
Elegi Mesin Fotokopi di NKRI
“Kenapa lama sekali, Bun?” Tanya saya pada istri penuh penasaran.
Saya sudah menunggu lebih satu jam. Badan lemas dan pusing sekali. Terasa masih menggigil. Saat itu saya sedang mengurus tranfer rumah sakit, mencari yang lebih nyaman.
“Masih mencari mesin foto kopi. Ini sudah malam. Tukang fotokopi yang dekat rumah sakit ini sudah tutup. Jadi Cecep cari di tempat lain.” Istri saya menjawab setelah tadi sebentar menelpon adiknya yang sedang mengurus dokumen untuk difotokopi.
Gara-gara fotokopian dokumen itu, penderitaan saya malam itu lebih panjang. Baru jam 12 tengah malam saya bisa kembali berbaring di ranjang rumah sakit yang baru. Padahal mengurus kepindahan sejak jam 6 sore.
***
“Bapak tolong ini difotokopi dua lembar.” Lelaki tengah baya itu mengembalikan lagi dokumen identitas kepada saya.
“Tidak ada mesin fotokopi di sini, Pak?” Jawab saya pura-pura dungu.
“Ada, di seberang gedung ini. Bapak menyebrang saja setelah gerbang ke luar. Di samping warung rokok.” Jawab si Bapak Kasir dengan niat ikhlas memberi tahu di mana gerangan mesin fotokopi terdekat.
Karena asam urat saya sedang kambuh, saya pergi ke tempat dimaksud dengan jalan terpincang. Tak jauh memang. Tapi karena kaki sedang sakit, perjalanan menyebrang jalan raya itu menjadi sedikit membahayakan. Saya tidak bisa berlari. Dan karena itu harus menunggu beberapa saat sampai jalanan lumayan sepi.
Dalam perjalanan kembali dari toko tukang fotokopi, sedikit kesialan hampir saja terjadi. Mobil angkot nyelonong hampir menyerempet saya yang menyebrang terlalu lambat karena kaki kesakitan. Supirnya menyalakan klakson meminta saya segera enyah dari jalan raya. Saya hanya bisa memandangnya penuh kesal.
***
Anda bisa menemukan ratusan bahkan mungkin ribuan cerita serupa. Bisa jadi itu terjadi di kantor polisi, rumah sakit, kantor administrasi kampus, kantor pajak, kantor kelurahan. Dan kejadian yang anda alami itu bisa terjadi baik di lembaga mimilik negara atau swasta.
Ketika tinggal di Los Angeles dan harus beberapa kali berurusan dengan penggandaan dokumen, biasanya lembaga atau kantor yang kita datangai selalu siap dengan mesin sederhana itu. Mereka hanya meminta kita membawa dokumen asli. Dokumen itu akan mereka ambil beberapa saat untuk mereka gandakan. Bahkan kita sering juga mendapatkan salinan fokokopiannya jika mau.
Dan praktik itu saya kira adalah bagian dari pelayanan administrasi yang lumrah di negara yang rada waras administrasinya. Mesin fotokopi bukan mesin roket yang sulit dioperasikan atau mahal.
Itulah kenapa saya kadang tidak habis fikir, apa negara ini terlalu miskin untuk sekedar menyedikan mesin fotokopi di kantor polisi, di rumah sakit umum, di kampus-kampus negeri, di kantor kelurahan dan kecamatan, di kantor administrasi publik? Apakah itu terlalu mahal dan sulit untuk dijadikan bagian dari pelayanan publik?
Berapa sih harga mesin fotokopi? Harganya paling 10 jutaan. Apa kekayaan negara kita tidak cukup untuk mengadakan mesin sederhana untuk pelayanan itu?
Dalam cerita saya itu, rumah sakit yang saya ceritakan adalah rumah sakit milik negara, RSUD Kuningan. Berdiri sebelum zaman kemerdekaan. Miris rasanya jika mesin fotokopi yang bisa digunakan sebagai bagian dari pelayanan yang layak saja tidak punya.
Dan memfotokopi tindakah mahal, susah atau mewah, Sobat. Hanya beberapa ratus perak per lembar. Paling banyak seorang pasien memfotokopi 10 lembar. Anggap saja itu bagian dari pelayanan. Kalaupun mau dibebankan ke pasien, misalnya, saya kira pasien tidak akan keberatan daripada harus ke luar, menyetir berkeliling kota mencari tukang fotokopian yang buka.
Dalam pengalaman saya di kantor polisi yang hampir ketabrak angkot, apa sulit dan mahalnya memfotokopi dua lembar jika mesin fotokopi itu tersedia? Kenapa harus membuang banyak waktu lagi pergi ke luar gerbang komplek kantor polisi hanya untuk dua lembar dokumen.
Hal remeh temeh ini harusnya bukan masalah untuk segera diperbaiki sebagai bagian dari perbaikan pelayanan publik. Malu, mereda sudah lama, mesin foto kopi saja tidak punya.
Tapi mungkin masalah ketidaktersediaan mesin fotokopi di lembaga-lembaga publik–dan swasta–menurut saya lebih arena urusan mindset. Para birokrat, para petugas administrasi di NKRI ini masih lebih banyak dipengaruhi mental menak yang harus dilayani daripada melayani. “To serve,” melayani, sepertinya masih dianggap perilaku buruh dan pelayan. Bukan perilaku tuan-tuan sinyo Londo. Mereka, serendah apapun jabatanya, sering justru merasa harus dilayani. Kita yang menjadi customer yan harus dilayani, malah harus melayani.
“Kalau situ butuh, situ urus sendiri.” Kata-kata itu seperti jargon. Dan kebanyakan dari kita memakannya bulat-bulat. Untuk urusan apapun kita harus mengurus sendiri. Termasuk untuk membawa salinan dokumen. Itu urusan lo!
Tapi bahkan untuk mengurus saja tidak cukup. “Harus kita kawal.” Begitu jargon standard berikutnya. Kalau tidak urus sendiri dan dikawal, wassalam!! Urusan administrasi anda bisa berujung di lautan Pasifik yang dalam penuh misteri. Dokumen-dokumen yang sudah anda fotokopi sendiri hanya jadi akan pakan rayap.
Saya sudah bercerita masalah dokumen raib ini beberapa kali. Dan karena itu tidak perlulah curhat lagi di sini. Ini curhatan kerinduan saya pada mesin fotokopi 🙂

