Curhat Penulis Pemula

Saya hanyalah seoarang seorang penulis pemula. Sedang belajar berkarya secara serius. Berencana menghasilkan lagi beberapa tulisan fiksi, bermimpi melahirkan sebuah novel yang bagus dan dibaca banyak orang. Namun menggeluti dunia ini, seperti juga dunia lain, penuh tantangan dan rintangan. Tantangan yang selama ini sangat mengganggu saya, setidaknya ada dua: kesulitan memulai sebuah karya baru dan kebingungan perihal nasib anak spiritual yang telah dilahirkannya.

Saya mulai dari yang kedua dahulu. Buat penulis, juga buat pelukis, pemahat atau pekerja apapun, hasil karya yang dilahirkannya adalah anak spiritualnya. Ia ingin selalu mengetahui nasib anak yang dilahirkannya itu. Ia ingin tahu perkembangannya. Tak ada beda seperti saya ingin tahu perkembangan anak saya yang baru saja ulang tahun kemarin. Saya ingin tahu apakah ia sudah bisa berjalan, mengeja, membaca, berhitung, berbicara, sekolah dan seterusnya. Penulis pasti ingin tahu nasib karyanya: seberapa jauh diapresiasi–atau tidak diapresiasi; ingin mendengar tanggapan orang; ingin tahu kritik orang; ingin tahu berapa banyak laku dipasaran; seberapa banyak dibaca orang; seberapa mudah didapat orang di pasaran dan lain-lain. Tentu ingin tahu semua itu karena ia ingin tumbuh menjadi lebih baik.

Pengarang adalah tuhan buat tokoh-tokoh, alur cerita dan nasib semua karakter dalam karyanya. Sebagai tuhan dia bisa membuat seorang tokoh jaya dan sukses atau sengsara, menjadi pahlawan atau bandit, menjadi bawang merah atau bawang putih, masuk surga atau neraka. Pengarang adalah sang pencipta dalam dunia yang diciptakannya. Berbeda dengan Tuhan betulan yang maha tahu atas mahluknya, tuhan sang pengarang kadang harus rela tak tahu menahu nasib anak spiritualnya setelah anaknya itu terlempar dalam dunia pasar yang penuh gelombang dan badai, pasar yang ganas dengan sekejap melupakan apa yang dengan penuh jerih payah dilahirkannya.

Namun tentu tak ada usaha sia-sia. Semuanya butuh proses, bukan? Tak peduli bagaimana nasib karya kita di dunia pasar yang buas, dengan menulis setidaknya kita telah meninggalkan jejak, menjadi tuhan dengan menciptakan sesuatu, sesuai dengan kemauan kita sebagai penulis. Itu yang selama ini selalu menghibur saya sebagai penulis pemula. Kepuasan batin, kata orang–meski batin saya belum puas selama ini.

Menginat-nginat nasib anak spiritual itu saya kadang selalu lemas dan lehilangan semangat. Tapi berpangku tangan dan putus asa bukan keputusan yang tepat. Tapi, mau atau tidak, memikirkan nasib itu membuat saya selalu berfikir: apakah saya cukup berbakat sebagai penulis, apakah saya harus terus menulis, mungkin saya lebih berbakat menulis karya yang ilmiyah, bukan sebuah karya fiksi? Semua itu membuat saya maju mundur untuk menggarap karya-karya berikutnya–bagian pertama yang saya sebutkan di atas.

Beberapa gagasan sudah disimpan baik-baik di dalam folder khusus di laptop saya. Setiap ada ilham, saya coba segera tangkap. Beberapa tokoh dan karakternya untuk cerita-cerita yang saya buat sudah disiapkan. Alur juga telah dirancang. Untuk membantu usaha melahirkan karya berikutnya, saya coba mengikuti saran para penulis tips menulis kreatif. Tapi percayalah, pada ujungnya semua karya anda tergantung pada jari-jari dan pikiran kita. Jari-jari dan pikiran terikat oleh suasana. Itu yang susah dihindari. Kebosanan adalah musuh kita!

Menuliskan kebosanan dan keputusasaan mungkin jalan terbaik menengahi semua keadaan ini. Dengan menuliskannya, setidaknya saya tetap produktif menulis. Sekaligus semacam usaha penyembuhan, semacam katarsis bagi penyakit utama penulis pemula.

Jika anda juga sedang belajar menghasilkan karya, ada baiknya tambahkan komentar di bawah untuk sekedar berbagi pengobatan alternatif terhadap kebosanan dan keputusasaan.

Salam

One Comment

  • Kreta Amura

    Hiyaaa, teman seperjuangan. Bedanya saya belum melahirkan sebuah karya. Sedang dalam proses pengajuan ke penerbit. Mendengae curhatan ini, jadi takut takut gimana gitu. Sad.

Leave a Reply

%d bloggers like this: