
Cinta Markonah
II
Perawakannya tinggi, badan berisi. Bukan karena sering pergi ke tempat kebugaran, tapi karena terlalu berat beban hidupnya. Setiap pagi dia pergi ke pabrik penggiliangn beras di pinggir kampung untuk bekerja sebagai kuli angkut. Selepas tengah hari, dia singgah di toko bahan bangunan milik saudara jauhnya, Wak Juki. Di sana dia bekerja sebagai pembantu umum. Tugasnya angkat ini itu.
Tapi sudah sejak beberapa minggu dia tak lagi pergi ke pabrik penggilingan padi dan toko bangunang Wak Juki. dia kini punya pekerjaan baru yang lama dicita-citakannya: tukang ojek.
Meski bekerja serabutan, ia bisa menyisihkan sedikit uang untuk ditabung. Cita-citanya waktu itu ingin seperti temannya yang lain: beli motor. Kalau sudah membeli motor, ia tak mau lagi terlalu cape jadi kuli angkut. Cukup duduk-duduk manis di perempatan desa sambil menunggu orang datang. Dengan modal cukup untuk mengambil kreditan, dia membeli motor. Sisa pembayaran akan dicicil setiap bulan.
Untuk jaga-jaga jika narik ojek sepi, dia suah bilang ke Wak Juki untuk masih tetap bekerja di tokonya. Kebetulan pangkalan ojeknya tak jauh dari toko bahan bangunan Wak Juki. Kalau ada yang harus di bantu dan tak ada penumpang, dia bisa lekas mengerjakan apa yang disuruh Wak Juki.
Baiklah, saya perkenalkan nama pemuda itu. Namnya Mang Jabrig. Orang-orang kampung memanggilkan begitu karena dia senang memelihara rambutnya yang gondrong. Kalau mau naik ojeknya, orang kampung akan tanya: “Mang Jabrig, narik, teu?”. Lama-lama orang kampung mengenal panglan ojek itu dengan nama “Ojek Tarik Jabrig”.
*
Tak ada yang tak kenal Markonah. Setiap pemuda di Desa Baregbeg ingin jadi kekasihnya. Mang Jabrig, pemuda yang sekarang sering nongkrong di pangkalan ojek itu, kenal Markonah sejak kecil. Meski rumahnya sedikit berjauhan, beda dua dusun, Mang Jabrig dan Markonah dulu berteman di sekolah dasar. Mang Jabrig kakak kelas Markonah.
Mang Jabrig selalu ingat ketika mereka pergi bersama ke Pasir Katipes, bukit angker di hutan desa pinggir kampung untuk megambil bambu Tamiang. Bambu itu dipakai untuk tugas kerajinan membuat seruling di sekolah. Semua anak laki-laki ingin menolong Markonah, tak terkecuali Jabrig.
Menemukan bambu itu bukan perkara mudah. Satu-satunya tempat yang dekat untuk mendapatkannya di hutan yang angker itu.
Setelah sekolah, Jabrig, Markonah dan tiga orang temannya pergi ke bukit Pasir Katipes. Melewati pematang sawah yang menguning, terlihat di sebelah selatan barisan pepohonan rimbun menyelimuti perbukitan. Dari jauh gunung Ciremai terlihat merunduk di balik awan, berlindung dari matahari yang terik. Selepas pematang sawah, rombongan anak itu berbelok ke timur menyusuri kali Cibayongbong. Airnya yang bersih mengalir menghanyutkan rerumputan yang menjuntai.
Jabrig masih ingat, ketika mendekati bukit angker itu, dia mulai merasa ketakutan. Tapi dia tak mau Markonah tahu. Jabrig adalah pangeran yang harus menolong tuan puteri menemukan bambu ajaib!
Tiba di bukit itu, rombongan berhenti di seberang lembah yang dipenuhi rumput ilalang dan pohon pakis-pakisan. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, gerojokan air sungai Cibayongbong bergemuruh.
Nyali Jabrig mulai kendur saat melihat rumpun bambu itu berada di seberang sungai, persis di bibir lembah yang bertemu dengan tepian sungai. Tak ada jembatan ke seberang. Satu-satunya cara mendapatkan bambu itu harus mencemplungkan diri ke sungai.
“Waduh, A, bagaimana ini teh,” ujar Markonah mulai khawatir.
Jabrig juga sama, dia mulai ngeper. Tapi dia harus terlihat pemberani.
“Serahkan ke A Eman, Neng. Bereslah. Gampang.” Ujar Jabrig. Jabrig belum lagi menjadi Mang Jabrig. Saat itu namanya Eman. Itulah nama aslinya. Jabrig menjadi Jabrig ketika ia mulai beranjak dewasa.
“Kumaha, Man, bisa teu. Mun teu bisa, kita nyari di tempat lain saja. Katanya ada juga bambu tamiyang di sawah Sinyur.” Atang, salah seorang dari rombongan, mencoba menawarkan pilihan lain.
“Sawah Sinyur jauh, Tang. Tanggunglah kita sudah di sini. Tenang wae. Urang nyemplung.” Sahut Eman.
“Kalau repot mendingan jangan A. Takut celaka. Sing aya oray, A.” Markonah menimpali. Ia terlihat mulai tambah gamang.
Sebenarnya yang ada di benak anak-anak itu bukan ular atau binatang yang terlihat. Mereka takut dedemit yang menghuni Pasir Katipes dan Lulur Samak. Lulur Samak adalah demit yang hidup di dasar sungai atau danau. Ia sering menarik orang yang mandi di sungai. Kalau sudah jadi mangsa Lulur Samak, ajal taruhannya. Tahun lalu di sungai Cibayongbong tak jauh dari tempat itu seorang anak kecil mati ketika mencari ikan gabus. Orang kampung percaya anak itu dimangsa Lulur Samak.
Kelima anak itu sebentar tertegun dan saling pandang. Angin bersilir-silir menempa bulu kuduk mereka menimbulkan ketakutan. Bayangan dedemit dan Lulur Samak yang siap menerkam dari dalam aliran sungai Cibayongbong menghantui benak mereka.
“Ah, Bismilah. Nini, ngiring numpang, Ni.” Eman memecah kesunyian. Ia melafalkan mantra memohon izin pada penghuni lembah dan sungai.
Ia menceburkan kaki ke sungai yang tidak terlalu dalam itu. Dengan membawa tongkat kayu, Eman berjalan menyebrangi sungai perlahan-lahan. Hatinya dihinggapi ketakutan. Jantungnya berdenyut lebih kencang. Ia rasakan betul kakinya agar tidak ada yang menarik.
Semantara itu, keempat temannya hanya melongo.
“Hati-hati, A Eman,” teriak Markonah menyemangati Jabrig yang sedang menyebrangi sungai.
Atang, dan Husen tak mau kalah pamor. Mereka buru-buru menceburkan diri ke sungai. Mukanya terlihat sedikit pasi. Tapi mereka tetap harus terlihat sebagai pemberani.
Eman sudah berada di seberang sungai. Senyumnya menyeringai penuh bangga. Atang dan Husen masih menyusuri sungai. Markonah dan Ijoh menunggu dengan cemas dan sedikit ketakutan.
Eman menebas beberapa batang bambu yang sudah tua dan menguning. Ia bersihkan buku-buku bambu itu dan menyimpannya. Atang dan Husen datang menghampiri dan segera menebas beberapa batang bambu dengan terburu-buru. Dalam benak Eman, Atang dan Husen selalu terbayang ular besar muncul dari rumpun bambu itu, atau dedemit marah dan menyambatnya.
Setelah merasa cukup dengan bambu yang ditebasnya, mereka segera kembali. Mereka tergopoh membawa batang bambu menyebrangi sungai. Makonah dan Ijoh menanti dengan perasaan bangga, kagum dan senang. Akhirnya mereka mendapatkan bambu itu.
Tiba-tiba….
“Aduuuuh…..tolong….nyeri” Husen berteriak histeris. Dia seperti kesakitan.
Bambu yang dipegangnya jatuh tercebur. Ia mengangkat kakinya. Bayangannya banal: dedemit marah dan Lulur Samak menarik kakinya.
Sigap Jabrig menarik tangan husen agar ia tidak ternggelam. Bambu yang dipegang mereka berjatuhan. Hampir hanyut.
“Tang, pegang bambu-bambunya, jangan lepas!” Teriak Eman.
Atang sigap memungut bambu-bambu itu. Husen masih mengaduh kesakitan ketika Eman membopongnya. Badan ketiga anak itu kini basah kuyup.
“Aya naon, A Husen?” Ijoh teriak penasaran. Kedua anak perempuan di tepi sungai itu tidak bisa bermuat apa-apa. Mereka pasrah dihinggapi kecemasan.
Setelah sampai tepian sungai semua jelas. Husen menginjak batok kelapa runcing. Kakinya sedikit berdarah. Meski masih menangis, kini dia senang karena tak jadi mangsa Lulur Samak. Ketika kedua teman mengejeknya, dia hanya nyengir.
*
Setelah hari itu, selalu ada yang berbeda di hati Markonah jika bertemu Eman alias Mang Jabrig. Buat Mang Jabrig, Markonah seperti matahari. Dia silau melihatnya. Dia hanyalah embun pagi yang segera sirna dihadapannya. Tak pantas dia menjadi calon orang yang disukai Markonah. Untuk gadis secantik Markonah, pikir Jabrig, lelaki seperti apapun bisa didapatkannya. Karena itu, tak seperti bujangan lain yang suka menggoda, Mang Jabrig selalu tahu diri. Setelah hari di Pasir Katipes itu, Mang Jabrig hanya ingin melindungi dan membantu Markonah. Pada sosok Mang Jabrig, Markonah menemukan sosok ayah yang tak pernah ia kenal dalam hidupnya. Mang Jabrig yang ia kenal tidak pernah berubah. Sosok yang meski sedikit urakan dan pemalas, adalah pemberani dan baik hati. Juga selalu siap membantunya kapan saja.
Perasaan mereka tumbuh dalam batasan ketakmungkinan dan ketakpantasannya masing-masing.
BERSAMBUNG….Bersama Eis Zaenal Mutaqin

