Iman dan Keindonesiaan

ibu-yang-sembrono-bonceng-anak-1Apa yang anda suka dari Indonesia, negeri kita tercinta ini? Banyak, tentu banyak. Anda suka makananya, anda suka dengan keindahan alamnya, anda suka dengan keramahan orang-orangnya, anda suka dengan kendaraan umumnya—serius? Ada banyak hal dan alasan kenapa anda suka dengan negeri ini. Tentu ada juga yang suka karena terpaksa. Karena, sebagaimana seorang bijak berkata: “baik buruk, ini negerimu sendiri!”

Izinkan saya berbagi dengan anda tantang kenapa saya suka negeri kita ini. Tapi pertama-tama izinkan saya memberitahu kepada anda cerita perihal ilham kenapa tulisan ini tersaji.

Ide tulisan ini sebenarnya muncul beberapa bulan lalu. Saat itu saya, untuk pertama kalinya dalam 6 tahun, kembali ke bioskop. Ya, ke bioskop. Istri saya yang mempunyai ide untuk pergi ke bioskop. Terkahir saya dan istri ke bioskop adalah tahun 2010, ketika itu di Melbourne untuk menonton sebuah peluncuran film Indonesia di sana. Amartya saat itu belum genap setahun. Sebelum masuk ke bioskop istri saya sudah siapkan susu botol kesukaannya dan sengaja memilih duduk dekat pintu keluar agar kalau dia merengek istri saya bisa segera keluar. Setelah saat itu kami sibuk menjadi orang tua. Membawa anak kecil ke bioskop bukan pengalaman menarik. Mereka pasti minta keluar atau pulang lebih dahulu. Itulah kenapa kami tidak pergi ke bioskop. Jadi alasannya bukan karena kami tak punya uang atau sudah mengharamkan bioskop dan film. Bukan. Hanya masalah waktu luang dan kesempatan saja.

Amartya dan Yarra sudah besar, mereka sudah bisa diajak kompromi dan bisa diam dengan sogokan permen dan brondong. Pergilah kami ke bioskop. Film yang dipilih sengaja film anak. Film tentang dinosaurus yang baik yang berusaha kembali ke kampungnya dengan seoarang anak kecil purba setelah tersesat karena diterjang badai.

Di bioskop itu saya tiba-tiba mendapatkan ilham untuk menulis tulisan ini. Tulisan yang tidak ada sangkut pautnya dengan film dinosaurus.

Ketika di biokop itu, saya melihat ibu-ibu berjilbab panjang, jilbaber sejati, ditemani suaminya yang mengenakan celana diatas mata kaki dan berjanggut. Janggut yang sepertinya dipaksa tumbuh karena sebuah ideologi. Mereka datang dengan seorang anak yang usianya sekitar 6 atau 7 tahun, sebaya Amartya. Apa yang unik, apa yang aneh? Dan apa hubungannya dengan cinta NKRI?

Tunggu dulu. Ceritnya belum selesai.

Setelah dari bioskop itu, saya bertemu lagi dengan keluarga itu di sebuah toko perlengkapan olahraga. Mereka seperti sedang mencari sepatu atau baju olah raga. Berdiri di depan rak sepatu bermerek yang konon perusahaannya menyumbang banyak uang ke negeri Zionis. Saya hanya tersenyum pada mereka.

Tanpa sengaja, atau entah ini telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, saya bertemu lagi dengan mereka di restoran cepat saji yang berasal dari Amerika. Makan ayam goreng. Anda pasti bisa menebak dimana kami makan.

Pada kesempatan lain, tak terkait sama sekali dengan cerita kami di mall dan bioskop itu, saya melihat seorang bercadar dan berbaju serba hitam sedang mengendarai sepeda motor mengantar anaknya ke sekolah.

Itulah yang saya suka dari Indonesia. Kita bisa dengan santai menikmati kemoderenan: menonton film animasi terbaru sambil mengenakan jibab panjang atau celana diatas mata kaki. Setelah itu pergi ke toko perlengkapan olah raga untuk membeli sepatu bermerk dan makan di restoran cepat saji yang sering jadi target para teroris. Sebelum pulang, kita mampir di mushala yang nyaman untuk shalat. Di negeri kita, iman bukanlah halangan untuk kita menikmati kemodernan. Sebagian besar kita di negeri ini tidak menjadikan iman sebagi benteng tempat kita bersembunyi dari hidup dan musuh-musuh yang seolah-olah mengepung kita. Beragama dengan santai, bukan beragama dengan rantai.

Di negeri kita sebenarnya banyak kemewahan dan keistimewaan pengalaman beragama yang dianggap biasa. Anda tidak akan bisa melihat perempuan percadar hitam megendarai motor di negeri Arab sana. Jangankan mengendarai motor, nyetir mobil saja haram. Saya tidak tahu apakah ada bioskop disana? Saya pernah bingung karena tidak menemukan mushala di mall terbesar di kota Dhakka, Jamuna Park, karena pengelola mall tidak menyediakan mushala. Kata satpam di sana yang saya tanya, kalau mau shalat harus ke mesjid yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki! Keistimewaan itu kadang baru kita rasakan kala kita sedang di luar negeri.

Tentu pertemuan iman, agama dan kemodernan yang kita nikmati bukanlah sesuatu yang tercipta begitu saja. Kita bisa menikmati kemodernan tanpa harus kehilangan identitas budaya dan keislaman kita karena ada para pemikir yang berhasil membuat wacana yang mampu merubah cara pandang dan prilaku bangsa ini. Para pemikir seperti Nurcholis Majid, Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan para pemikir lain semasanya, mempunyai impian besar yang sekarang bisa kita nikmati: memadu-padankan keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Jangan sampai cara-ciri bangsa bertabrakan dengan kekinian dan keislaman.

Kesalahan dalam mempertemukan mereka bisa berujung pada petaka dan konflik. Lihat Taliban contohnya, lihat banyak negara Timur Tengah yang sekarag karut-marut, hancur. Lihat ulang kaum radikal dan fundamentalis. Buat mereka seolah-olah ketiga unsur itu (kebangsaan, keislmana  dan kekinian) tidak bisa dipadu-padankan. Ketiga hal itu harus dipilih salah satu dan ditinggalkan yang lainnya.

Saya masih sempat mengalami sengitnya pertempuran pemikiran kaum modernis dengan kaum fundamentalis pada akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an. Banyak orang yang mengutuk kekinian dan menganggap kemodernan sebagai penyimpangan dan tak lebih dari cara lain dari penajahan. Kembali pada Islam diartikan sebagai kembali pada masa lalu dan menolak masa kini. Sampai pada titik ekstrim dimana ada orang yang ingin kembali pada mata uang dinar dan dirham dan menolak model ekonomi modern. Mereka ingin kembali pada yang ‘asli’ sebagai mana diajarkan Nabi.

Untung, sepertinya, ide-ide keterbelakangan itu kini tidak banyak diikuti orang. Tentu saja kita tidak berada dalam kondisi aman sepenuhnya. Kita semua dituntut terus menerus memelihara pola beragama dengan santai dan ceria, model beragama yang menjadikan iman sebagai pelita untuk kita terus maju dan melangkah mengarungi kekinian dan masa depan.

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: