Selamat Jalan dan Berjuma Nek, Bah.

Terakhir abah menelepon lewat sambungan video sekitar dua atau tiga hari sebelum jadwal penerbangan kami ke Indonesia. Abah sudah terlihat pucat meski masih bisa ngobrol ringan. Ia ingin lihat semua cucunya satu-persatu.

Tak banyak kata-kata. Tatapannya menandakan ia bahagia melihat cucu-cucunya yang tinggal di benua berbeda. Abah terutama sangat ingin melihat Regyan, cucunya terbaru. Satu-satunya cucu yang belum digendongnya.

Ketika menelpon itu saya belum mempunyai firasat Abah akan pergi begitu cepat meninggalkan kami selamanya. Abah orang sehat. Seingat saya, Abah tidak pernah sakit berat. Ia bahkan tidak pernah masuk rumah sakit. Waktu itu abah mengeluh sakit kepala, tidak bisa tidur dan selalu mual. Katanya sakit gulanya kambuh.

Saya sudah khawatir dan curiga Abah terpapar Covid. Dua minggu sebelumnya, Uwak, kakak Abah, meninggal karena Covid. Pada waktu bersamaan seorang tetangganya juga sakit karena Covid. Tapi saya berprasangka baik saja waktu itu. Saya selalu bilang agar Abah tidak perlu banyak keluar rumah dahulu.

Ketika adik mengabarkan Abah positif Covid, saya cukup terpukul dan khawatir. Ia berusia 66 tahun. Masuk dalam kategori beresiko tinggi terpapar Covid. Sambil mempersiapkan barang-barang untuk dibawa kembali ke Indonesia, hati saya galau dan khawatir.

Ketika kami mendarat, kondisi kesehatan Abah semakin menurun. Tapi tidak mengalami sesak nafas. Itu membuat saya lebih tenang.

Karena Abah tidak pernah sakit keras sebelumnya, ia tidak mau dirawat di rumah sakit. Adik sudah membawanya ke UGD. Dokter memintanya dirawat. Tapi ia menolak. Ia memilih di rumah saja. Abah bilang tidak mau masuk ruang isolasi. Ia memaksa pulang.

Akhirnya kami yang mengalah. Untuk jaga-jaga, kami mencari tempat penyewaan oksigen agar nafas Abah yang mulai bermasalah bisa terbantu..

Dan berita menyedihkan itu saya terima siang hari. Adik perempuan menelpon sambil menangis.

“Abah tidur tapi ko dibangunin tidak juga bangun,” ujarnya dengan suara terisak.

“Mungkin lagi tidur. Tadi Azis bilang baru saja ketemu Abah dan mengobrol.” Jawab saya. Saya mencoba menghibur diri sendiri.

Tak lebih 10 menit sebelum adik perempuan saya menelpon itu, adik saya yang lain saya telpon. Ia bilang baru saja menengok Abah dan sebentar mengobrol. Katanya Abah sudah lumayan bisa tidur.

“Abah baru makan pepaya,” ujarnya.

Hati saya senang. Tapi perasaan optimis itu hanya berumur sepuluh menit.

***

Abah pergi ketika kami sudah di depan pintu. Abah pergi ketika kami sudah di sini. Tak ada lagi samudra yang memisahkan kami. Tak ada lagi ribuan kilometer dan 24 jam perjalanan yang mencegah kami berjumpa. Regyan hampir saja digendongnya. Ibarat marathon, ini lap terakhir menjelang garis finish. Mungkin kalau saya masih di Los Angeles, rasa permakluman mampu meredam kesedihan. Tapi mau bagaimana. Ajal tak bisa diatur manusia. Abah pergi ketika kami sekeluara tiba.

Abah pergi ketika saya kembali dari Amerika. Dulu Nek pergi menjelang saya berangkat ke Amerika. Nek, Ibu saya, meninggal di Mekah. Saya hanya melihat jenazahnya dari sambungan video.

Kini, 6 tahun kemudian, Abah meninggal di rumahnya tercinta. Di rumah yang atapnya kini ia rubah menjadi taman bunga untuk makanan lebah-lebah yang ia ternakkan.

Tapi meski Abah meningal di rumahnya, saya tetap tidak bisa juga mencium jenazahnya, melepasnya untuk yang terakhir kali, mengantarnya ke tempat pemakaman. Pandemi membuat semua hal-hal sederhana yang dilakukan oleh manusia menjadi sebuah keistimewaan dan kelangkaan.

Saya hampir nekat kabur dari tempat karantina. Kawan sudah menyediakan mobil di depan hotel. Saya sudah mengepak semua baju untuk pulang kampung melepas jenazah Abah. Tapi niat itu urung. Bukan karena saya takut melanggar aturan karantina, tapi karena semua saudara di kampung melarang saya datang. Kampung saya sudah menjadi zona merah dan akan di-lockdown. Semua saudara sedang isolasi manidiri. Belakangan saya tahu, sekitar 30 orang dinyatakan positif di desa Abah.

***

Meski Covid sudah melanda, suasana kampung tidak berubah: orang tetap ke mushala, masker penutup wajah tidak terlalu dihiraukan, anak-anak muda masih nongkrong di pos ronda, hajatan masih berjalan, pasar dan mal masih ramai. Pandemi seperti barang asing di planet Mars yang tidak akan sampai ke kampung mereka.

Abah juga masih sibuk pergi ke luar kota memenuhi undangan. Abah adalah sesepuh di komunitasnya. Ia selalu diminta mewakili keluarga-keluarga untuk mengepalai delegasi pengantin. Tiga minggu sebelum sakit, Abah pergi ke Bandung, Solo dan Jogja dalam waktu berdekatan.

Kondisi ini diperparah oleh anggapan bahwa Covid itu semacam ‘kutukan,’ dan aib yang tidak perlu diketahui orang lain. Tidak ada yang berani terbuka sampai Abah dinyatakan positif dan meninggal. Saya meminta keluarga terbuka. Saya juga minta semua adik ditest swab PCR. Covid bukan kutukan, bukan pula aib. Ia penyakit yang bisa menyerang siapa saja. Kalau disembunyikan, ia lebih berbahaya dari bom waktu.

Dan betul saja. Kasus Abah rupanya hanya puncak gunung es di kampung. Rupanya telah banyak yang terpapar tapi tidak sadar. Atau terpapar tapi tidak mau terbuka karena takut dikucilkan.

Saya bsegera erbicara dengan saudara yang kebetulan bekerja di dinas kesehatan Kabupaten agar desa itu sementara di lockdown dan ditest secara lebih masif. Tujuannya sederhana: memutus mata rantai. Jangan sampai Covid merenggut lebih banyak lagi korban. Cukup Abah dan Uwak yang menjadi korban.

Setelah swab masal, orang terkaget-kaget. Di lingkungan rumah Abah saja sekitar 17 orang tetangga dinyatakan positif. Sebagian dalam kategori tanpa gejala. Sebagian memang mengaku sakit. Tapi di kampung sakit kepala dan flu bukan dianggap penyakit. Orang masih biasa terus beraktivitas meski flu atau sedikit demam.

***

Sampai sekarang saya belum bisa berziarah ke makam Abah. Saya baru akan datang ke kampung setelah kondisi lebih baik dan kondusif. Tapi saya yakin Abah memaklumi. Doa untuk Abah dan Nek tak henti-henti saya panjatkan.

Selamat jalan, Bah. Selamat berjumpa Nek. Surga menantimu.

Leave a Reply

%d bloggers like this: