Cinta Markonah
IV
“Kita orang tak punya. Melarat. Makan saja susah. Kekayaan kita cuma budi pekerti dan perangai yang baik. Kalau itu saja kau tanggalkan, lantas apalagi yang kita miliki di dunia ini…?” Suara Inah meninggi dengan emosi yang ditahan.
Ia duduk mendekat dan dengan tangannya ia tarik muka Markonah ke arahnya perlahan.
“Faham?” Lanjutnya dengan suara lebih lembut dan lirih. Sorot matanya tajam seperti menusuk kornea mata Markonah
“Kemarin Minah Ikut-ikutan teman, Mih. Sama si Eman. Tidak tahu dikira mau main apa.” Jawab Markonah dengan air muka penyesalan.
“Lagian kau juga anak perempuan. Tak baik sering main dengan anak lelaki. Kau sudah mulai besar. Apalagi ikut mencuri. Tak patut.” Inah manasihati anak si mata wayangnya dengan suara tegas. Sepertinya masih ada unek-unek yang harus dikeluarkan dari dadanya.
“Muhun, Mih,” desis lirih Markonah menjawab omelan ibunya. Ia tak bisa lagi menahan air mata. Seperti hujan, dengan isak yang ditahan, air matanya bercucuran. Ia menyesal sudah ikut Jabrig, Atang, Husen, dan Ijoh pergi ke kebun Ki Rajasa untuk memungut biji buah Kemiri.
*
Ketika Jabrig kecil, biji buah Kemiri adalah sebuah kemewahan. Juga pertanda kekuatan dan kehebatan di antara anak-anak kampung Baregbeg. Jabrig punya dua yang dia simpan baik-baik. Biar kuat dan mengkilat, dia selalu rajin mengolesi kulit biji kemiri yang berwarna hitam itu dengan minyak jelantah. Husen malah punya jampi-jampi khusus yang dibacakan agar kemirinya kuat sekeras batu.
"Kekayaan kita cuma budi pekerti dan perangai yang baik. Kalau itu saja kau tanggalkan, lantas apalagi yang kita miliki di dunia ini..."
Setiap sore di pekarangan sekolah MD ketika jam istirahat mengaji, anak-anak berkerumun sambil bersorak-sorai. Biji kemiri itu ditumpuk dan di jepit sebilah bambu. Batu diayunkan untuk menumbuk tumpukan kemiri itu. Kemiri yang pecah berarti kalah, dan yang utuh jadi juaranya. Adu muncang saat itu segera menjadi wabah. Semua teman Jabrig, lelaki dan perempuan, punya muncang (kemiri) aduan.
Dan setelah sekolah siang itu, usulan pergi ke kebun Ki Rajasa untuk mencari muncang datang dari Atang.
“Man, kita nyari kemiri ke bubulak, yuk.” Ajak Atang sambil merapihkan buku ke dalam tasnya yang kumal.
Lonceng tanda pulang sekolah baru saja berbunyi dan anak-anak dengan suara riuh berlarian ke luar kelas berebutan seperti tak ada lagi pintu terisisa siang itu. Atang satu kelas dengan Jabrig, duduk hanya terhalang dua bangku darinya.
“Jam segini Ki Rajasa tidak bakal mengontrol kebunnya. Dia biasanya di Pabrik Padi atau di Pom Bensi. Aman.” Lanjut Atang dengan mulut menyeringai.
“Ajak si Aceng, Markonah dan Ijoh?” Timpal Jabrig.
Atang menimpali dengan anggukan. Mereka lantas berlari ke gerbang sekolah dan duduk dekat tiang listrik di luar sekolah. Langit berawan siang itu. Matahari yang terhalang awan membuat bayangan tiang listrik datang dan pergi.
“Aceng…, Ijoh…..,” teriak Atang memanggil keduanya yang terlihat keluar gerbang sekolah. Mereka menengok ke arah suara yang memanggilnya. Atang terlihat melambaikan tangan meminta keduanya mendekat.
Muka Atang dan Jabrig tidak sempurna. Orang yang terutama dicarinya tak nampak. Mungkin Markonah masih di dalam sekolah, pikir Jabrig.
“Joh, Markonah mana?” Tanya Jabrig dengan pura-pura tidak punya perasaan apa-apa ketika bertanya.
“A Eman nyari Ijoh apa nyari Markonah…?” timpal Ijoh yang sepertinya kecewa. Ijoh sebenrnya sudah kebal dengan rasa seperti itu. Ia juga mafhum. Ketiak bersama Markonah, dirinya adalah bintang yang harus sirna dalam purnama.
Tak lama Markonah muncul juga. Rambutnya yang ikal berombak berhamburan diterpa angin. Semburat cahaya matahari yang sebagian terhalangi rimbun pepohonan menyoroti wajahnya yang sempurna. Ia seperti bidadari kecil yang turun dibawa pelangi. Kehadirannya membuat tiga pasang mata anak lelaki tak jauh darinya terkesima.
“Marko–…..” Atang, Husen dan Jabrig serentak bersamaan memanggil Markonah. Sekejap ketiga anak lelaki itu saling bertatapan dan membeku dalam waktu. “Markonah, sini” teriak Husen. Kali ini dia jadi pemenang. Anak yang dipanggilnya segera berlari mendekat sambil senyum kegirangan.
Di situlah Atang menyusun sebuah rencana. Kelima anak itu berkerumun dan seperti berbincang merumuskan sebuah strategi untuk menaklukkan. Mereka seperti hendak bertempur merebut sebuah kota dan harus menyusun taktik jitu.
Mereka tak pulang dulu ke rumah mereka masing-masing. Kebetulan hari itu Sabtu. Baju sekolah bisa dipakai sampai kumal karena esok harinya libur.
Di kampung Baregbeg, karena seluruh warganya hampir punya ikatan darah dan kerabat, hidup penuh kebersamaan. Meski setiap orang punya kebun, setiap buah yang jatuh ke tanah di kebun itu menjadi milik siapapun yang menemukannya. Mereka siang itu akan pergi mencari kemiri di kebun Ki Rajasa. Mereka rencananya hanya akan memungut buah kemiri yang jatuh. “Mulung muncang,” demikian Jabrig mengenang.
Kelima anak yang sekarang sudah jadi kawan baik itu berjalan ke selatan menyusuri jalan kampung berbatu. Di ujung jalan ketika Bukit Katipes terlihat, mereka berbelok ke arah matahari mulai condong. Sepanjang pinggir kampung Bargebeg berbaris kolam ikan milik warga. Di atas kolam-kolam itu berbaris bedeng bambu berbentuk kotak mirip pos ronda. Di situlah sebagian besar warga kampung Baregbeg buang hajat dan mencuci. Air pegunungan dialirkan ke kakus dengan pipa dari bambu hitam.
Rombongan kelima anak kecil itu berjalan beriringan menelusuri jalan setapak yang memisahkan kolam-kolam itu dengan selokan Ciambu yang mengalirkan air yang jernih. Karena selokan itu, kolam-kolam sejahtera, dan warga bisa menunaikan hajatnya. Pohon kelapa menjulang, pohon sukun ranum buahnya.
Setelah melewati kolam terakhir dan tak ada lagi rumah warga, kelima anak itu melewati kebun yang semakin lebat. Suara jangkrik menyambut mereka dari balik pohon melinjo ketika mereka tiba di kebun Ki Rajasa. Kebun itu di pagar bambu gelondongan. Untuk ke kebun itu kelima anak harus loncat melewati selokan yang airnya semakin jernih karena semakin ke hulu.
Jabrig loncat lebih dahulu, disusul Atang dan Husen.
“A Aceeeng, bantuan atuh..,” Ijoh mengiba dengan manja ke Husen. Ia menjulurkan tangannya yang segera ditarik Husen.
Kini giliran Markonah. Jabrig siap membantu dan berharap ia meminta tolong padanya ketika Atang menawarkan bantuan lebih dahulu.
“Ayo, Nah, loncat…. ” Atang menjulurkan tangannya yang disambut Markonah dengan canggung. Air muka Jabrig tak sedap meski ia sembunyian. Atang sumringah.
Satu persatu mereka merangkak melewati celah kecil pagar bambu di kebun itu. Jantung mereka berdegup kencang khawatir Ki Rajasa datang dengan anjingnya.
Di dalam kebun itu mereka langsung menuju ke pohon besar yang rindang. Buah-buah kemiri sebesar kepalan tangan mereka terlihat bergelantungan. Di mata mereka buah itu seperti mutiara. Mereka sekejap sibuk berpencar dengan mata awas mencari buah kemiri yang jatuh. Sesekali mata mereka mengamati jauh ke tempat mereka tadi datang khawatir Ki Rajasa tiba-tiba muncul mengontrol kebunnya.
Hanya Husen yang beruntung menemukan dua biji kemiri yang kulitnya sudah membusuk. Yang lain nihil. Karena kesal tak dapat yang dicarinya, Atang tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya: ketapel. Sambil nyengir ia sibuk mencari batu kerikil.
“A Atang, jangan atuh nanti takut ada Ki Rajasa. Ga boleh nyuri.” Ucap Markonah dengan muka gugup.
“Ki Rajasa saudara Atang, Nah. Tenang aja. Ngambil sedikit tidak apa-apa.” jawab Atang sambil mulai mengarahkan ketapel pada tangkai buah kemiri yang tidak terlalu tinggi.
Batu-batu melesat dari ketapel mengenai daun dan tangkai buahyang ranum. Buah kemiri berjatuhan di sambut acungan tangan gembira. Jabrig dan Husen celingukan sambil memungut buah-buah itu.
Tiba-tiba, tanpa mereka sadari terdengar suara dari kejauhan…
“Keun….keun… Hayo… Hayo… ” Suara itu masih jauh. Tapi mereka jelas mendengarnya. Suara itu juga yang terdengar ketika mereka digonggong anjing.
Mereka langusng lintang pukang kabur dari kebun itu. Buah-buah kemiri sudah ada di tas mereka. Pagar bambu Jabrig loncati. Markonah dan Ijoh mukanya pucat pasi ketakutan.
“Dor…dor…dor…” Tiba-tiba mereka mendengar desingan bunyi peluru beberapa kali.
Mereka semakin kencang berlari. Husen jatuh terjerumus ke selokan. Bajunya basah. Markonah dan Ijoh tertinggal di belakang. Jabrig sebentar menunggunya. Mereka membayangkan Ki Rajasa memburu mereka dengan senapan. Ya, ia punya senapan angin yang biasa dipakainya berburu tupai dan biyawak. Mungkin dia kebetulan sedang berburu sekalian menengok kebunnya karena akhir pekan.
Tapi sampai mereka berkumpul dengan nafas terengah di dekat gubuk di samping kolam, mereka tak juga melihat Ki Rajasa mengejarnya. Mereka merasa baru saja keluar dari cengkraman mulut buaya. Dengan perasaan masih ketakutan mereka duduk bersandar melepas lelah.
*
Keesokan hari ketika Markonah hendak bermain, Inah, ibunya, memanggil dan lantas menasihatinya. Ki Rajasa diam-diam datang bercerita ke Inah apa yang terjadi di kebun itu.
Bersambung…..bersama Eis Zaenal Mutaqin