Tiga Anak di Tiga Benua
Amartya tiba-tiba bilang begini: “Dad, our family is so unique. I was born in Melbourne, Australia, Neng in Kuningan, Java, Indonesia and Regyan is an American baby.” Ia mengatakan itu ketika saya menjemputnya dan Yarra dari rumah kawan. Selama dua hari mereka diurus kawan karena saya sibuk di rumah sakit mengurus persalinan istri dan kelahiran Regyan.
“It means,” lanjut Amartya “we were born in three different continents, rights?” Saya tak langsung menjawab karena harus lebih berfokus pada persimpangan Sepulveda dan National yang baru saja berubah lampunya menjadi merah.
“Right, Dad?” Seperti biasa, Amartya tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya dijawab.
“Iya, Ka. Terus kenapa?” Jawab saya sambil kemudian bertanya. Saya meliriknya dari kaca spion.
“Indonesia itu Asia. Iya, kan, Ayah?” Jawabnya dalam bahasa Indonesia. Amartya sudah sedikit susah berbicara bahasa Indonesia. Tapi saya selalu memaksanya berbicara dalam Bahasa. Kita punya aturan sejak setahun lalu: jika pergi ke luar rumah, kami berempat wajib berbahsa Indonesia. Saya bilang ke Amartya dan Yarra, bahasa Indonesia jangan sampai lupa karena kamu suatu saat harus pulang kampung. Juga kalau bicara pakai bahasa Indoesia, orang lain tidak faham jadi kita lebih punya privasi.
“Kaka tahu kan Indonesia itu Asia?” Saya balik bertanya. Saya tahu pertanyaannya tadi, seperti biasanya, hanya ingin memastikan.
“Yes, I know.” Dia sedikit terlihat kesal. “Dan Melbourne itu benua Australia. Sekarang Regyan lahir di Amerika.”
Kalau dipikir-pikir, apa yang dibilang Amartya ada benarnya: keluarga kami memang unik. Sebuah keunikan, atau mungkin keistimewaan, yang mungkin jarang didaptkan keluarga lain. Tapi yang lebih unik lagi, sesungguhnya semua ini berjalan tanpa perencanaan. Saya dan istri hanya mengikuti “aliran air.”
Bukan hanya lahir di tiga benua berbeda, ketiga anak kami lahir di tingkat jenjang pendidikan berbeda. Amartya lahir ketika saya baru lulus S1 dan sedang menenpuh S2 di Melbourne. Yarra lahir ketika saya baru selesai S2 di Indonesia. Semoga Regyan menjadi penyemangat dan hadiah bagi pendidikan doktoral saya di UCLA yang sedang saya jalani. Setiap anak adalah anugerah bagi setiap jenjang pendidikan itu.
Uniknya, Amartya dan Regyan lahir di dua rumah sakit kampus, di dua belahan benua yang sangt berjauhan, terpisah samudera Pasifik. Amartya lahir di the Royal Women Hospital, Regyan lahir di UCLA Reagan Hospital. Neng Yarra, lahir di rumah sakit umum swasta di kampung. Ia sering diejek Amartya. Tapi saya selalu bilang: kita kadang tidak bisa minta dimana kita dilahirkan. Dan yang penting bukan dimana dilahirkan, tapi bagaimana nanti menajalani kehidupan.
Jika Amartya lahir sebelum undang-undang kewarganegaraan Australia berubah, mungkin ia, seperti Regyan, sekarang mempunyai dua kewarganegaraan. Tapi ia lahir ketika peraturan tersebut sudah diamandemen dan karena itu Amartya sepenuhnya menjadi warga negara Indonesia. Yarra tentu saja orang Indonesia, orang Sunda, karena ia lahir di kampung kami di Kuningan.
Regyan, sekarang menjadi warga negara Amerika. Berdasarkan undang-undang Amerika, setiap anak yang lahir di wilayahnya secara otomatis menjadi warga negaranya, terlepas status kewarganegaraan orang tuanya. Saya akan segera pula mengurus passport Indonesianya, karena dia juga anak Indonesia.
Sampai 20 tahun kedepan dia tidak perlu risau. Baru pada usia 18 ia harus memilih kewarganegaraan mana yang akan dia ambil. Itupun jika Indonesia pada saatnya nanti tidak juga mengadopsi hukum kewarganegaraan. Saya tahun aturan ini sudah menjadi wacana dan diusulkan di parlemen.
Karena Amartya lahir di Melbourne dan Regyan di Los Angeles, nanti akan sedikit susah bagi mereka melihat ‘kampung’ tempatnya lahir. Sampai sekarang saya belum berkesempatan mengajak Amartya kembali ke Melbourne. Semoga segera ia bisa melihat tanah tempatnya lahir.
Saya juga membayangkan nanti Regyan tidak begitu mudah melihat kampung halamannya. Tentu ini jika saya memutuskan untuk kembali dan menetap di Indonesia. Sampai saat ini saya belum terlalu yakin apa yang akan terjadi selepas sekolah S3 nanti. Saya sangat ingin kembali dan mengabdi. Tapi kadang-kadang kenyataan lebih pahit dari apa yang direncanakan sehingga kita harus pula selalu siap dengan rencana cadangan.
Jika kami menetap di Amerika, misalnya, yang akan sulit melihat kampung halaman adalah Yarra dan Amartya. Jarak yang terpisah 20 jam perjalanan dengan pesawat bukanlah jarak yang bisa ditempuh setiap bulan atau bahkan setiap tahun.
Doa kami selama ini adalah agar Allah memberikan rezeki dan kesempatan bagi kami sekeluarga untuk pada banyak kesempatan kembali lagi ketempat-tempat yang kami singgahi.
Doa kami yang lain: semoga kelak mereka, anak-anak kami itu, bisa menjadi pemersatu dunia karena mereka lahir di tiga benua berbeda!