Cinta Markonah
I
Markonah gadis yang cantik dan lugu. Tapi juga minderan. Wajahnya yang catik tak sebanding lurus dengan namanya yang sering jadi olok-olok. Karena namanya, ia selalu merasa terkutuk dan berada dalam penjara. Tapi, kata ibunya, nama itu bukan sembarang nama. Ada cerita panjang yang harus disyukuri–atau dikutuk–di baliknya.
*
Ibunya menamai bayi yang kelak akan jadi bunga desa Baregbeg “Markonah” untuk selalu mengenang Marco, lelaki Italia, ayah biologis sang bayi. Markonah sendiri tidak pernah tahu di mana gerangan lelaki itu selain dari selembar foto yang selalu disimpan ibunya dengan rahasia.
Marco dan Inah bertemu di sudut taman Victoria kota Hongkong. Inah saat itu sedang menjalankan tugas mulia sebagai anak terbesar dalam keluarga untuk mencari nafkah di luar negeri. Sementara Marco bekerja di sebuah restoran Italia.
Perihal perkenalan mereka tidak perlu saya ceritakan disini. Yang jelas Marco dan Inah lantas terlibat kisah asmara dan hubungan terlarang. Inah hamil. Ya, Marco yang menghamili. Tapi saat Inah hendak meminta Marco bertanggung jawab, ia keburu dideportasi oleh pemerintah Hongkong karena alasan keimigrasian. Entah urusan apa, Inah tidak terlalu mengerti.
Dan setelah hari itu, Marco seperti ditelan bumi. Hilang selamanya meski sesekali datang dalam mimpi.
Inah akhirnya memilih kembali ke Baregbeg dengan janin di perutnya. Buah cinta dengan Marco yang singkat dan padat. Sebelum pulang kampung, ia berniat membunuh janin di perutnya. Tapi mimpi buruk selalu datang ketika ia hendak melakukan hal itu. Ia urungkan niatnya. Lantas ia berjanji untuk menjaga janin itu dengan taruhan apapun. Janin tidak pernah berdosa, ayah-ibulah yang durjana!
Tidak mau menanggung malu, Inah berterusterang pada Abahnya setiba di Baregbeg. Abahnya murka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dosa sudah dilakukan. Sekarang nama baik keluarga harus diselamatkan.
Abah berhasil menemukan pemuda dari desa Jalupang yang mau menikah segera dengan Inah. Inah perempuan yang lumayan cantik. Tidak terlalu susah menemukan lelaki yang mau menikahinya.
Meski tetangga dan orang kampung berdesas-desus tentang pernikahan mereka, Inah akhirnya kawin dengan seorang lelaki. Setidaknya ada ayah untuk bayi di perutnya. Kurang sembilan bulan, sang jabang bayi lahir dengan selamat.
Bayi itu bernama Markonah. Tak ada yang tahu arti dibalik nama itu, selain Inah. Keluarga, tetangga dan orang kampung mengira nama itu gabungan dari dua nama: Martani dan Inah. Martani adalah nama lelaki yang dicarikan Abah untuk menikahi Inah sembilan bulan sebelumnya.
Suami Inah, Martani, meninggal dunia ketika Markonah berumur dua bulan. Lelaki mulia dan selalu dicintai Inah karena kebaikannya itu meninggal terjatuh dari lantai tiga saat kerja sebagai buruh bangunan di Jakarta. Sejak saat itu, Inah menjadi ibu perkasa yang bertekad membesarkan buah hatinya sendirian.
*
Sejak lahir Markonah sudah menjadi buah bibir. Bayi itu rupawan. Kulitnya lebih terang dari umumnya kulit orang Baregbeg. Kulit itu bukan warisan Inah. Tentu bukan pula pemberian Martani. Hidungnya mancung. Mata besar bernaung di bawah alis yang tebal. Rambutnya yang berombak mulai terlihat saat Markonah balita. Markonah menjadi gadis kreol yang menampakan kecantikan Timur dan Barat.
Tapi ia selalu minder dengan namanya. Inah, sang Ibu, tidak pernah memberi tahu arti dibalik namanya sampai suatu ketika terjadi sebuah peristiwa: Markonah tanpa sengaja membongkar lemari sang ibu dan menemukan sebuah kotak kecil di balik tumpukan baju. Ketika ia membuka kota itu, sebuah foto lama menyembul di antara beberapa barang lain—ada pula sebuah cincin di situ. Markonah membalik foto itu dan ia menemukan sebuah tulisan tangan: Marco, 1987.
Pada foto wajah lelaki yang ditemukan di balik tumpukan baju ibunya itu Markonah menemukan cerminan dirinya. Seorang lelaki dengan rambut pirang kriting dengan hidung bangir dan senyum simpul. Mata lelaki di foto itu sedikit picing terkena silau cahaya. Markonah lama memandang foto yang dipegangnya. Hatinya langsung terhubung pada seseorang di seberang benua yang tidak pernah diketahuinya.
Di masa tuanya, Inah, sang Ibu, akhirnya menumpahkan semua rahasia yang lama dipendam. Ketika ia mewariskan masa lalunya itu dalam suara bisik-bisik, terlihat matanya menyimpan cahaya redup yang hampir padam. Dalam guratan wajahnya ada penyesalan dan perasaan berdosa. Tapi perempuan perkasa itu tahu tidak ada baiknya meratapi masa lalu. Setidaknya ia kini lega karena telah menyampaikan kebenaran meskipun pahit pada anaknya.
“Beberapa tahun lalu ada kabar dari temannya teman yang bekerja di Hongkong, seseorang mencari Ibu. Temannya teman itu datang ke rumah ketika pulang kampung dari Hongkong dan memberikan sebuah surat.” Inah berkaca-kaca. Air mata yang tadi sempat terhenti, kini deras kembali membasahi mukanya.
Ia beranjak membuka lemari tak jauh dari tempat mereka duduk dan mengeluarkan sesuatu.
“Dari Ayahmu. Bacalah.” Ujar Inah.
Dengan gemetar Markonah membuka amplop yang masih tersimpan rapih. Surat itu ditulis dalam bahasa Indonesia yang berantakan. Jelas penulisnya seseorang yang tidak lancar berbahasa. Markonah hanya menemukan empat baris kalimat dan sebuah deretan angka: +39422998123.