Coronavirus dan Sinar Matahari

Saya sama sekali bukan ilmuan di bidang ini. Bidang saya hukum internasional. Saya hanya akan menuliskan pengalaman saya selama di Amerika yang terkait dengan pertanyaan ini: adakah hubungan sinar matahari, kelembaban dan cuaca dengan tumbuh, menyebar dan mematikannya sebuah virus seperti corona virus yang baru itu?

Sudah seminggu ini hampir semua anggota keluarga saya sakit. Awalnya Yarra terserang flu ringan. Setelah bolos sehari sekolah, ia segera lekas pulih. Tapi ketika ia mulai sembuh, saya dan Amartya mulai diserang virus itu: batuk, kepala sedikit pusing dan hidung mampet. Gejalanya tidak terlalu berat. Saya masih bisa sedikit beraktivitas rutin. Regyan juga mulai meler-meler dan sedikit batuk. Bunda, mungkin karena masih mempunyai anti-virus dari suntik vaksin beberapa bulan lalu, relatif tidak terjangkit. Tapi dia sakit yang lain: mastitisnya kambuh. Mungkin karena kecapaian dan kurang istirahat. Juga karena Regyan mulai mimi dengan tidak teratur dan mulai gigit-gigit puting.

Tapi alhamdulillah semuanya sekarang sudah mulai kembali normal dan sembuh. Saya sudah bisa kembali nongkrong di depan laptop dan menulis serta membaca.

***

Yang menarik, kami mengalami itu hampir setiap tahun. Dan selalu penyakit itu menerjang salah satu anggota keluarga kami pada musim dingin, atau winter: antara bulan Oktober sampai Februari atau Maret. Selain bulan itu, hampir tidak pernah kami diserang flu.

Tak aneh, kalau anda pernah di Amerika, menjelang musim dingin, semua orang berbondong-bondong menemui dokter mereka, atau datang ke farmasi dan tempat lain untuk mendapatkan vaksin flu. Saya tahun ini, karena malas, tidak divaksin flu. Anak-anak juga tahun ini tidak mendapatkan vaksin flu karena merasa sehat-sehat saja. Penggantinya, kami selalu minum madu dan lemon di pagi hari. Tapi memang mungkin sedang sial, tahun ini virus itu menyerang kami sekeluarga.

Kenapa ketika musim dingin tubuh selalu lebih rentan? Apakah karena sinar matahari lebih sebentar dan sedikit? Ketika winter, memang malam lebih panjang, terang dan siang lebih pendek. Juga banyak angin beritup kencang dan langit cenderung lebih sering berawan. Suhu udara dingin. Adakah kaitannya jumlah sinar matahari yang diterima sebuah wilayah, suhu dingin dan kelembaban dengan jangkitnya penyakit tertentu?

Menurut sebuh informasi, hampir 10,000 orang mati tahun ini di Amerika karena influenza. Hampir 19 juta orang terserang flu influenza dan 200 jenis flu lainnya setiap tahun. 180,000 orang harus dirawat di rumah sakit karena flu yang parah itu tidak bisa disembuhkan di rumah. Dan itu hampir terjadi di musim yang sama. Periode sebelumnya, pada musim flu 2017-2018, hampir 61,000 orang meninggal karena inluenza!

***

Saya suka berandai-andai begini: penyakit seperti flu itu ibarat kekuatan hitam. Sumbernya, menurut banyak studi, adalah binatang liar. Yang paling banyak membawa virus adalah kelelawar. Kelelawar itu binatang malam yang takut sinar matahari. Kalau siang dia tidur, malam baru berterbangan. Tapi saking banyaknya dia membawa virus, kelelawar sudah kebal terhadap virus-virus itu.

Karena ketika musim dingin malam dan gelap lebih lama, juga lebih dingin dan berangin, virus-virus kekuatan gelap itu mungkin lebih leluasa menyerang manusia. Semenatar ketika musim panas, di mana malam dan gelap jauh lebih pendek (gelap terjadi antara jam 21.00 sampai jam 5.00), kekuatan gelap sang virus lebih lemah. Ia takut dengan sinar matahari dan kehangatan.

***

Mungkinkah itu yang menjelaskan kenapa sedikit sekali orang Indonesia yang sakit parah karena flu? Juga inikah mungkin jawaban atas tidak ditemukannya Covid-19 atau Coronavirus yang baru itu di Indonesia? Tentu saja jawabannya bisa jadi karena penyakit itu tidak terdekeksi. Bisa jadi ada orang di Indonesia yang sudah terjangkiti, namun ia menganggap itu flu biasa dan sembuh tanpa harus ke rumah sakit. Dan karena itu tidak terdeteksi aparat.

Karena itu mungkin saja Covid-19 itu sudah ada di Indonesia, namun dalam posisi ‘dormant’ atau tidur dan tidak aktif. Begitu pindah suhu, cuaca dan kelembaban, virus itu bisa segera menggeliat.

Seingat saya, di Indonesia, orang akan beraktivitas seperti biasa ketika sakit flu. Dan ia tidak dijauhi karenanya. Di sini, di Amerika, kalau orang terserang flu, ia disuruh diam di rumah (karantina) dan sebisa mungkin menghindari interaksi dengan orang lain karena takut menularkan virus. Di Indonesia flu tidak dianggap sakit dalam banyak kasus. Penyakit itu cukup diobati dengan tidur, minum yang banyak dan obat dari warung dekat rumah.

Mungkinkah kelembaban, jumlah sinar matahari yang relatif stabil sepanjang tahun dan cuaca mempengaruhi ganas-jinaknya sebuah virus? Saya tidak tahu. Tapi dari pengalaman saya hidup di Amerika selama 4 tahun ini, sepertinya cuaca, jumlah sinar matahari yang menyinari satu wilayah dan kelembaban udara mempunyai hubungan yang signifikan dengan berkembang dan buasnya sebuah virus, termasuk Coronavirus (Covid-19).

Tentu saja ini jawaban berdasarkan feeling dan pengalaman subjektif semata. Saya berharap ada kawan-kawan di bidang science di Indonesia yang bisa meneliti dengan lebih sistematik dan ketat secara akademik.

Salam dari Los Angeles. Dan semoga kita sehat selalu.

Leave a Reply