MedSos dan Kebebalan Kita

is-social-media-making-us-stupid

Bulan lalu saya mampir di toko buku langganan saya sejak kuliah di dekat komplek dosen UIN Jakarta yang sekarang sudah hampir rata dengan tanah. Pemilik toko itu masih orang yang sama dengan orang yang biasa menjaga toko itu 15 tahun lalu. Tapi toko itu sekarang sepi. Ketika saya masuk, hanya ada dua orang di dalam toko itu, sepertinya mahasiswa, yang sedang melihat-lihat buku.

Saya basa-basi menanyakan kabar seperti biasa kepadanya. Sepertinya ia sedang tidak terlalu bahagia. Mukanya menyimpan banyak masalah. Matanya seperti tak menyimpan cahaya masa depan. Layu dan lusuh. Ketika saya menyodorkan beberapa buku untuk saya beli, dengan sigap ia mengambil plastik pembungkus buku dan mulai merapihkannya dengan gunting. Gerakannya masih seperti dulu. Saat tangannya memasang bungkus buku itu, ia mengeluh: tak banyak lagi mahasiswa yang berkunjung ke tokonya untuk membeli buku. Setiap tahun semakin hilang para pembaca buku. Mahasiswa hanya sesekali datang, itupun yang dicari sekedar buku teks perkuliahan. Jarang sekali ada mahasiswa membeli buku filsafat, keislaman, novel dan sastra dan buku pemikiran lain. Omsetnya menurun mungkin sekitar 500% dalam 10 tahun terkahir.

Ketika saya kuliah, secara rutin saya dan kawan-kawan mampir ke toko itu untuk membeli buku-buku baru. Saat itu kita seperti berlomba mengoleksi dan membaca buku. Membaca buku adalah amunisi mahasiswa yang aktif di organisasi atau forum studi kemahasiswaan. Buku-buku yang dulu saya beli itu kini masih rapih disimpan di lemari buku. Sebagian besar sudah dikirm ke rumah di kampung, sementara sebagian yang lain, yang masih sering dibaca, tersimpan baik di lemari buku di rumah saya.

Nasib toko buku lain lebih tragis. Beberapa toko buku di sekitaran kampus UIN sudah tutup beberapa tahun lalu. Toko buku legendaris, Gerak-Gerik, yang biasa menjual buku bekas yang langka, sejak 2008 sudah tidak lagi buka.

Nasib toko buku itu adalah poteret kecil perubahan besar yang terjadi di industri penerbitan dan percetakan secara umum. Internet membuat orang semakin mudah mendapatkan pengetahuan dan informasi. Koran datang ke gawai kita setiap menit dengan sendirinya. Sekarang bukan pembaca yang mencari informasi, tetapi informasi atau berita yang mencari pembara. Thu Guardian setiap menit mengirim berita agar saya membacanya, juga Kompas dan Detik.

Tetapi ada sisi buruk dari semua perkembangan ini: perubahan mentalitas. Kalau membaca buku, kita dituntut sabar dan aktif, juga teliti memahami setiap kalimat dari buku yang kita baca. Dalam duni digital, pembaca jadi serba instant dan cepat, juga pasif. Kalau kita penasaran akan satu soal, kita cukup buka Google dan dalam hitungan detik informasi itu datang kepada kita. Instant dan cepat.

Sosial media membuat perubahan itu kian cepat, dan kadang mengkhawatirkan. Sekarang ada lebih banyak orang mendapatkan informasi dari sosial media daripada baca buku. Orang Indonesia bisa menghabiskan berjam-jam dengan gawainya, dari bangun tidur sampai mau tidur. Kalau tidak pegang gawai, dunia serasa mau kiamat. Sehari tidak membaca pesan sosial media, terasa kita langsung berubah menjadi manusia primitif. Padahal media sosial tidak sama sekali membuat kita semakin produktif.

Media sosial, sedikit berbeda dengan informasi berita atau informasi buku, selalu menyajikan informasi tanpa saringan. Informasi di koran cetak, karena terbit hanya sehari sekali, sebagai contoh, tersaji melalui proses seleksi dan pertimbangan. Informasi di berita online masih disaring dan diseleksi, diedit, tetapi dengan ketergesa-gesaan karena dunia maya meniscayakan kecepatan. Itulah kenapa berita di berita online kadang-kadang tidak berimabang dan tidak akurat. Mereka butuh cepat.

Informasi di media sosial hadir tanpa ada proses penyaringan dan pertimbangan apapun. Pembaca yang harus kritis dengan sendirinya menyaring dan menyeleksi informasi itu. Sayangnya, banyak sekali orang mengira informasi di media sosial yang datang ke gawainya itu sebagai kebenaran. Dimakan bulat. Meski mereka tidak tahu darimana asal berita atau informasi itu. Sebagian besar pembaca media sosial tidak memiliki pandangan kritis terhadap apa yang mereka baca. Mereka menerima dengan pasif dan menerima informasi itu secara instant.

Banyak kebebalan nyata dalam media sosial yang berubah menjadi kebenaran. Kebebalan itu untuk tujuan tertentu kadang sengaja dibuat. Pada masa kampanye dulu kita masih ingat banyak berita bebal bertebaran di media sosial: si A Kristen, si A China, dan lain-lain. Belakangan berita serupa muncul, misalnya: Presiden keturunan PKI, Orang-orang China mau menyerbu besar-besaran ke Indonesia untuk meguasai semua aset dan lapangan kerja dan lain-lain.

Dalam media sosial berlaku rumus: kebebalan yang berualang-ulang disebarkan akan menjadi kebenaran.

Di Bulan Ramadhan yang suci ini semoga kita semua terlindung dari kebebalan berfikir yang terkutuk.

Leave a Reply

%d bloggers like this: