Jaga Jarak dan Tenggang Rasa di Masa Corona

Badai pasti berlalu. Tapi pertanyaannya: seberapa parah badai itu menimpa kita. Juga seberapa lama.

Para ahli masih kebingungan melihat pola penyerangan, model mutasi dan tentu saja cara penanganan virus ini. Jambu biji, kunyit, pisang, disebut-sebut bisa menangkal. Tapi percayalah bahwa itu semua belum diuji secara klinis. Baru sebatas pendapat ahli melalui modeling.

Sampai saat ini jelas belum ada kesepakatan apa obatnya. Di Seattle, Amerika Serikat, baru diuji coba vaksinnya dua hari lalu. Tapi untuk sampai proses produksi masal, jika uji coba itu berhasil, membutuhkan waktu sampai setahun lebih.

Obat dan upaya satu-satunya yang dianggap cukup efektif adalah pencegahan. Caranya bagaimana? Tes orang sebanyak-banyaknya. Tujuannya untuk mencegah orang yang terjangkiti virus tapi tidak memiliki gejala dengan leluasa menyebarkannya pada orang lain.

Sampai saat ini, Indonesia belum bisa menerapkan model aggressive testing karena keterbatasan alat. Sampai sekarang kita tidak tahu berapa jumlah alat tes tersedia di Indonesia. Mungkin pemerintah perlu segera membeli alat tesnya dari Korea atau Vietnam yang sudah bisa mengembangkan sendiri model tes virus ini.

Sampai model ini bisa diterapkan, yang paling efektif dilakukan adalah mencegah diri kita berinteraksi dengan banyak orang. Diam di rumah. Hindari kerumunan, di manapun.

Hentikan sementara kebaktian, pengajian, Jum’atan, sekolah, kantor dan tempat hiburan. Terapkan dengan tegas.

Yang bersungut-sungut karena Jum’atan sementara dihentikan, please, jangan belagu jadi ahli fikih. Ulama di seluruh dunia, dari MUI sampai Al-Azhar dan ulama di Saudi, mengeluarkan fatwa kebolehan mengganti shalat jumat dengan shalat dzuhur di rumah dalam kondisi seperti sekarang. Sudah nurut saja.

Jangan juga kau bilang kita tidak perlu takut sama Corona karena kita hanya perlu takut pada Allah. Menyandingkan Corona dan Tuhan saja sudah jelas salah. Tuhan tidak bisa dan tidak boleh disandingkan dengan mahluk-Nya. Apalagi dengan virus.

Bagi yang masih ngeyel bilang tidak perlu takut Corona, tapi hanya perlu takut pada Tuhan, suruh mereka masuk ke kandang singa barang satu-dua jam saja. Lebih mulia masuk ke kandang singa karena kalau mati, kau mati sendiri. Kalau kau mati karena Corona, kau mati dan menyusahkan orang. Kau mati dan menyebarkan penyakit pada banyak orang.

Jadi, mohon, ikhtiar ini bukan karena kita tidak takut Allah. Kata Nabi: ikat dulu untamu sebelum bertawakal dan berserah diri pada Allah. Usaha dulu semaksimal mungkin sebelum berserah diri. Itulah iman sejati.

Dus, dengan segala dalih, diam di rumah dan menahan diri dari berkumpul dengan orang lain adalah jihad terbaik kita dalam perang melawan Corona.

Kenapa? Tujuannya agar jumlah orang terjangkiti sebisa mungkin ditekan. Pasti akan ada yang terangkiti meski setiap orang diam dirumah. Tapi jumlahnya bisa dikurangi secara drastis. Dan ini penting agar rumah sakit dan fasilitas kesehatan tidak kewalahan dan kelebihan kapasitas.

Tapa penjarakan fisik (physical distancing/social distancing) angka-angka korban bisa mengerikan besarnya. Penelitian Imperial College London menyebut, jika tanpa upaya serius penjarakan dan pembatasan fisik, korban di Amerika bisa mencapai 2-4 juta orang. Bagaimana di Indonesia yang begitu padat penduduknya? Entahlah.

***

Seruan dan pembatasan secara meluas di Los Angeles, tempat saya tinggal, untuk diam di rumah, sayangnya mempunyai akibat buruk. Orang-orang panik. Sifat dasar manusia muncul: egois.

Orang-orang berebutan datang ke toko-toko dan memborong apa saja untuk dirinya. Saya dengan mata sendiri melihat seorang bapak mengambil 10 dus telur padahal di belakangnya banyak yang mengantri. Ia pergi dengan 10 dus telor itu dengan tidak peduli.

Sudah 4 kali saya datang ke toko dan super market dekat rumah dan pengalamannya selalu sama: ini seperti sedang pada masa perang. Lorong-lorong dan rak makanan kosong-melompong. Pegawai-pegawai tidak tahu entah kapan stok kembali. Mereka hanya mengangkat bahu.

Sanitasi tangan dan masker sudah hilang dari pasaran sejak dua minggu lalu. Ternyata ada mafia pemborong yang membeli semua produk itu dari toko untuk dijual kembali secara daring. Beberapa menghadapi tuntutan hukuman karena perbuatannya.

Karena itu, meski penting menjaga jarak secara fisik, penting kita mengikatkan diri dan emosi kita dengan lingkungan sekitar. Tenggang rasa. Semua orang, bukan hanya kita, menghadapi hal yang sama. Ambil dan beli kebutuhan secukupnya. Ingat ada tetangga yang perutnya juga harus dikasih makan.

Masa sulit ini juga lebih sulit dihadapi orang-orang yang selama ini memang kurang beruntung secara ekonomi. Buruh harian, tukang dagang keliling, tukang sayur, tukang ojek, buruh bangunan, dan lain-lain.

Kita mungkin bisa menjaga jarak secara fisik. Tapi sebisa mungkin diupayakan hal-hal untuk membantu mereka. Jangan terlalu berharap pemerintah bisa membantu. Mereka bingung sendiri. Kita, setiap kita, mungkin bisa membantu meringankan beban mereka.

Ada teknologi yang dapat membantu. Misalnya pesan sayuran ke Abang tukang sayur melalui pesan WA. Minta ia simpan pesanan di depan rumah. Bayar melalui teknologi pembayaran daring seperti GoPay. Beli makanan ke abang yang lewat. Pesan bisa sedikit teriak dan minta ia bungkus makanan itu untuk kita. Atau pesan lewat ojek daring.

***

Juga penting kita menjaga kondisi emosi. Hentikan nyinyir dan postingan bernuansa politik. Betul pemerintah seperti gagap. Tapi bukan hanya pemerintah Indonesia yang gagap. Semua pemerintahan gagap dan kelabakan. Saya merasakan betul bagaimana pemerintah di sini, di Amerika, bereaksi lambat dan gagap. Sampai kasus membludak dan pasar hancur, baru mereka sadar.

Tugas kita mengingatkan dan mendorong. Tapi mohon jaga etika komunikasi daring kita di masa sulit ini. Tidak perlu nyinyir dan mencibir seolah-olah paling benar dan paling jagoan.

***

Corona (Covid-19) yang mewabah ke seantero dunia menyingkap hal-hal dasar dari watak kita sebagai manusia. Virus-virus seperti ini akan terus bermunculan kalau manusia secara mendasar tidak merubah pola hubungannya dengan alam raya, terutama dengan bumi yang kita tempati. Kita teramat ekspoitatif! Tamak!

Corona adalah cara alam nenunjukan pada kita betapa kita telah merusak dengan merasuk dunia yang seharusnya dibiarkan sendiri. Hutan-hutan dan dunia liar kita taklukan. Tapi akibatnya, tanpa kita sadari, dari dunia liar itu kita menyemai venom dan virus yang akan menaklukan kita sebagai manusia.

Alam raya, lewat Corona, seperti sedang menganjak dan mengatur ulang (reset) dirinya. Polusi di China berkurang drastis. Ikan-ikan di kanal Venesia bermunculan kembali setelah airnya menjadi bersih.

Tapi apakah untuk itu kita harus mengorbankan banyak sekali manusia? Saya tidak tahu. Tapi virus dan alam raya tidaklah salah. Kita manusia menuai apa yang kita kerjakan dan perbuat!

Insyaallah badai pasti berlalu. Tugas kita mengurangi resiko bencana virus dan menhentikannya sesegera mungkin. Yuk diam dirumah. (Ang Zen).

Leave a Reply

%d bloggers like this: