Setelah Dua Bulan ‘Jualan Saham.’

Sekitar tiga bulan lalu, ketika saya pulang kampung ke rumah orang tua, saya penasaran dengan adik saya yang sering sibuk memainkan jari-jarinya di HP. Ia tidak sedang membaca berita. Yang dilihatnya seperti grafik, harga dan angaka-angka.

“Main saham, A,” jawabnya ketika saya bertanya. Ketika itu saya belum terlalu tertarik. Saya malah menasihatinya agar berhati-hati. Suara-suara sumbang tentang kawan yang rugi dan boncos bermain saham sekonyong-konyong muncul.

Sudah lama saya mendengar “main saham.” Tapi saya tidak pernah memeriksa dengan seksama informasi-informasi itu. Yang ada hanya kecurigaan dan anggapan buruk: hanya akan membuang-buan uang kita.

Adik saya menjelaskan sedikit kenapa berinvestasi atau ‘jualan’ saham itu aman. Kata adik saya, berinvestasi atau trading saham itu aman-aman saja, asal pakai uang dingin. Juga jangan pakai uang talangan dari bank. Kalau pakai uang dingin, katanya, paling-paling ‘nyangkut.’

Istilah nyangkut sendiri saya belum memahaminya saat itu. Tapi saat itu saya dengarkan saja. Saya mencoba membuka hati dan pikiran dan mendengarkan langsung penjelasan adik saya yang lumayan sudah punya pengalaman ‘jualan saham.’

Menurutnya, untuk hidup di kampung, dengan modal internet, lumayan jika bisa dapat uang satu-dua juta sehari atau seminggu. Atau hanya beberapa ratus ribu sehari.

Saya langsung kaget. Sejuta sehari hanya bermodal melototin layar laptop, hidup di kampung, lebih dari lumayan. Jika ada transaksi empat kali yang menguntungkan saja selama sebulan, ia sudah bisa hidup layak standar PNS. Saya semakin kaget ketika mendengar cerita-cerita saudaranya yang mendapatkan uang milyaran dari investasi dan trading.

Obrolan dengan adik saya itu segera berlalu seperti angin lalu. Tapi lantas obrolan itu melecut saya ketika kawan lama sesame aktivis di Formaci, Gus Zaim, berkunjung ke rumah. Entah mulai dari mana obrolan kami saat itu. Yang jelas tiba-tiba ia bercerita tentang saham, tentang pengalamannya dua tahun ini ‘jajan gorengan.’ Seperti adik saya, ia juga meyakinkan bahwa ‘investasi dan trading saham itu sangat menjanjikan.’ Ia hanya menyarankan agar belajar dulu sedikit dasar-dasarnya sebelum nyemplung ke pasar saham.

***

Covid 19 gelombang kedua menerjang. Jakarta dan seketarnya lockdown. Saat itu saya berpikir bahwa kondisinya tidak akan segera membaik. Pasti harus tinggal di rumah lagi untuk waktu yang cukup lama.

Saya putar otak. Apa yang harus saya lakukan. Semenjak kembali dari Amerika, saya 100% pengangguran. Disertasi saya untuk sidang nanti sudah siap. Hanya menunggu masukan dan komentar dari pembimbing. Melanjutkan novel kedua belum juga bergairah. Akhirnya saya memutuskan satu hal yang sepenuhnya baru: memahami bagaimana caranya masuk ke pasar modal. Tekat saya bulat kini: mau mencoba berinvestasi dan trading, mengikuti saran adik saya dan Gus Zaim.

Tapi saya tidak mau konyol. Banyak rampok di pasar modal yang bisa membuat kita boncos. Cerita-cerita sumbang itu bukan tanpa dasar. Dan karena itu dimulailah petualangan saya: mengetahui cara membuka rekening investasi, mengetahui bagaimana caranya berinvestasi dan trading, memahami aspek-aspek dasar dunia persahaman.

Selama sebulan masa PPKM itu saya habiskan untuk mempersiapkan diri menjadi pedagang. Saya memperlalukan diri saya sebagai pemula, newbie. Memulai belajar saham dari nol. Setiap malam saya menonton youtube, mengikuti kursus-kursus, membaca buku yang saya download dari internet dan menonton live trading. Sebulan masa lockdown itu saya habiskan dengan penuh makna. Ada banyak ilmu yang diserap. Hari-hari menjadi bergairah dan bersemangat. Tidak sabar untuk segera merumput di pasar saham.

Seorang kawan menyarankan: belajar saham yang baik harus dibarengi praktik sekaligus. Karena kalau tidak, bagaimana bisa mengerti jenis-jenis chart, jenis-jenis lilin, support dan resistance, price action, dan lain-lain.

Saya menuruti sarannya. Saya membuka segera rekening investasi. Sejumlah uang saya kirimkan. Setelah itu, atas saran kawan, saya investasikan di perusahaan bluechip. Resmilah saya, kurang dua bulan lalu, masuk ke pasar saham, menjadi investor kelas teri.

***

Setelah saya nyemplung, saya baru tahu ternyata kawan-kawan sesame aktivis sudah beberapa tahun sebelumnya masuk di pasar saham. Sebagian kawan saya bahkan sudah berani menjajaki pasar kripto, emas dan mata uang. Saya menahan diri. Cukup saja belajar main saham untuk saat ini. Saya tertinggal beberapa tahun dari mereka. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Dan setelah dua bulan berada di pasar itu, saya semakin bergairah dan yakin, inilah salah satu usaha ‘sampingan’ paling menjanjikan. Tak perlu karyawan, tak perlu memikirkan barang dagangan, tak perlu menyewa tempat, tak perlu meluangkan waktu lama. Pekerjaanya hanya di depan laptop atau hp. Juga tidak perlu mengorbankan pekerjaan lain. Hanya butuh belajar sedikit analisa pola grafik harga, belajar analisa fundamental sebuah perusahaan, analisa tehnikal harga, broker summary dan awas dengan berita dan sentiment.

Dan setelah dua bulan berada di pasar itu, saya semakin yakin ada kekayaan tak bertepi di dunia itu. Masuk ke dalamnya adalah masuk ke dalam dunia potensi yang sangat besar. Ada ribuan trilyun uang berputar di sana. Jika berani masuk juga ke pasar dunia, ada kekayaan tak bertepi yang bisa digali. Hanya butuh kesabaran untuk membuka jalan.

Dan setelah dua bulan berada di pasar itu, saya juga mendapatkan banyak cerita inspiratif: salah satu orang paling kaya di dunia adalah Warrant Buffet. Ia sekali waktu ditanya Bezzos, si pemilik Amzon.

“Teknik dan cara anda menjadi kaya mudah sekali, orang bisa dengan mudah meniru cara anda. Tapi kenapa tidak banyak orang melakukannya?” tanya Bezzos.

“Karena tak banyak orang mau kaya perlahan-lahan,” jawabnya. Buffet dikenal sebagai investor kawakan yang kaya raya. Di Indonesia ada juga legenda semacamnya: Lo Keng Hong. Ia kaya dari investasi. Aliran mereka sama: value investing. Cari saham perusahaan bagus yang lagi murah. Beli, lantas tinggal tidur saja. Uang akan berputar sendiri.

Ada juga cerita lain: Bekti Sutikna. Lelaki lugu asal Jogja itu bisa merubah uang 200an juta menjadi asset 4 trilyun. Ia juara lomba trading beberapa kali. Namanya nyaris tidak pernah tertangkap radar ibu kota untuk waktu yang cukup lama. Sampai ia hadir untuk diwawancarai perusahaan sekuritas karena prestasinya: merubah 200 juta menjadi 14 milyar dalam 6 bulan. Ia dijuliki ‘the Hidden Master.”

Berbeda dari Pak Hong dan Tuan Buffet, Mas Bekti ini pedagang akut. Dengan berseloroh ia mengandaikan dirinya seperti pedagang kampung di pasar: datang ke pasar, ada untung barang langsung dijual. Untungnya mungkin kecil, tapi untung kecil itu ia raih setiap hari. Akumulasinya per bulan cukup fantastis. Ia disebut scalper, atau pedagang harian. Beli barang pagi, beberapa menit atau jam, langsung jual. Bisa jual untung atau bisa juga jual rugi. Jual rugi untuk pedang saham itu penting, karena akan menghindari kerugian yang dalam dan uangnya bisa diputar kembali.

Pak Hong dan Bekti ini mewakili dua aliran dalam duni saham: investor dan trader. Jika investor setelah menginvestasikan uang di sebuah emiten bisa langsung tidur, pedagang harus melek harga setiap menit selama jam perdaganagan. Jalan tengahnya adalah swinger, pedagang santai. Tidak perlu jualan tiap hari, tapi tidak perlu juga menunggu 5-10 tahun untuk panen.

Mau menjadi pedagang harian, swing trader, atau investor? Setelah dua bulan ini saya belum menemukan jawaban. Masih bimbang dan belum konsisten. Intinya jualan santai, kalau ada untung, bungkus saja! Dan alhamdulillah sudah mulai merasakan cuannya. Happy investing 🙂

Leave a Reply

%d bloggers like this: