Menanti Mereka Tiba

Pekerjaan paling membosankan, juga menggeliskahkan adalah penantian. Saat menanti seseoorang, waktu seperti membeku. Berkali-kali menengok jam di tangan, tanpa sadar memastikan hari ini tanggal berapa. Selalu dihitung berapa hari lagi waktu yang dinanti tiba. Apa yang harus disiapkan. Baju apa, makanan apa, sepatu apa yang harus dipakai dan dihidangkan. Penantian adalah penderitaan. Penderitaan yang akan hilang dalam sekejap ketika yang dinanti saatnya tiba.

Begitulah aku. Kini menenti mereka. Mereka adalah kedua anakku dan istri tercinta. Selama hampir 7 bulan ini kami terpisah ribuan mil. Mereka di Jakarta. Aku di Los Angeles. Kami terpisah untuk sementara karena aku harus sekolah lagi, kuliah doktoral di UCLA. Sesuai rencana, mereka baru akan menyusul ketika smua hal di sini siap. Pemberi beasiswa juga mensyaratkan keluarga untuk menyusul setelah 6 bulan. Mungkin tujuannya bagus: agar aku fokus pada belajar setidaknya pada semester pertama.

Sekarang waktunya telah hampir tiba. Tinggal 3 hari lagi mereka di sini. Aku sudah tinggal di sebuah apaeremen yang bisa dibilang mewah milik Universitas. Asuransi anak-anak sudah aku urus. Tinggal mobil. Tapi untuk sementara mungkin bisa bertahan tanpa mobil. Nanti akan beli setelah mereka ada di sini.

Tapi ketika waktu ketibaan mereka semakin dekat, aku semakin gelisah. Ada saja yang dipikirkan. Ditambah tiba-tiba Amartya sakit: asmanya kambuh, batuk dan panas. Penyakit langganan dia dari kecil. Kata istriku dia makan es sampai 3 kali hari minggu. Ditambah cape karena seharian main dan sehari sebelumnya baru datang dari Kuningan. Aku gelisah sekali. Bagiaman jika pas saatnya berangkat dia tidak sembuh? Kalau maksa berangkat ketika sakit, apakah mungkin? Ditambah aku khawatir dan merasa berdosa pula karena mereka akan berangkat bertiga saja. Aku tidak jadi menjemput mereka

Rencana awal, aku akan pulang sebentar ke Indonesia untuk menjemput mereka. Namun apa daya, setelah dipertimbangkan, lebih baik mereka menyusul sendiri. Tiket, semua hal untuk perjalanan aku siapkan. Kami harus menghemat. Tiket pergi-pulang ke Jakarta lumayan mahal, apalagi jika dibeli terlalu mepet. Uang yang harusnya untuk membeli tiket aku alihkan untuk membeli isi rumah, dari mulai kasur sampai perabotan dapur.  Sebagai ganti perasaan bersalah itu, aku buatkan banyak persiapan untuk dibaca istriku. Kebetulan juga ada kawan yang pulan dengan rute dan jam yang sama meski berbeda pesawat. Rencananya mereka akan berjumpa ketika transit di Taipe dan ketika landing di LA.

Ketika hari-hari penantian semakin mendekat, aku hanya bisa berdoa semoga semuanya dilancarkan oleh Allah. Semoga Amartya lekas sembuh dan mereka selamat tiba di apartemen yang telah aku siapkan ini. Dan sementra menanti ini, aku tidak bisa melakukan apapun. Terjerumus dalam kemalasan.

Leave a Reply