Illustrasi Fineartamerica

CINTA MARKONAH

III

Rajasa Suadma Kusumadinata adalah saudagar kaya dari keluarga terpandang. Dari namanya saja bisa ditebak siapa leluhur mereka. Konon kakek moyangnya bupati pertama di Kawali. Jagawareng, udeg-udeg dan gantung siwurnya adalah keturunan Raja Galuh yang bertahta di Panjalu. Karena asal-usulnya, keluarga itu sering dianggap angkuh dan jumawa, setidaknya begitulah anggapan Mang Jabrig ketika kecil.

Orang kampung Baregbeg tahu rumah besar berlantai dua tak jauh dari perempatan jalan desa itu dihuni keluarga menak. Rumahnya ditembok tinggi. Pekarangan dihiasi aneka pepohonan. Sejak Mang Jabrig kecil, rumah itu tidak pernah berubah. Hanya catnya saja yang sering berganti warna.

Selain punya banyak usaha, dari mulai pabrik penggilingan padi, toko grosir, dan pom bensin, Ki Rajasa, demikian tetangga memanggilnya, juga punya kebun yang luas di pinggir kampung, tak jauh dari Pasir Katipes dan Sungai Cibayongbong. Di kebun itu ada banyak pohon buah-buahan, dari mangga, rambutan sampai durian. Tapi di antara semua pohon itu, ada satu pohon yang jarang ditemui dan hanya ada di kebun Ki Rajasa: pohon kemiri. Karena kebun itu jauh dari perkampungan, seisi kebunnya selalu dicuri. Meski awalnya tak peduali, Ki Rajasa belakangan memagari kebun itu dengan pagar bambu. Dia juga kini sering menengok kebunnya itu, terutama ketika pohon sedang berbuah.

Ada bayak kenangan tak terlupakan tentang rumah dan kebun itu ketika Mang Jabrig kecil. Kenangan dengan Markonah dan teman-temannya, tentu saja.

*
Selepas sekolah yang selesai tengah hari, umumnya anak kecil di desa Baregbeg pergi ke sekolah MD. MD singkatan dari Madrasah Diniah. Sekolah agama itu dimulai pukul 3 sore dan selesai menjelang magrib, tiga kali dalam seminggu. Di sekolah MD anak-anak belajar dasar-dasar agama, dari mulai belajar bacaan shalat, menghafal nama-nama nabi dan rasul, sampai puji-pujian agama dalam tembang Sunda. Jabrig masih ingat sampai sekarang puji-pujian yang biasa dilantunkan dari pengeras suara mushala menjelang shalat di kampungnya.

Eling-eling umat
Muslimin muslimat
Hayu urang berjama’ah shalat maghrib
estu kaajiban
urang keur di dunya
kanggo pibeukeuleun
Urang jaga di akherat”

Ada banyak yang Mang Jabrig hafal dari belajar di MD. Semuanya ingat di luar kepala. Setiap jadwal pengajian, Jabrig tidak pernah bolos. Yang membuat Jabrig semangat adalah karena ada Markonah di kelasnya. Karena hanya punya 4 ruang kelas dan beberapa ustad saja, di sekolah MD anak-anak yang usianya berdekatan digabungkan dalam satu bilik. Itulah kenapa meski Jabrig kaka kelas Markonah di sekolah negeri, dia teman satu kelas dengan Markonah di sekolah MD.

Setiap hari jadwal kelas MD, Jabrig selalu bersiap di depan rumah. Di pos ronda tak jauh dari rumahnya dia menunggu kawan-kawannya untuk bersama-sama pergi mengaji. Tapi yang paling dia tunggu adalah Markonah. Biasanya Markonah muncul dari gang kampung yang rimbun oleh pohon bambu bersama Ijoh. Atang dan Husen muncul dari lorong desa yang lain bersamaan. Seperti Jabring, Atang dan Husen juga diam-diam mengawasi kapan Markonah dan Ijoh muncul. Memakai kopyah hitam lusuh dan kerudung beringsut, rombongan anak itu bergegas ke sebelah timur, menuju sekolah MD, menyusuri jalan desa yang penuh lubang.

“A Husen, udah hapal belum mujinya?” Tanya ijoh ke Husen. Husen masih berjalan sedikit tertatih karena luka di Cibayongbong ketika mengambil bambu Tamiang beberapa hari sebelumnya

“Muji nu mana, Joh?” Timpal Husen dengan muka penuh tanya.

“Itu yang doa “Sanes Ahli Surga—“ Jawab Ijoh. Mulutnya masih terbuka seperti masih hendak mengeluarkan suara sebelum tiba-tiba dipotong Husen.

“Robana, ya Robanna—?” Potong Husen, sok tahu. “Ah, kecil itumah udah hapal,” lanjutnya dengan muka penuh percaya diri.

“Coba, Ceng, kumaha,” pinta Atang seperti hendak menguji. Atang dan Jabring biasa memanggil Husen dengan panggilan “Aceng.”

Husen dengan semangat memulai pujian itu dengan penuh percaya diri. Dadanya sedikit busung dengan suara lantang ia melantunkan:

Robbana ya robbana
Dolamna anfusana
Wailam tagfirlana
Watarhamna lanakulana minal khosirin
Duh gusti pangeran abdi
Abdi dolim kana diri
Pami gusti teu ngahapunteun
Tangtos abdi
Janteun jalmi anu rugi”

“Euh….Si Aceng, bukan yang itu, Ceng.” Eman, si Jabrig kecil, menggerutu tapi segera disusul tawa setengah mengejek.

“Iya, A Aceng, bukan yang itu.” Tambah Markonah dengan muka menahan tawa. Ucapan Markonah membuat semangatnya layu, seperti kerupuk tersiram air.

Aceng hanya nyengir sambil celingukan. Harga dirinya langsung tersungkur.

“Ilahi lastu lil firdausi ahla
wala afwa ala naril jahimi
Fahabli taubatan wagfir dzunubi
fainnaka ghofirun danbil adhimi…..”

Jabrig melantunkan pujian itu seperti sedang menggurui. Ada perasaan bangga di mukanya. Suara lantunannya saru oleh deru pohon bambu yang tertiup angin.

Tak jauh dari perempatan jalan desa, rombongan anak itu sebentar lagi melewati rumah besar bercat putih dengan tembok tinggi. Rumah Ki Rajasa. Bangunan megah itu sudah terlihat dari balik gudang kayu. Tak ada perasaan apa-apa di benak Jabrig dan keempat temannya selain perasaan iri dan kagum dengan rumah itu. Kapan ia bisa punya rumah mewah. Atau setidaknya mencoba masuk. Ada apa di baliknya? Pasti senang sekali bisa tinggal di rumah loteng.

Ketika rombongan anak yang berjalan sambil berceloteh itu melewati pintu gerbang besi yang pintunya sedikit terbuka di rumah itu, seekor anjing menyalak dari balik gerbang. Anjing itu terus mendengking seperti hendak keluar mengejar anak-anak di balik pagar.

Sontak rombongan anak itu kaget. Mereka kaget kocar-kacir, berlari lintang pukang. Husen berlari ke gang desa tak jauh dari rumah itu. Atang sekejap menjauh ke timur sementara Ijoh, Markonah dan Jabrig lari berbalik arah. Untuk sementara mereka bingung apa yang terjadi. Rasa takut luar biasa karena anjing yang menyalak membuat otak mereka beku sejenak dan membuat tubuh mereka kaku.

Sekejap Jabrig ingat apa yang harus dilakukan.

“Joh, Nah, merunduk…merunduk…ada anjing!” Pinta Jabrig dengan gugup dan suara pelan. Terengah-engah.

Ijoh dan Markonah mengikuti Jabrig mengendap-endap sambil mengambil batu. Dari jauh mereka melihat Atang dan Husen melakukan hal yang sama, berjalan mengendap mendekati rumah itu. Meski mereka tadi ketakutan, sekarang sepertinya penasaran dan kesal ingin melempar ajing Ki Rajasa dengan batu. Suara anjing yang tadi menyalak kini tak terdengar lagi.

Sambil berjalan perlahan, anak-anak itu mendekati gerbang dan melemparkan batu ke dalam pagar dengan harapan mengenai anjing.

“Guk…guk…guk…..” Anjing kembali menyalak jauh lebih keras.

Lumpaaat…….lumpat……,” teriak Jabrig, Atang dan Husen bersamaan dengan girang tapi sedikit ketakutan. Ijoh dan Markonah beringsut meyusul dari belakang. Terengah-engah kehabisan nafas. Mereka berlari menjauh dengan perasaan terbebaskan.

“Hayo…hayo…keun,” samar-samar suara orang tua dari balik gerbang seperti mengusir anak-anak itu pergi dari rumahnya.

Dengan nafas tersengal kelima anak itu tiba di sekolah MD dengan gelak tawa. Senang bisa melempar anjing.

Setelah hari itu, setiap melewati rumah besar Ki Rajasa sebelum mengaji adalah petualangan tersendiri. Karena alasan itu setiap hendak pergi mengaji mereka pergi bersama. Mereka harus berbagi rasa takut dan tawa.

*

BERSAMBUNG…Berburu Buah Kemiri (Mulung Muncang) bersama Eis Zaenal Mutaqin

Leave a Reply

%d bloggers like this: