Kau Makan Asap Rokokmu!

Pak Sutopo yang baru meninggal karena penyakit kanker paru-paru itu menyimpan cerita pilu dan kejam. Pilu karena orang yang memilih hidup sehat seperti dirinya malah menjadi korban penyakit yang ia coba hindari. Kejam karena ia mungkin ‘dibunuh’ oleh orang dekat dan kawannya yang menemani rapat sambil ‘ngebul’ tanpa mereka sadari.

Di Indonesia, merokok di ruangan, di tempat umum dan bahkan di sekitar anak kecil sekalipun dianggap lumrah. Saya sering sekali mengisi training para aktivis senior di pusat pelatihan mereka di Depok. Ruangan berpendingan dan jendela di tutup rapat–katanya biar dingin. Tetapi ketika masuk, seisi ruangan penuh dengan asap putih. Para peserta perempuan konon sudah protes tapi tetap saja tidak digubris. Mereka hanya mengipas-ngipaskan tangan atau kertas mengusir asap yang berputar di situ-situ saja. Ketika saya masuk, saya tidak mau mengisi materi sampai jedela di buka, AC dimatikan dan semua yang merokok tidak perlu ikut materi saya. Saya katakan bahwa ruangan itu menjadi tempat penuh racun yang membunuh setiap orang tanpa mereka sadari. Setengah isi rungan menggerutu dan protes.

Saya juga masih ingat dulu ngantor di kawasan menteng di mana hampir semua stafnya merokok. Kalau masuk ruangan yang hampir semuanya berpendingin ruangan, pasti pengap dan sesak oleh asap rokok. Yang tidak merokok yang mengalah: mereka diberikan ruangan khusus berpintu yang bisa dibuka lebar-lebar untuk membuang asap rokok.

Saya punya cerita lebih mengerikan lagi: suatu saat harus menghadap seorang senior di kampus. Saya masuk ke ruangannya yang sangat dingin, tanpa ventilasi tapi penuh dengan asap pekat dari rokoknya. Belum lima menit saya diruangannya, saya pura-pura pamit ke toilet karena tidak kuat menahan dada yang mulai sesak. Saya biarkan kawan saya yang menemani saya menghadapnya. Belakangan senior yang cerdas itu meninggal dalam usia yang repatif muda.

***

Saya kira tiga cerita pendek itu mewakili jutaan cerita lumrah di Indonesia. Mungkin kita menjadi satu dari sedikit negara yang tidak peduli dengan aturan merokok. Bahkan kalau anda ke mal-mal atau ke pusat perbelanjaan (misalnya di Tanahabang) yang jelas-jelas dipenuhi peringatan larangan merokok, pegawai di tempat itu dengan bebas dan tanpa dosa menghisap rokok mereka.

Jumlah perokok di Indonesia cukup mencengangkan: 52 juta orang. Jika yang 52 juta orang itu merokok di depan satu orang kawan lain yang tidak merokok, maka ada 104 juta perokok, baik aktif maupun pasif, di Indonesia. Kalikan sendiri jika si perokok itu menghisap rokok di depan 3 orang, berapa orang yang akan terpapar penyakitnya. Angka yang gila. Angka ini menyumbang pada sekitar 40% total perokok dunia.

Dan karena itu jumlah penyakit karena rokok, baik perokok aktif dan pasif, pasti sangat tinggi. Konon hampir 35 persen kematian di Indonesia adalah karena stroke dan jantung, dua penyakit yang sangat mungkin diakibatkan oleh gaya hidup merokok. 217,400 orang meninggal karena rokok setiap tahun. Hampir 20% lelaki di Indonesia meninggal karena rokok. Lebih mengerikan lagi kalau kita tambahkan data kerugian makro ekonomi akibat merokok yang mencapai hampir 600 trilyun (data 2015). Ini artinya, menurut studi itu, kerugian merokok empat kali lebih besar dari keuntungan yang didapatkan dari cukai.

***

Kalau anda pernah berkunjung ke negara maju, urusan rokok ini urusan serius. Di tempat saya tinggal misalnya, di kampus UCLA, larangan merokok diperlakukan secara ketat. Kampus yang mirip kota itu sepenuhnya bebas asap rokok. Semua properti kampus di luar wilayah kampus juga wajib bebas rokok. Jarang sekali saya melihat orang merokok di tempat-tempat publik. Perkok disini tidak dilarang, tetapi dipersulit sesulit-sulitnya. Bahkan kadang kalau mau merokok anda harus berjalan beberapa blok ke tempat di mana merokok diperbolehkan.

Hukuman bagi perokok nakal juga serius. Jika anda ngotot merokok di hotel, dendanya bahkan bisa mencapai 3000 dolar (setara 30 juta). Di Kampus UCLA, jika ada merokok anda bisa didenda sampai 300 dolar jika anda melanggar beberapa kali.

Harga rokok juga mahalnya selangit. Tak aneh kawan-kawan perokok yang pindah ke tempat seperti Los Angeles selalu minta dibawakan rokok dari Indonesia sebagai oleh-oleh. Pajak rokok dibuat selangit agar orang yang mau merokok mikir sepuluh kali.

Kini banyak kota di negara berkembang mulai serius juga menangani isu rokok ini. Jika anda ke Davao City di Mindanau–saya beberapa kali ke kota itu–ada akan sulit menemukan wilayah bebas rokok. Bahkan seluruh kota adalah wilayah bebeas rokok. Saya tidak tahu sejauh mana pelaksanaan aturan itu. Tapi pointtnya adalah: semestinya kota-kota di Indonesia mulai serius menangani isu rokok ini

***

Saya pernah berdiskusi dengan seorang profesor dalam sebuah seminar di kampus. Profesor itu bilang dia pernah melakukan peneliatian industri kretek di Indonesia. Setelah dia berceritera tentang seluk-beluk dan alur serta efek domino indutri rokok, ia menutup dengan pernyataan yang terus mengiang di telinga saya: tanpa disadari banyak orang di Indonesia seharusnya hidup lebih lama, tapai mereka memilih memendekan usianya dengan merokok! Setelah saya bertanya lagi meminta penjelasan, ia bilang bahwa mungkin sekitar 5-10 tahun usia perokok menjadi lebih pendek dibanding bukan perokok. Katanya, hampir semua kawan-kawannya di Indonesia yang rata-rata perokok itu sudah meninggal–sementara dia masih aktif dan enerjik.

Usia harapan hidup di Indonesia sekarang rata-rata 68-70 tahun, sementara di Amerika sekitar 79-81 tahun. Di negeri seperti Spanyol, Swiss, Singapura dan Jepang, harapan hidup bisa mencapai rata-rata 85 tahun. Artinya di negara-negara itu orang hidup 10 sampai 20 tahun lebih lama dari orang di Indonesia.

Jika ditanya kenapa mereka bisa hidup lebih lama, jawabannya kita semua mungkin tahu: gaya hidup yang sehat. Gaya hidup sehat itu apa? Anda juga tahu: tidak merokok, kurangi atau tidak mengkonsumsi alkohol, olahraga dan menjaga pola makan. Jikapun merokok bukan satu-satunya penyebab orang di Indonesai lebih cepat mati, ia bisa dipastikan menjadi salah satu faktor yang signifikan.

***

Meski sepertinya sulit, berhenti merokok bukanlah hal mustahil. Tapi jikapun saya tidak berharap pada perokok untuk berganti dan merubah gaya hidupnya, saya berharap para perkok itu lebih tahu diri. Merokoklah untuk diri sendiri. Jangan karena anda merokok orang lain kena penyakitnya. Perokok pasif konon lebih berbahaya dari perokok aktif. Jangan kau bilang karena itu ayo merokok saja! Harusnya perokok sadar bahwa asapnya itu membunuh orang-orang disekitarnya tanpa mereka sadari. Silahkan saja merokok, tapi tolong makanlah asap rokokmu itu sekalian.

Leave a Reply