Kemana Kawan Kita, S?

“Untuk S yang hilang ditelan filsafat.” Begitu bunyi dedikasi sebuah buku. Buku itu ditulis untuknya, oleh sahabatnya ketika kuliah di STF dulu.

S memang raib entah ke mana. Ia seperti hyang, menghilang. Tapi saya yakin bukan karena ditelan filsafat. Ia hilang karena kami, kawan-kawannya, atau keluarganya, tak segera merengkuhnya. Tangannya tak segera kita tarik kembali ke dunia nyata. Dan ia kini seperti fatamorgana.

Saya selalu memikirkannya setelah mendengar cerita pilu itu. Tak percaya perjalanan hidupnya akan seperti sekarang ini. S anak yang sangat cerdas, artikulatif dan berdedikasi untuk apa yang ia sukai dan cintai. Tapi juga introvert dan sering terlihat melankolik.

S suatu hari berkonsultasi kepada saya di basecamp forum studi kami, tak jauh dari Pasar Ciputat. Ia ingin serius belajar filsafat. Ia mau berhenti kuliah di Fakultas Tarbiyah dan ingin pindah ke STF. Cinta matinya pada pemikiran semakin menjadi-jadi.

Saya menyarankan tidak perlu pindah hanya untuk belajar serius filsafat dan pemikiran. “Belajar pemikiran di sini, di FORMACI, tidak cukup?” Saya ingat sekali dengan pertanyaan itu. Memang ketika kuliah S1 di Ciputat dulu, belajar di kelas seperti sebentuk kesia-siaan. Buat kawan-kawan pegiat forum studi, ketidakpuasan itu untungnya bisa dikonpensasi dengan belajar sendiri bersama kawan-kawan dan senior. Apapun kita pelajari dan diskusikan: dari filsafat, sosiologi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, sains populer dan tentu keislaman.

Tapi S rupanya tidak puas dengan kajian-kajian filsafat dan pemikiran di FORMACI. “Mau lebih serius, Kang.” Ia bilang begitu. Saya meyakinkan kembali agar S tidak perlu pindah ke STF karena ia harus mengeluarkan lagi biaya, kehilangan kawan dan komunitas (Ciputat-Rawamangun lumayan jauh) dan kehilangan waktu. Tapi rupanya tekat S sudah bulat. Ia, beberapa bulan kemudian, pindah kuliah ke STF.

***

Setelah ia pindah, kami jarang bertemu. Hanya sesekali. Komuntasnya tetap di Ciputat. Ia masih mondar-mandiri Ciputat-Rawamangun. Sesekali kalau ada diskusi di Utan Kayu, kami masih berjumpa. Tapi sampai saat itu saya merasa tak ada yang aneh dengan S. Semua seperti baik-baik saja.

Saya lantas melancong ke Australia, sibuk bekerja dan perlahan mewujudkan cita-cita. Dan karena itu kami sama sekali tidak pernah bersua. Sampai kemudian kawan-kawan yang masih sering berkomunikasi dengannya atau kuliah di STF menceritakan tentang nasibnya yang pilu itu.

Rupanya Ayahnya tahu ia pindah kuliah. Dan sepertinya Ayahnya kecewa. STF adalah kampus Katolik. Untuk orang tua di kampung, keputusan ini susah diterima. Ayahnya lantas meninggal karena sakit. Menurut cerita yang saya dengar, S seperti merasa bersalah dan terpukul atas keputusannya. Ia telah mengecewakan Ayahnya. Dan setelah itu mungkin ada tumpukan masalah lain yang saya tidak tahu. Setiap kita selalu punya sisi sunyi yang hanya harus dihadapi sendiri.

Lantas kuliahnya di Rawamangun mulai terganggu. Pada saat yang sama ia sudah tercerabut dari pot komunitasnya. Di FORMACI, ‘kerumitan’ dan kesulitan dunia pemikiran yang dipelajari segera terobati oleh diskusi, ceng-cengan, dan gelaktawa. Diskusi adalah katarsis. Sebentuk obat. Ia membuat otak kita melepas tumpukan beban informasi dan bacaan. Kawan-kawan akan menopang ketika kita terseok menghadapi gelombang kehidupan. S tak lagi hidup di pot itu. S menelan dan mengunyah sendiri bacaan dan beban hidupnya. Soliter dalam kesendirian di ruang kontrakannya di Rawasari.

Pada saat S semakin menjauh dari dunia nyata, kawan-kawannya tak menyadarinya. Tentu bukan karena tidak peduli, tapi lebih karena tidak tahu dengan kondisinya yang begitu. Sampai semuanya terlambat.

Kawan dekatnya di Formaci sempat menyusul ke rumahnya di Karawang utuk mengambil kunci kampus yang dibawanya ke rumah. Kawannya itu diberitahu ibunya tentang S. S seperti hidup di dunia lain. Sering berbicara sendiri, dalam bahasa Inggris. Tak pernah keluar kamar. Ketika berjumpa, kawan Formaci itu bilang obrolannya dengan S sudah susah nyambung.

***

Dan keluarganya kemudian memberitahu, S hilang entah ke mana. Ada yang bilang S berjalan kaki sendiri, tanpa alas kaki, ke arah timur. Mungkin ia hendak menjemput matahari.

Saya hanya ingin tahu nasib S sekarang. Mungkin saatnya kawan-kawannya mencari tahu dengan sungguh-sungguh keberadaannya. Kalau bisa menyelamatkanya: menarik kembali ke dunia nyata.

Leave a Reply