang-orang yang seperti sedang berusaha berganti baju meski dengan badan dan mentalitas yang kurang lebih sama. Birokrasi pemerintahan kita, meski perlahan diganti, masih merupakan warisan Orde Baru.
Perubahan bertahap ini, semoga saja, mencapai titik akhirnya pada periode kedua masa Jokowi, jika ia memenangkan kontestasi ini. Semoga orang-orang lama seperi Prabowo, Wiranto, Hendropriyono, Titiek, Luhut dan yang lainnya segera akan pergi bersama pekikan kerusuhan kemarin. Seiring dengan itu, kekuatan birokrasi lama berserta mentalitasnya semoga juga tergantikan oleh kekuatan baru dengan mental Reformasi. Bukankah konon perubahan epoch generasi itu minimal terjadi pada masa dua dekade?
Semoga setelah hari muram kemarin politik kita dihiasi oleh wajah-wajah baru yang relatif bisa melepaskan dirinya dari mentalitas Orde Baru dan oligarki lama. Semoga setelah hari berkabung kemarin bangsa kita menjadi lebih kuat. Semoga peristiwa itu menjadi vaksin bagi imunitas kita sebagai bangsa. Amin dan mohon di-aminkan.
Los Angeles 24 Mei 2019.