Haruskan yang Terluka Dieksekusi?: Sebuah Refleksi tentang HHI.
Biasanya para sarjana fokus pada perdebatan tentang bagaimana memahami tradisi dengan berkonsentrasi pada teks dan konteks. Untuk memahami teks dengan benar, seseorang diharuskan mengetahui kondisi budaya dan sosio-politik zaman di mana teks tertentu diproduksi.
Pendekatan ini sama sekali tidak keliru, tapi tidak mencukupi. Ketika kita menelusuri tradisi Islam, misalnya, kita sering dihadapkan dengan kekayaan khasanah yang luar biasa. Namun khasanah itu bisa berujung pada buah si malakama. Pada teks orang bisa merujuk penghalalan tindakan paling keji. Pada teks pula orang bisa menyandarkan tindakan paling mulia. Teks, singkat kata, selalu berwajah janus.
Karena itu, yang harus dilakukan ketika melakukan penelitian tradisi keagamaan, menurut saya, adalah langkah ini: memeriksa teks, mencari kontra-teks, memahami konteks dan mencoba menggali episteme atau ‘ruh zaman’.
Episteme ini posisinya lebih dalam dari konteks, karena ia yang menentukan konteks. Episteme jangkanya lebih panjang, sementara konteks cenderung cepat berubah dan temporer. Konteks adalah peristiwa khusus. Episteme adalah fondasi di mana peristiwa-peristiwa itu muncul.
Ambilan contoh bagaimana perlakukan orang yang terluka parah di medan perang. Dalam banyak kitab hukum Islam klasik, aturan yang dianjurkan oleh para ahli hukum Islam klasik adalah agar sesegera mugkin mengeksekusinya (duffifa ʿalā al-jarḥ).
Bagaimana kira-kira pandangan hukum humaniter internasional (HHI) kontemporer terkait ini? Aturan HHI mewajibkan untuk melindungi dan bahkan mengobati semua yang terluka di medan perang, termasuk musuh sekalipun.
Apakah dengan demikian hukum Islam tidak sesuai dengan HHI? Jika sekilas saja melihatnya, jika hanya membaca apa yang tertulis, orang bisa mengambil kesimpulan demikian. Teks dalam aturan fikih itu jelas-jelas bertentangan dengan aturan HHI modern.
Kesimpulan itu dihasilkan secara terburu-buru karena seseorang membenturkan secara langsung satu teks dari satu tradisi, yang dibentuk dalam konteks dan episteme zaman tertentu, dengan teks lain yang lahir dari tradisi, konteks dan ruh zaman yang lain. Karena itulah kekeliruan terjadi.
Jika metode analisa pembetukan wacana diterapkan, kesimpulannya mungkin akan sepenuhnya berbeda.
Ruh zaman, episteme modern, memandang kematian secara sangat berbeda dengan semangat zaman, episteme, pada masa klasik atau bahkan zaman abad pertengahan. Epik Yunani dan Romawi, tradisi Islam, tradisi Abad pertengahan, melihat kematian sebagai sesuatu yang dimafhumi, bahkan dicari, dan ‘dirakayan.’ Kematian adalah sebuah peristiwa mulia, peristiwa yang akan mengantarkan pada keabadian. Kematian, karena itu, tidak ditakuti dan dihindari. Kita masih bisa melacak jejak semangat zaman ini dalam tradisi keagamaan Islam (mati Shahid), dalam novel-novel klasik, dalam tradisi bangsa-bansa di Asia seperti tradisi harrakiri di Jepang.
Secara umum, semangat zaman modern, epistem kita hidup sekarang, sudah berubah ke arah pendulum yang lain: kematian adalah sebuah peristiwa menakutkan. Ia adalah sebuah peristiwa yang tidak bisa dihindari tapi harus ditunda kedatangannya selama mungkin. Diciptakanlah obat-obatan. Diciptakanlah alat-alat untuk menunda kematian. Ditemukanlah ilmu-ilmu dalam bidang kedokteran untuk secara perlahan menunda ajal datang lebih lama. Rata-rata harapan hidup orang modern jauh lebih lama dari pada orang yang hidup seribu atau bahkan seratus tahun lalu. Bahkan konon dunia kedokteran sedang mencari cara bagaimana sel tubuh kita tidak menua, agar manusia hidup lebih lama. Atau manusia menemukan cara untuk hidup kembali dengan menggabungkannya dengan kecerdasan mesin. Semua itu diciptakan karena manusia modern takut mati dan ingin menundanya lebih lama.
Apa pentinganya refleski itu dengan diskusi kita tentang pembentukan wacana hukum dalam HHI? Begini: bagaimana kita memandang kematian akan menentukan bagaimana kita membuat aturan-aturan terkait kematian. Karena kematian adalah seuatu yang harus dihindari dan ditakuti, hukum modern secara luas melarang semua tindakan yang akan menyebabkan kematian. Mengambil nyawa orang lain dengan tidak sesuai aturan, dilarang. Dari epistemologi ini, aturan bahwa orang yang luka di medan perang tidak boleh dihilangan nyawanya bisa kita fahami.
–Perlu dicatat, saya tidak mengatakan orang zaman dulu membolekan tindakan apa saja yang mematikan. Itu diskusi kita yang lain. Contoh ini saya buat agar lebih kontras dalam memahami gagasan saya–.
Bayangkan kita hidup di sebuah masa di mana orang, terutama para pahlawan, memandang kematian sebagai seuatu yang dimaklumi, kadang dicari dan bahkan dirayakan. Kematian, apalagi untuk negara dan agamanya, adalah sebuah peristiwa mulia.
Jika anda serdadu di medan tempur pada masa klasik, atau abad pertengahan, dan anda terluka parah karena berduel, apa yang diharapkan adalah anda bisa sesegera mungkin mengakhiri sakit dan penderitaan itu dengan kematian. Kalau perlu, anda sendiri yang menghadirkan kematian itu. –Bayangkanlah adengan dalam film samurai agar anda lebih ngeh.
Ketika Imam al-Shāfiʿī mengatakan ‘duffifa ‘alā al-jarḥī’, dengan pendekatan ini, kita bisa mengartikan begini: segera selesaikanlah penderitaan orang yang terluka parah itu. Menunda kematiannya, justru memperpanjang penderitaan, merendahkan martabat dan menyiksanya. Mengeksekusinya segera adalah tindakan mulia karena tindakan itu menjaga martabat, mempersingkat penderitaan dan kesakitan. Itulah kenapa bahkan dalam hukum Islam dikenal aturan: dalam menghilankan nyawa harus dilakukan dengan benar (qatala ḥusnan)–Misalnya dalam hukum sembelihan, nyawa binatang harus sesegera mungkin dihilangan, tidak boleh menggunakan pisau tumpul, tidak pula menyiksanya. Penyembelihan harus dilakukan dimana nyawa bisa segera hilang (misalnya di tenggorokan).
Karena itu, memabaca teks al-Shāfiʿī ini kita bisa sangat berbeda: bahwa untuk zamannya, mengeksekusi sesegera mungkin musuh yang terluka parah di medan tempur justru dilakukan dengan tujuan menjaga dignity, mempersingkat penderitaan, dan menghindari penyiksaan. Ini bisa dilihat misalnya dari banyak informasi yang mengatakan memperlama penderitaan, menyiksa dan merendahkan martabat musuh yang terluka parah dilarang dalam hukum Islam.
Dengan pendekatan ini, hukum permukaan dua aturan dari dua tradisi ini (HHI dan hukum Islam), sepertinya bertolak belakang. Tetapi etik yang mewadahi keduaanya teryata sama: menjaga martabat (dignity) manusia, menghidari penderitaan.
Jika zaman sekarang menghindari penderitaan dan menghormati martabat itu diwujudkan dalam aturan perlindungan pasukan yang terluka dan pengobatan, seribu tahun lalu tidak begitu aturannya, sebagaimana tadi sudah diceritakan.
Law, hukum, aturan, mugkin bisa berubah. Tetapi ada yang lebih ajek yang menjadi fondasi di bawahnya yang sering dilupakan: ethics, virtue atau morality. Melihat yang tak nampak ini lebih sulit, karena itu banyak pemalas yang tak menghiraukannya. Apa akibatnya? Kacaulah dunia. Wallahu aʿlam