Setahun di Melbourne
Setahun sudah aku tinggal di sini, di apartemen nomer 68, flat unit nomer 7, jalan Decarle, kelurahan Moreland, kecamatan Brunswick, kota Melbourne, negara bagian Victoria, Australia. Waktu terasa cepat sekali. Terasa baru kemarin aku menghirup bau pohon ekalitus di kampus, bau khas yang selalu membawa ingatanku ke masa pertama ketika aku datang. Perasaan baru kemarin aku bergegas ke supermarket murah, Aldi, untuk membeli lotion penangkal sinar matahari (sunscreen lotion). Bau lotion itu selalu mengingatkanku pada jam-jam pertama aku tiba di kota ini. Juga terasa baru kemarin aku nyasar ke apartemen orang, minta tolong pada ibu setengah baya, orang India, untuk mencari tahu di mana apartemen tujuanku. Ibu itu tidak tahu. Aku akhirnya bertanya pada orang di seberang jalan yang lagi ngobrol. Aku terkejut, mereka ngobrol pakai bahasa Arab, bukan bahasa Inggris. Aku menebak dari wajahnya mereka orang dari daerah Mediterania. Dia tahu apartemen tujuanku. Aku berterima kasih: “Syukron ya akhi. Ma’a assalamah”. Mereka tertegun. Tersenyum, sambil berujar: Salammu alaikum, brother!!. Itu baru kemarin terasa. Bukan, itu setahun lalu. Tepatnya tanggal 13 Januari 2009. Aku masih ingat, aku dilepas keluarga dari Sukarno Hatta jam 7 malam tanggal 12 Januari. Jadi memang itu setahun lalu, bukan kemarin.
Aku selalu mengagumi kota Melbourne yang indah ini. Ketika aku datang, dari bandara menuju penginapan sementara, aku sudah terpana. Tidak seperti Jakarta yang sumpek dan sesak, kota ini lengang dan terlihat leluasa. Lapangan hijau, taman-taman kota yang rindang, taman bermain, terlihat berdampingan dengan bangunan-bangunan modern di sepanjang jalan yang aku lalui.
Melbourne di sebut Garden City karena kota ini punya banyak ruang terbuka hijau. Di Jakarta hanya ada lapangan Monas. Di sini ada banyak, mungkin puluhan, lapangan hijau dengan taman-taman rindang dan tempat bermain seperti Monas. Di taman-taman itu, terutama jika sore hari, ada banyak orang berkumpul, bermain dengan anjing, berolah raga atau bahkan bercumbu mesra.
Kendaraan juga tidak segila kota Jakarta. Tak ada mobil seperti PPD yang mengeluarkan asap hitam pekat dari knalpot. Tak ada metro mini yang ugal-ugalan. Tak ada pengendara motor yang ngebut di trotoar, merebut hak pejalan kaki. Tak ada angkot dan bemo yang berhenti sembarangan seolah jalan milik mereka sendiri. Tak ada jalan berlubang apalagi becek. Setiap jalan raya meluangkan ruang satu meter di sisi kanan dan kiri untuk jalur sepeda. Di tengah-tengah jalan raya ada jalur tram. Mobil mengikuti tram di belakang. Jika tram berhenti, mobil wajib berhenti di belakangnya, atau polisi akan mengirimkan surat tilang ke rumah pemilik mobil itu jika nekat mendahului tram. Lampu merah berfungi sebagaimana mestinya. Pejalan kaki harus memijit tombol penyebrangan di lampu merah jika hendak menyebrang. Mobil, mengalah pada motor, motor mengalah pada sepeda, sepeda mengalah pada pejalan kaki. Minimal semua kendaraan berhenti satu meter dari tempat penyebrangan. Intinya, inilah kota di mana dengan jelas peradaban menampakan wajahnya. Kemajuan tercermin dari hal-hal sepele.
Aku telah terbiasa dengan suasananya yang sepi. Sepi? Bayangkan saja, Australia, negara satu benua yang membentang dari Perth ke Sydney, dari Melbourne ke Darwin, hanya di huni oleh 25 juta orang. Bandingkan, kota sekecil Jakarta di huni oleh 15 juta orang. Mungkin seluruh penduduk Australia sama dengan jumlah penduduk Jakarta di tambah Tangerang dan Bekasi. Bagaimana tidak sumpek tuh Jakarta! Buat aku yang biasa dengan kebisingan kota Jakarta, dengan klakson mobil, riuh rendah pengeras suara mesjid, berneka ragam suara penjual makanan keliling, ketika pertama datang, kota ini terasa begitu sepi. Negara bagian Victoria, di mana kota Melbourne berada, hanya di huni sekitar 5 juta orang. Rumah besar-besar dengan taman di halaman rumah yang luasnya hampir seragam. Jalan di dalam kompleks perumahan juga lebar-lebar. Selalu ada trotoar luas di kanan kirinya. Namun jarang aku menemui penghuninya. Tidak ada ibu-ibu atau bapak-bapak nongrong di depan rumah di kala senja seperti biasa aku temui di kampungku. Tak ada anak-anak muda nongrong di pos ronda dan bermain gaple atau catur. Kalau siang hari suasana tambah sepi. Orang-orang sibuk dengan pekerjaannya. Baru sore hari terlihat kota sedikit ramai. Orang-orang berkumpul di café, bercengkrama melepas lelah sembari menghirup kopi. Aku kini sudah biasa dengan kesepian ini. Malah aku menikmati: tentram, sunyi, tak ada gaduh.
Aku kini bisa mensiasati cuacanya yang kadang tidak bersahabat. Cuaca di sini sedikit aneh. Kadang sehari ada 3 musim: pagi-pagi dingin sekali, siang panas menyengat, sore hari tiba-tiba hujan. Hari senin hujan lebat, selasa suhu kadang mencapai 39 derajat. Masalah cuaca ini bukan hanya masalahku saja. Orang yang sudah lama dtinggal di sini juga masih harus beradabtasi. Mungkin karena cuaca secara global juga sedang berubah.
Tahun lalu Victoria dilanda musibah kebakarang hutan. Kejadiannya persis setelah beberapa minggu aku tinggal di sini. Saat itu hari terpanas sepanjang sejarah Australia. Suhu mencapai 50 derajat celcius. Hutan Victoria yang memang sudah kering dan gersang, ludes terbakar. Ratusan rumah dilalap jago merah, ratusan orang mengungsi, 27 orang meninggal dunia. Dua orang diantaranya pelajar Indonesia yang sedang berwisata di daerah pegunungan. Menurut berita di surat kabar, mereka padahal sudah bisa menyelamatkan diri mengendarai mobilnya. Namun sial, di tengah jalan api yang berlari 50 km perjam ditiup angin, menghadang mereka. Mereka terjebak dan keduanya terpanggang dalam mobil. Sisa-sisa kendaraanya baru 2 bulan kemudian ditemukan. Kebakaran hutan itu menjadi berita nasional dan dunia. Sampai hari ini pemerintah Federal Australia tak henti-henti mengiklankan peringatan akan bahaya kebakaran hutan. Hampir setiap jam ada iklan peringatan dan tatacara penyelamatan diri jika ada kebakaran hutan. Sejumlah perundang-undangan dan rencana tata kota diperbaharui untuk melindungi warga kota dari sang api. Jutaan dolar dihabiskan untuk belanja peralatan baru untuk mengantisipasi jika benar-benar Jumat kelabu itu terulang lagi.
Makanan? Itu dia masalahnya tinggal di sini. Jakarta memang sumpek, sembrawut dan berisik. Tapi Jakarta menyediakan tukang gorengan di sudut-sudut jalan. Mempunyai ratusan tukang rujak uleg di setiap halte. Ada tukang gado-gado, bakso, siomay, batagor di perempatan jalan. Ada puluhan tukang makanan keliling, hampir setiap jam, lewat ke depan rumah. Pagi-pagi pedagang makanan untuk sarapan, dari mulai lontong sayur sampai nasi uduk. Malam tukang nasi goreng dan mie ayam. Jika tengah malam ingin nyemil, masih bisa berharap tukang skuteng lewat. Bahkan di tengah jalan tol pun masih ada krupuk Pelembang dan teh botol sosro. Jika malas keluar mobil, anda cukup buka kaca, pedang, tanpa di suruh, akan mengasongkan makanan. Ketika aku kos di gang sempit, dulu, di Semanggi I Ciputat, jika aku lapar dan malas keluar, aku tinggal menunggu tukang ketoprak lewat. Tinggal pesan, ketoprak akan sedia di hadapan kita. Jika habis jalan jauh dari tempat kerja dan pulang ke rumah sore hari, capek dan lelah, tinggal mampir di perempatan komplek untuk memesan sate dan tongseng. Jika ingin nangka, jambu, jeruk Medan, mangga, apel, papaya, tinggal berhentikan motor atau mobil kita dan pesan dari balik kaca.
Semua bumbu hidup itu yang tidak ada di sini. Terlalu rapi, terlalu teratur, terlalu sunyi, ternyata menimbulkan kebosanan tersendiri. Makan bakso hanya ada di restoran Indonesia di kota atau depan kampus. Harganya mahal, rasanya tak karuan. Tukang gorengan dan rujag uleg tidak bakal ditemui. Silahkan cari ke seluruh Australia kalau ada. Ada kafe-kafe atau toko kue. Tapi rasanya terlalu asing buat lidahku yang biasa makan singkong goreng. Kuenya terlampau manis. Sayurannya terlampau Mediteranian: asin keju dan pahit buah jaitun. Aku tak suka, mungkin karena tak biasa. Aku suka pizzanya. Hanya pizza.
Ada banyak restoran, cuma harganya tidak cocok buat kantongku. Atau kadang aku tidak berani karena jelas-jelas mereka menjual menu dari daging babi. Resikonya, aku harus masak sendiri, hampir setiap hari. Tapi ada hikmahnya. Aku dan istriku sekarang pandai masak. Mau masak apa? Rendang, kari ayam, sup kambing, nasi uduk, sambal balado, siomay, bakso, kita bisa. Jangan tanya rasa, yang penting bisa. Setiap mau masak kita lihat dulu resepnya di internet. Atau, kalau mau gampang, tinggal datang ke super market Asia, semua bumbu instan untuk masak, dari mulai rendang samapi samabal goreng, tersedia.
Buat istriku dan ibu-ibu yang suka belanja, Melbourne seperti Bandung jika di Indonesia. Ada banyak supermarket dan pusat belanja yang menarik. Kalau aku cerita Myer dan QV mall, pasti tidak seru. Mal di mana-mana sama saja. Barang yang dijual juga seragam: di sini mereka jual Levis, Lea, Nike, Adidas, DG, Gucci. Barang yang sama bisa di temui di PIM atau Sarinah Mal. Kapitalisme membuat barang yang dijual seragam di seluruh dunia. Bahkan tempat barang itu dijual dan cara penjualannya pun seragam. Tidak menarik.
Aku ingin cerita Saver dan Camberwell maket saja. Ini bukan mal tempat barang-barang mewah di jual. Saver mirip Barbeku di Pondok Cabe. Berbeku singkatan dari barang-bekas-berkualitas. Tempatanya di dekat lapangan terbang Pondok cabe, tepat sebelum pertigaan jika anda jalan dari arah Pisangan. Bedanya, ini supermarket khusus barang bekas. Ada juga toko serupa, namanya Salvos. Salvation Army mirip dengan saver. Mereka menjual barang bekas. Bedanya, Salvos milik gereja. Baik Saver maupun Salvos mengumpulkan barang bekas yang hendak dibuang pemiliknya. Mereka mensortirnya, membersihkannya, kemudian menjualnya dengan harga super murah. Di Australia, jika kita hendak buang sampah dalm jumlah banyak, kita harus mengeluarkan uang. Membuang sembarangan barang bekas dikenai sangsi denda. Jika ingin membuang ke tempat pembuangan, tempatnya jauh. Tempat pembuangan sampah resmi paling dekat dari Brunswick ada di Mooney Pond. Anda harus menyewa mobil bak terbuka jika tidak punya. Per mobil anda harus bayar 20 dollar untuk membuang sampah. Bayangkan, buang sampah harus bayar. Dari pada repot-repot, jika barang yang akan dibuang masih layak pakai, lebih baik telpon Saver atau Salvos. Mereka akan menjemput barang-barang itu dari rumah kita. Mereka akan menjual kembali.
Jangan bayangkan barangnya jelek-jelek. Ada banyak sekali orang kaya di sini. Ini negeri maju bung! Ada banyak orang yang ganti mode tiap musim atau tiap tahun. Mereka terlalu banyak membeli barang. Dan biasanya, karena tidak mau repot, jika menyempitkan garasi atau gudang, mereka akan buang ke Salvos atau Saver. Jika beruntung, anda bisa menemukan banyak barang bagus. Semua pakaian dan barang bermerek bisa kita temukan. Buku-buku juga banyak sekali di sana. Setiap minggu mereka memeberikan enxtra diskon buat mahasiswa. Jadi, celana jeans Levis yang di QV mal harganya 100 dollar, di Saver hanya 4 dollar. Tapi bekas! Peduli amat, emang orang mengecek kita pakai celana bekas. Toh barangnya masih bagus.
Aku juga beli banyak buku-buku unik buat Aam, jagoanku. Kata Mba N, tetangguku, di Gramedia buku-buku yang aku beli itu harganya ratusan ribu. Di Salvos aku hanya harus bayar 1,5 dollar per buku, belum di potong diskon 20% karena aku belinya hari minggu. Aku dan istri menjadi pelanggan setia Salvos dan Saver. Maklum, ke Salvos aku hanya tinggal jalan kaki beberapa ratus meter. Ke Saver aku hanya nik tram 3 stopan, ke arah kota.
Jika mau yang jauh, sekalian jalan-jalan hari minggu, mainlah ke Camberwell. Kita harus naik kereta dari stasiun Flinders, naik jurusan Belgrade atau Alameen, turun di stasiun Camberwell. Tinggal jalan kaki beberapa ratus meter dari stasiun. Kita tidak bakalan nyasar. Kalau hari minggu, hampir semua penumpang yang turun di stasiun itu pasti hendak ke pasar kaget Camberwell. Pasar ini dinamai Sunday Market, karena bukanya hanya hari minggu. Para penjual menjual barang dagangannya di mobil masing-masing yang di sulap mejadi toko. Ada juga yang sengaja buka lapak. Di pasar ini kita bisa menemukan sepeda, panci, kamera, pakaian, mesin jahit, minuman, dan lain-lain. Hargnya sudah pasti jauh lebih murah jika dibandingkan dengan toko atau mal.
Untuk keperlua makan dan sembako sehari-hari, aku biasanya belanja di Mix Supermarket atau Laguna untuk mencari bumbu-bumbu atau makanan Indonesia. Dua super market ini yang punya orang Indonesia. Aku tidak tahu persisnya dari mana, katanya yang punya orang Tionghoa Surabaya. Mix hanya 6 stopan tram dari rumahku, naik tram nomer 19, ke arah kota. Laguna sedikit jauh. Ke sana kita harus naik tram ke kota dan berjalan menyebrangi Myer dan Qv Mall. Laguna nyempil di antara toko-toko, boutique dan mal. Di kedua toko itu kita bisa menemukan semua makanan Indonesia: tempe, tahu, tauco Cianjur, tape singkong, daun salam, kencur, lengkuas, indomie, teh botol sosro, jengkol, pete, paket sayur asam, paket sayur lodeh, dan banyak lagi. Hampir semuanya ada. Sebagian, seperti pete, jengkol dan tape, tentu dijual dalam bentuk beku. Barang-barang itu sengaja di datangkan dari Indonesia untuk memenuhi dagaha makanan orang Indonesia di Melbourne yang jumlahnya memang banyak sekali, sampai ratusan ribu.
Kalau untuk beli sayuran segar biasanya aku datang ke Pasar Brunswick, beberpa ratus meter dari rumah. Letaknya di pinggir jalan Sydney, dekat stopan tram. Kalau ini yang punya orang Libanon. Jangan cari kangkung atau kacang panjang di pasar ini. Pasar ini hanya menjual sayuran khas Australia atau sesekali sayuran Mediteranian: buah zaitun, zucchini, terung abu-abu, paprika, red sweet chili, bayam Australia, salad, bawang Bombay dan kentang. Buah yang dijual biasanya itu-itu saja: pisang, anggur, nenas, semangka, apel, plum, jeruk lemon, tomat dan sesekali mangga Darwin. Tidak ada nangka, durian, rambutan atau duku.
Kalau mau sayuran dan buah asia, aku dan istri biasanya sesekali datang ke Little Saigon, pasar Vietnam di Footscray. Yang jualan di sana semuanya orang Vietnam. Aku kaget ketika pertama kali singgah ke pasar itu. Para pedagang di sana menawarkan dagangannya dengan bahasa Vietnam. Semua buah dan sayur di jual satu atau dua dollar jika sudah sore hari. Mungkin lebih baik terjual meskipun murah ketimbang terbuang. Di sana ada kacang panjang, kangkung, bayam, durian, jambu batu, mangga Indramayu dan lain-lain. Aku jarang ke pasar ini karena sedikit jauh. Harus naik kereta ke North Melbourne, terus ganti kereta ke arah Footscray. Sesekali saja aku pergi kesana. Jika benar-benar ingin buat Karedok, makanan khas Sunda kesukaanku.
Bercerita Melbourne tidak sempurna kalau tidak menyebut Yarra, sungai nan indah itu. Yarra, sungai yang membelah kota Melbourne, jika di lihat dari udara, terlihat seperti urat nadi yang mengalirkan darah ke tubuh kota Melbourne. Airnya mengalir dari hulu sungai, Yarra Valley di arah utara.
Sungai ini indah sekali, seindah namanya. Yarra! Artinya ‘Mengalir!’. Yarra nama aborigin. Konon dulu sungai ini addalah pusat kehidupan dan peradaban orang-orang Aborigin. Yarra mungkin sama seperti Gangga, Amazon, Kapuas, Cisadane, Citanduy untuk kebudayaan lain. Setiap kebudayaan arkaik selelu berpusat di sekitar aliran sungai atau laut. Air selalu memeberikan kehidupan. Yarra juga adalah sumber kehidupan buat orang Aborigin dulu. Tapi juga buat orang Melboruen sekarang. Di hulu sungai Yarra ada banyak lahan pertanian. Hampir semua sayuran segar yang di kirim ke pasara-pasar sekitar Melbourne berasal dari kawasan pertanian di hulu sungai Yarra itu. Yarra juga sumber ekonomi buat Melbourne. Fotonya selalu di pasang di iklan-iklan pariwisata kota. Jutaan pelancong datan ke kota ini setiap tahun. Pasti mereka mamapir ke kafe-kafe di samping Yarra untuk minum kopi atau wine. Sebagian mungkin naik perahu wisata yang akan membawa mereka menelusuri sungai itu sampai ke Dockland, kawasan pelabuhan di hilir sungai. Ketika aku hendak datang ke kota ini dan mengunjungi situs kampusku, sungai Yarra tiba-tiba nampak jadi latar belakang. Selalu fotonya di ambil dari arah perbukitan di Kebun Raya kota Melbourne, Botanical Garden. Kebun raya itu persisi berada di samping Yarra. Letaknya sedikit berbukit. Jika melihat Yarra dari Kebun Raya pasti indah sekali. Apa lagi jika sore hari. Sinar matahari memeluk erat aliran sungai itu, menggoreskan bayangan gedung-gedung pencakar langit, burung-burung camar. Perahu, kayak, rumput-rumput hijau serta pepohonan rindang menabah kecantikan sungai itu. Jauh di ujung kanan dan kiri ada dua jembatan tua. Mobil dan sepeda berlalu lalang di atasnya. Orang-orang menggelar tikar dan bercumbu mesra, sebagian berolah raga. Indah sekali.
Oh Yarra. Kalau anakku dulu lahir perempuan, aku akan memberinya nama Yarra. Namun anakku laki-laki, nama Yarra kurang pantas. Mungkin nanti kalau anak kedua lahir dan perempuan, akan ku beri dia nama Yarra. Mengalir, pante rei.
Tunggu dulu, aku datang ke sini bukan sebagai seorang turis. Aku datang sebagai pelajar. Tidak adil jika aku tiba-tiba melupakan kampus-kampus yang ada di kota ini. Ada puluhan kampus di sini. Aku kuliah di Universitas Melbourne, di fakultas hukum. Kampusku termasuk kampus paling tua kedua di Australia. Universitas Sydney di New South Wales menjadi buyutnya kampus-kampus di Australia. Kampusku hanya menjadi neneknya saja. Sejarah kampusku bisa dilihat dari gedung-gedung tua yang sebagian masih bertahan. Bangunan merah di samping jalan Grattan, tempat organisasi mahasiswa pasca sarjana berkumpul, tempat aku juga biasa menghabiskan waktu makan siang, juga tempat anak-anak mahasiswa Indonesia setiap bulan berkumpul untuk berdiskusi, adalah gedung yang paling tua di kampusku. Didirikan sekitar tahun 1880.
Tentu kampusku tak setua Harvard, Oxford, atau AlAzhar. Australia negara koloni baru. Sementara orang Aborigin juga tidak punya kampus sebelum orang-orang Ingrisa datang. Namun kesan klasiknya tetap nampak. Gedung lain yang juga tak kalah kelasik adalah gedung fakultar Sastra, di South Lounge. Tempatnya persis di tengah-tengah kampus. Gedung ini punya jam raksas, mungkin replika Jam Tua di kota London yang terkenal itu. Atau jangan-jangan replika jam gadang? Pasti bukan. Jam gadang ini menjulang seperti menara mesjid. Bentuknya sepeerti benteng tua abad pertengahan. Yang membuat lebih indah adalah karena gedung ini menempel dengan bangunan tua lain bergaya Mediteranian. Tiang-tiang nya di buat berkubah-kubah seperi mesjid, berwarna hitam batu alam, berbaris rapi sampai ke ujung lorong gedung. Di tengah-tengahnya ada taman dan tempat duduk-duduk. Sekilah gedung ini mengingatkanku pada foto Alhambra di buku pelajaran sejarah Islam di Spanyol. Di depan gedung ini hamparan luas rumput hijau dan rimbun pepohonan. Jika sedang musim kuliah, mahasiswa bergerombol duduk-duduk di atas rumput itu. Jika musim panas seperti sekarang, ada banyak paha dan buah dada berjemur di sana. Sesekali akan ditemui sepasang muda mudi berpelukan, berciuman, saling menindih di taman ini.
Beberapa kilo meter kea rah utara ada kampus RMIT. Kalau melafalkan secara pelan hurum ‘R” di awal, kampus ini jadi mirip kampus keren di Amerika, MIT. Kampus ini mungkin mirip ITB. Royal Melbourne Institute of Technology. Kampusnya, terus terang, tidak sebagus kampusku. Sekilas mirip rumah toko atau perkantoran. Posisinya berbaur dengan gedung-gdeung lain di kota Melbourne.
Di pinggiran kota Melbourne, di Clyton, yang sering diplesetkan menjadi Klaten, ada kampus terkenal Monash University. Kampus ini kampus baru, jadi gedung-gedungnya tidak ada yang unik. Clyton mirip Bekasi atau Cikarang. Itu kota insustri di mana banyak pabrik-pabrik berdiri. Namun kampus ini cukup terkenal, banyak sekali professor top mengajar di sana. Yang paling terkenal, dulu, Pak Herbert Feith. Sayang professor ahli Indonesia ini meninggal tragis. Dia meninggal tertabrak mobil saat mengendarai sepeda. Mirip nasibnya dengan Ahmad Wahib. Cuma wahib belum sempat terkenal dan di tabrak saat jalan kaki di pagi hari selepas kerja di kantor majalah Tempo.
Ada juga kampus La Trobe dan Victoria di pinggiran kota. Di daerah Ballarat ada UniBal. Ballarat kota tua bekas pusat pertambangan emas. Ada juga kampus-kampus lain yang aku tidak hafal. Biasanya kawan-kawan pelajar Indonesia yang belajar di sini akan daftar di salah satu kampus yang aku sebutkan tadi.
9 Comments
Kadarisman
Ass. Mas Zaenal salam kenal dulu deh, saya kadarisman biasanya dipanggil risman. Insyaallah 02 April 2011 berangkat dr Ckrg menuju Melbourne, yah maksudnya mau adu nasib biarpun hanya bermodal visa turis, Maklum mas umur sy sdh cukup tua 48 th, jg g bs apply visa yg lain, kerja apa saja sih yg penting halal thoyiban. Mas Zaenal bisa tolong tunjukin penginapan sementara yg murah utk 2 orang (laki semua). Sebelumnya trimakasih atas bantuannya.
ngatemin boi
selamat datang
Paula
Hallo.. Salam kenal, rencana dlm waktu dekat saya n suami akan menetap di melbourne, yang mau saya tanyakan, kira2 public primary school yg recomended disana apa ya, tq
zezen zaenal mutaqin
Halo Mba, saya tidak tahu Mba mau tinggal dimana. Cuma biasanya kalau yang public setahu saya hampir semuanya sama saja standarnya. Karena itu langsung dibawah pemerintah. Mereka pada dasarnya bagus. Kalau tinggal di daerah Brunswick, sekolah di Moreland Road bagus. Untuk cari info yang lebih up to date, mba silahkan gabung dengan milis indomelb@yahoogroups.com. Itu salah satu tempat curhat mahasiswa dan orang indo di melborne. Cari saja indomelb di yahoogroups terus join.
Salam
ayu
salam kenal pak,saya ayu.
says suka sekali tulisan bapak. bagus.
say mau ke melbourne dan tinggal hampir setaun,dan nemu blog ini. sgt membantu, jd pgn ngunjungi tmpat2 yg disebutkan.
sukses terus ya pak
Apri Sya'bani
Salam kenal Pak Zezen…
Saya Apri Sya’bani, yang kemarin bertanya di pameran pendidikan unimelb. Syukurlah menemukan blog ini. Bisa jadi referensi buat saya yang berniat kuliah di unimelb, khususnya master of law…Ijin nanti mau tanya2 via blog atau chat, boleh Pak ?
Terimakasih
zezen zaenal mutaqin
Iya sama2. Keep in touch ya 🙂
Joan
Subhanallah.. Rasanya begitu menyenangkan ya tinggal disana.. Sudah lama saya memimpikan bisa berkunjung ke Melbourne, syukur2 bisa sekolah dan tinggal disana.. Tapi, mungkin belum rejekinya.. Dengan membaca tulisan mas Zaenal, keinginan saya makin besar dan ingin cepat2 melihat dan merasakan secara langsung keindahan kota penuh taman ini..
zezen zaenal mutaqin
Selama mimpi itu kita pelihara, suatu saat pasti menjelma. Yakinlah, lantas usahalah! Pasti sampai ke sana.