
Me-rumah di Los Angeles
Rumah buat saya, juga buat setiap orang, adalah kenyamanan. Di mana saya merasa nyaman, disitulah rumah saya. Tidak mesti saya memiliki tempat fisik berupa bangunan yang disebut rumah. Dalam bahasa Inggris ada dua kata yang diterjemahkan sama ke dalam bahasa Indonesia. House adalah rumah fisik, sementara home berbentuk perasaan: kenyamaan. Dan untuk menunjuk di mana rumah saya, kadang saya merasa bingung. Sekarang saya dan keluarga tinggal di Los Angeles. Menempati sebuah apartemen yang lumayan mewah, lengkap dengan fasilitasnya. Tapi sampai sekarang belum merasa itu sebagai rumah kami.
Apa yang berharga dari sebuah rumah adalah keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan tempat kita tinggal. Teman, tetangga, masjid dekat rumah, sekolahan, dokter, air bersih, pasar, abang tukang sayur dan ketoprak, keluarga, pekerjaan. Tentu saja bangunan yang layak dan kendaraan penting sebagai penentu ke-rumahan sebuah tempat tinggal. Tapi lebih dari itu, lingkungan dan keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan tempat dimana kita tinggal sangat menentukan kenyamanan.
Pindah rumah bagi kami, terutama anak dan istri saya, adalah sebuah peristiwa besar. Juga pengorbanan. Mereka harus memulai semuanya dari awal, dari nol.
Amartya dan Yarra harus mulai lagi mengeja dan mengenal bahasa karena kami sekarang tinggal di Amerika. Mereka harus meninggalkan kenyamanan bermain dengan kawan-kawannya di Pamulang. Mereka harus memulai lagi mencari kawan baru. Memulai lagi mengetahui lingkungan baru. Kaget tidak bisa jajan, tak bisa lagi beli es krim dari Abang tukang es keliling. Tak lagi minta uang untuk jajan ke Toko Nci. Tak bisa lagi ke mesjid dan pakai jilbab.
Yarra kemarin nangis mau main pakai jilbab. Sebelumnya pulang sekolah rewel sekali. Mungkin dia kangen bermain dengan kawan-kawannya. Setiap sore biasanya dia dan kawan-kawan sebayanya pergi ke mushala dekat rumah, mengenakan jilbab, membawa tas dan uang jajan, untuk belajar iqra.
Amar senang sekali ketika saya ajak ke mesjid di Culver City untuk shalat jumat. Sepanjang jalan dia banyak bertanya tentang Islam di Amerika. Dia kaget karena mesjid itu cukup besar dan setiap jumat selalu penuh tidak bisa menampung jamaah yang hadir. Datang ke mesjid itu dia merasa berada di rumah
Istri saya juga harus memulai semua dari nol. Ia tak lagi bisa pergi naik motor mencari mie ayam atau belanja ke pasar basah dekat rumah. Tak bisa lagi ikut pengajin rutin ibu-ibu komplek sekalian ngerumpi. Ia masih sedikit khawatir kalau keluar rumah, terutama karena dia berjilbab—semua gara-gara Trump. Istri saya belum punya teman lagi di sini kecuali seorang ibu di komplek sebelah yang suaminya sesama pelajar seperti saya. Sehari-hari dihabiskan di dalam rumah. Waktu jemput anak mungkin menjadi waktu yang selalu dinantinya karena dia harus berjalan selama sepuluh menit ke sekolah anak-anak. Ketika keluar itu ia merasakan udara sehagar, melihat pohon tanpa daun berbaris sepanjang jalan yang dileati dan hamparan ruput hijau yang rapih. Menjemput anak adalah waktu jeda dari kebosanan.
Karena rumah adalah kenyamanan, maka rumah adalah sebuah proses pencarian. Me-rumah. Menjadi rumah dalam sebuah proses: adaptasi dan lantas mencintai. Bisa jadi akhirnya membenci. Banyak cerita orang tak betah dan lantas pindah dari satu tempat. Bisa jadi seseorang memilih tinggal di sebuah kontrakan sederhana dan pergi dan bangunan mewah untuk mencari rumah. Mencari rumah kadang seperti mencari jodoh.
Semoga LA segera menjadi rumah dan proses me-rumah kami segera usai.
