Kenapa Kita Menulis?

Kenapa saya menulis? Kenapa kita harus menulis?

Saya menulis karena hobi. Itu jawaban pertama. Karena hobi, saya mengerjakannya dengan suka cita, dilakukan pada masa senggang seperti sekarang, dan dengan sepenuh hati.

Saya punya tetangga yang hobinya memelihara burung, tetangga lain hobinya memancing. Apa yang mereka lakukan? Mereka dengan suka cita berburu jenis burung yang suaranya bagus, bulunya indah, mencari kandang burung yang cukup besar, membersihkan tahi burung hampir setiap minggu pagi, mencari jangrik untuk makan burung, memandikan dan menjemur burung itu dan lain-lain. Yang suka mancing: mengkoleksi pancing yang bagus dan membawa hoki, mencari pelet (umpan ikan) super, dan setiap akhir pekan rela nongkrong di samping kolam berjam-jam menanti sentuhan halus dan kemudian kejutan dari bawah permukaan air. Mereka mengerjakannya dengan suka cita, sepenuh hati.

Buat tetangga saya yang hobi mengoleksi burung itu, mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan, tidak masalah. Rela mengeruk tahi burung dari kandangnya setiap minggu mirip dengan saya mengedit tulisan, membersikan naskah dari kata-kata yang tidak perlu. Tetangga saya itu pernah beberapa kali burungnya dicuri orang. Tetapi dia tidak kapok untuk membeli lagi burung, bahkan yang lebih bagus, setelah gajian. Sama seperti saya berkali-kali kehilangan tulisan karena tidak disimpan atau dimakan virus, atau kehilangan ide tulisan karena tidak segera dituliskan. Tapi tidak pernah kapok untuk kembali menulis. Ini hobi, Bung!

Tetapi, lebih dari sekedar hobi, menulis, buat saya, adalah cara kita menjadi abadi. Cara kita menempati setitik ruang dalam rentangan waktu dan keabadian. Menulis, sebagaimana juga membaca, adalah cara manusia berkomunikasi antar generasi, menyampaikan pesan dan mengemas pengetahuan. Menulis adalah cara unik yang hanya dimiliki manusia, tidak oleh mahluk lain, bahkan malaikat sekalipun.

Memang kita punya mulut untuk berkomunikasi secara lisan. Tapi komunikasi lisan begitu terbatas dan begitu singkat. Terucap, dan setelah itu hilang. Terucap, dan setelah itu ia pergi entah kemana. Tentu ada kalanya sebuah ucapan menancap tajam dalam hati dan ingatan, mungkin karena menyakitkan atau menyenangkan. Tetapi ucapan lisan tak punya sayap yang bisa terbang merentang jarak dan waktu, melewati lintasan sejarah. Tulisan ini bisa langsung dibaca ribuan orang, di seluruh penjuru dunia manapun, sementara ceramah saya biasanya hanya didengar puluhan orang saja.

Kita bisa mengetahui sejarah peradaban manusia, terutama karena ada tulisan atau penanda lain yang ditinggalkan. Tentu tulisan bukan hanya huruf dalam layar gawai atau komputer ini, juga bukan hanya dalam secarik kertas. Itu cara manusia menulis yang terkini. Jauh hari ketika manusia baru memulai membangun fondasi peradaban, tulisan bisa berbentuk cap telapak tangan di goa-goa, sebuah gambar pahat diatas batu atau gerabah dan lain-lain. Jangan pernah berfikir kita bisa menemukan kertas pada masa awal peradaban. Papirus, sejenis kertas dari dedaunan, baru ditemukan dipinggiran sungai Nil pada masa 3500 SM. Dari kata papirus itu pula kemudian kata paper (kertas) kita kenal. Kertas yang kita kenal sekarang, sebentuk benda tipis dan rata untuk menuangkan tulisan,  ditemukan di Tiongkok ada 101 M oleh seorang bernama Tsai Lun. Tsai Lun membuatnya dari bambu. Dari Cina, model kertas Tsai Lun, lantas menyebar ke Jepang, Korea, dan lantas ke seluruh dunia. Orang modern membuat kertas dari kayu.

Yang ingin saya sampaikan adalah: semua media  itu menghantar pesan dari masa lalu pada kita dimasa kini. Dan dari pesan masa lalu itu manusia membangun peradaban masa kini. Peradaban masa kini akan menjadi bahan masa yang akan datang membuat peradaban baru. Sebuah proses tanpa henti.

Anda yang pernah beajar sejarah Islam pasti tahu bagaimana sejarah setiap ucapan wahyu dituliskan bukan? Wahyu-wahyu itu ditulis oleh para juru tulis wahyu yang diperintahkan oleh Rasul secara langsung. Jumlahnya kurang lebih 44 orang. Jumlah ini cukup untuk memastikan setiap wahyu yang turun dijaga, ditangkap dan diawetkan dalam tulisan secara persis. Pada awalnya memang semua orang menghafal setiap wahyu itu. Dan sampai pada beberapa puluh tahun pertama tulisan itu diabaikan karena mereka merasa cukup dengan hafalan. Lantas datang satu masa dimana jumlah penghafal Qur’an semakin sedikit karena banyak dari mereka yang meninggal.

Jika saja Qur’an tidak dituliskan, maka dipastikan nasibnya seperti kita suci lain: dituliskan beberapa ratus tahun setelah wafatnya penerima wahyu dan karena itu secara niscaya banyak penyimpangan. Nasibnya mirip dengan hadist. Muhammad SAW dan para pengikut awal itu luar biasa karena telah memiliki visi keabadian. Karena visinya itu Qur’an yang ada saat itu bisa kita baca dan selami maknanya sekarang. Tentu tulisan dan proses pembukuannya bertahap, tetapi secara umum tulisan yang kita baca sekarang sama persis dengan tulisan yang dibaca Zaid Bin Tsabit atau Abu Bakar 1400 tahun lalu. Tulisan itu membuat pesan menjadi abadi.

Yang mengagumkan, menulis pada masa sekarang adalah hak milik setiap orang. Setiap kita pada dasarnya penulis. Anda menulis pesan di sosial media setiap jam, setiap hari. Tanpa henti. Padahal 50 tahun lalu, atau mungkin 30 tahun lalu, menulis adalah sebuah keistimewaan. Menulis, saat itu, adalah kemampuan cerdik cendekia dan orang kaya saja. Lebih jauh lagi kebelakang, menulis adalah sebuah keistimewaan beberapa gelintir orang saja.

Karena setiap kita adalah penulis, maka setiap kita bisa menjadi abadi dan menempati setitik ruang dalam alur sejarah yang tanpa henti ini. Ayo menulis dengan lebih baik.

5 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: