Mengamati Corona di Amerika

Awalnya orang-orang di sini menganggap virus Covid-19 sebagai urusan orang Asia, terutama Tiongkok. Saya masih ingat presiden Trump beberapa kali berseloroh bahwa Virus itu tak lebih dari flu biasa. Baginya saat itu, urusan ekonomi lebih penting.

Masih belum terbayang bahwa Amerika akan seperti hari ini, tiga minggu lalu

Situasi memang cepat sekali berubah. Kini perlahan rasa khawatir dan ketakutan mulai menjangkiti semua orang.

Super market seperti dijarah. Tisu toilet menjadi barang langka. Beras habis. Sanitasi untuk tangan susah sekali dicari. Masker hilang dipasaran.

Setelah itu lantas universitas-universitas diliburkan dan perkuliahan dilakuakan secara daring. Semua acara perkumpulan, festival, konferensi, dibatalkan. Perusahaan-perusahaan sebagian menyuruh pekerja bekerja di rumah.

Baru hari ini saya menerima pesan bahwa Pusat Kegiatan Islam di Los Angeles menghentikan semua kegiatan, termasuk shalat Jum’at besok. Umat Islam dihimbau shalat di rumah masing-masing.

Sekolah anak-anak sepertinya akan mulai tutup minggu depan. Saya mendapat pesan bahwa anak-anak besok akan dibekali bahan pembelajaran untuk dua minggu.

Melihat semua ini, sepertinya Amerika akan libur dalam dua-tiga minggu ke depan! Dan juga sepertinya setiap kita dilanda ketidakpastian dalam satu bulan kedepan.

Kepanikan semakin terasa setelah Trump mengumumkan menutup semua penerbangan ke dan dari Eropa, selain Inggris.

Orang-orang lantas kembali menyerbu supermarket. Mereka membeli apa saja yang bisa dibeli. Banyak super market seperti habis dirampok.

Sepertinya Amerika tidak ingin seperti Italia. Awalnya hanya 3 kasus. Tapi karena langkah-langkah pencegahan tidak segera diambil, dalam tiga minggu virus itu menjangkiti 10,000 orang. Rumah sakit dan sistem kesehatan Itali tidak bisa lagi menangani. Baru minggu ini mereka menerapkan karantina komunitas di seluruh Italia.

Yang mengkhawatirkan, banyak pengamat yang mengatakan Amerika tidak siap. Sampai sekarang dewan di sini masih berdebat siapa yang harus membayar biaya tes yang diperkirakan memakan biaya lebih 1.330 dolar per kasus. Kita tahu sistem asuransi kesehatan di Amerika termasuk yang paling buruk dinatara negara makmur/maju di dunia, selain paling mahal.

New York Times beberapa kali memberitakan betapa sulitnya bagi orang yang merasa punya gejala untuk mengetes dirinya. Amerika sampai saat ini belum bisa seefisien Korea Selatan yang bisa mengetes hanya dalam 10 menit. Ribuan orang bisa di tes dalam sehari di Korea. Amerika mungkin perlu belajar.

Alat tes virus yang awalnya disediakan oleh CDC, lembaga berwenang di Amerika, terlalu lambat dan beberapa kali gagal medeteksi. Akhirnya setiap lembaga dan negara bagian diperbolehkan mengembangkan alat tes sendiri. Kampus saya, UCLA sudah berhasil membuat alat tes sediri yang hasilnya bisa diketahui dalam sehari.

Dalam situasi seperti ini, memang langkah terbaik yang bisa dilakukan adalah menerapkan kebijakan karantina komunitas: semua acara dan kegiatan yang mengumpulkan orang harus dibatalkan. Virus ini sangat ‘licik’ karena untuk seminggu pertama si pengidap tidak merasakan apa-apa. Ia bisa dengan bebas menularkannya pada puluhan bahkan ratusan orang dalam seminggu.

Akhirnya yang bisa kita lalukan hanyalah berusaha hidup sebersih mungkin dan berdoa. Virus ini binatang yang ‘ghaib’ karena tak terlihat mata kita. Untuk itu kita percayakan pada Yang Maha Tak Terlihat untuk menangkalnya setelah kita berusaha.

Leave a Reply

%d bloggers like this: