Buang Sampah

buang-sampah-sembarangan-di-jakarta-ahok-penjara-dan-denda-rp-1-juta_a014c

Berapa banyak kita membuang sampah setiap hari? Saya sendiri tidak pernah menghitung berapa banyak. Tapi setiap pagi, selepas mencuci piring, gelas, kwali dan panci kotor serta membersihkan dapur, Istri saya meminta saya membuang sampah, rata-rata satu atau dua kantung kresek. Beratnya mungkin lebih dari dua atau tiga kilo. Isi sampahnya apa, jangan ditanya. Pasti sama: kulit pisang, biji salak, sisa nasi, sisa sayuran, kertas, plastik, botol minuman, biji mangga. Kepala ikan dan tulang ayam belakangan jarang masuk list isi tong sampah karena sering disedekahkan kepada kucing-kucing kampung yang sudah diakui sebagai peliharaan Yarra, anak saya yang perempuan.

Dan setiap pagi ada puluhan juta orang melakukan hal yang sama: buang sampah. Menurut data, sekitar 700 ton sampah terkumpul dalam sehari hanya di Jakarta saja. Hampir 90% sampah rumah tangga. Saya tidak tahu berapa ribu ton sampah di seluruh Indonesia dibuang perhari.

Yang membuat ngeri-ngeri sedap, sampah-sampah itu sama sekali tidak dikelola dengan cara yang benar. Saya tidak mau menyalahkan anda atau orang lain. Di rumah saya, sekitar beberapa bulan pertama saya pindah, waktu itu selepas sekolah di Australia, saya mencoba sebuah ikhtiar kecil: memisahkan sampah organik dengan yang tidak organik. Plastik, botol bekas minuman, kertas, saya pisahkan sendiri. Sampah ini tidak terlalu banyak diproduksi rumah tangga. Yang selalu menumpuk setiap hari justru sampah sisa makanan. Dan sampah itu kami pisahkan dengan kantung kresek sendiri.

Tapi usaha kecil kami di rumah itu, segera setelah diangkut oleh Mas-mas tukang sampah, menjadi sia-sia. Semua sampah yang tadinya saya pisahkan itu, ditumpuk dan dicampurkan dengan semua sampah lain. Mas itu tidak tahu memisahkan sampah rumah tangga adalah sebuah upaya revolusi hijau! Juga masih banyak keluarga yang tidak mengerti dan menganggap masalah sepele perihal memilah sampah di dapur mereka adalah usaha bersama menuju kota yang lebih baik, atau bahkan sebuah usaha revolusi.

Lebih tolol lagi saya sering melihat ibu-ibu atau bapak-bapak yang necis di pagi hari melempas sampah di pinggir jalan, persis dibawah tulisan: ‘yang membuang sampah di sini saudara monyet’. Tulisan itu sama sekali tidak dilihatnya. Atau dia memang mengerti teori evolusi Darwinian sehingga merasa sama sekali tidak tersinggung dengan seruan itu. Ia membuang sampah sambil lalu tanpa menghentikan sepeda motornya. Hal itu sama tololnya dengan melempar bekas pempers anak—atau sampah lain, dalam plastik ke sungai.

Pemerintah juga tidak pernah mengurusi. Sampah jutaan ton dikelola dengan cara primitif: dianggkut ke tempat pembuangan sampah akhir dan ditumpuk. Lantas sampah-sampah itu dibiarkan pada para pemulung untuk dipisah. Sisanya dimintanya cacing untuk mengurai. Sialnya, dan ini yang membuat si cacing kesal, sampah sisa makanan bertumpuk menyatu dengan plastik, stereoform, kertas, besi, minyak dan entah apa lagi. Sampah plastik tidak akan bisa diurai tanah sampai 300 tahun. Tak mampu si cacing mengunyah sampah bedebah!!

Saya bukan ahli persampahan, juga bukan ahli ekonomi. Tapi saya pernah tinggal di satu tempat, melihat degan kepala sendiri, membaca di berita tentang bagaimana sampah yang dibuang itu sesungguhnya emas. Ya, seharga emas! Sampah yang dibuang itu bisa menjadi komoditas dari daur ulang sampai pembangkit listrik. Sampah adalah bahan baku mentah yang tidak akan pernah habis. Selama ada orang, selama itu juga akan ada sampah. Selama orang masih makan, selama itu juga sampah organik tersedia. Sampah itu diolah kembali menjadi sesuatu yang sangat berharga: pakan ternak, biji plastik, energi bio gas dan enah apa lagi.

Tapi sebelum sampah yang jutaan ton itu bisa bermanfaat, dan tidak menjadi madharat, kita semua, mestinya dipimpin oleh pemerintah, harus memulai langkah baru dari awal. Setiap keluarga harus memisahkan sampah-sampah itu. Sebenarnya usaha ini sudah di mulai. Di kantor-kantor, mal-mal, kita bisa melihat ada dua, atau tiga tong sampah berdiri berdampingan: yang hijau dan yang merah, kadang dengan yang kuning. Tapi, lagi-lagi, urusan mentalitas yang belum beres. Saya sering melihat pegawai kebersihan tidak peduli dan membuang sampah apapun di tong yang sama. Juga banyak kita yang asal buang sampah. Peradaban kita baru sampai pada: buang sampah di tong sampah saja sudah bagus! Biasanya buang sampah dimana dia suka. Memilah sampah itu dengan benar adalah satu langkah lebih maju yang belum juga kita lalui.

Setelah dipisahkan sedari awal, Mas-mas pengangkut sampah dengan gerobak atau dengan mobil bak terbuka itu juga harus dikasih training revolusi mental pengelolaan sampah! Tidak boleh mereka mencampurkan sampah di tong yang sama. Sebenarnya ini juga sangat memudahkan mereka. Dari situ mereka bisa mendapatkan uang lebih. Jika kita, para bapak dan ibu rumah tangga, sudah memisahkan sampah sisa makanan dengan sampah unorganic, Abang tukang sampah tinggal mengumpulkan dan menjulanya ke pengepul. Gaji pungut sampah yang tidak seberapa itu bisa mendapatkan tambahan. Logika yang sama harus terus runut sampai di tempat pembuangan sampah.

Ketika di Melbourne sebelum saya kembali ke Indonesia, saya harus mengosongkan isi rumah karena mau ditinggal pulang. Ada banyak sampah yang harus di buang, termasuk kursi tua yang sudah tidak terpakai. Untuk membuang sampah yang terlalu banyak itu, saya tidak bisa melemparkannya semabarangan di dekat rumah. Sampah-sampah itu mau tidak mau harus saya kirim langsung ke TPS di kota itu. Saya menyewa mobil bak terbuka dan meluncur ke tempat itu. Ketika masuk ke tempat pembuangan sampah akhir, saya tertegun. Jangan bayangkan TPS seperti Bantar Gebang atau Leuwi Gajah. Ketika masuk ke area itu, mobil mengantri dan masuk dengan berbelok ke kiri. Di tengah-tengah ada lubang besar sekali melingkar dengan dikasih sekat-sekat. Mobil mengitari lubang melingkar itu dan berhenti ketika akan membuang sampah sesuai dengan tempatnya. Sampah plastik ada lubang sendiri, sampah streoform dan busa, kayu, fiber, kaca hingga minyak bekas harus dibuang di tempatnya. Seorang pengawas hilir mudik dan siap membantu jika kita tidak tahu harus ke tong mana sampah kita dibuang! Tempat itu dikelola oleh perusahaan swasta yang katanya harus tender dengan puluhan perusahaan lain. Sampah buat mereka adalah komoditas.

Jika dikelola dengan benar sampah membawa berkah. Ia bisa menghidupi jutaan orang. Tapi jika tidak dikelola, ia membawa bencana: banjir, bau busuk, penyakit, sampai membunuh. Bayangkan, entah berapa puluh tahun sampah-sampah itu hanya menumpuk dan menjadi bukit. Lantas karena terkena panas terjadi reaksi kimiawi sampai kemudian meledak dan bukit sampah itu longsor menimpa penduduk. Mungkin hanya di NKRI hal itu terjadi.

Langkah besar itu sebenarnya bisa dimulai saat ini dengan mudah. Dimuali dari keluarga kita! Salam revolusi hiaju!

Leave a Reply

%d bloggers like this: