Menjadi Culturalist bersama Legrand

Dia seorang profesor di Universitas Sorbonne, Perancis dan menjadi ketua jurusan Perbandingan Hukum di universitas tersebut. setahun sekali dia modar-mandir Paris-Melbourne untuk mengajar di fakultas Hukum Universitas Melbourne, tempatku belajar sekarang. Mata kuliah yang dia ajar di sini, tak ragu lagi, adalah Perbandingan Hukum. Mata kuliah ini, sejak awal ketika aku melihatnya di buku panduan mata kuliah hukum, menajadi mata kuliah yang aku nantikan. Bukan hanya karena dosennya yang bagus, tapi juga karena aku merasa punya latar belakang yang relatif mendukung untuk menjajal menjadi ahli dibidang hukum perbandingan. Aku lulus dari fakultas Syariah, UIN Jakarta, jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH). Tentu fokusku ketika belajar di UIN dulu lebih pada perbandingan hukum Islam–lebih tepatnya perbandingan fikih, bukan hukum. Dengan mengambil jurusan ini, aku bisa memperluas wawasan dan pengetahuna tentang perbandingan hukum sistem-sistem pokok dunia–fokus pada sistem hukum Inggris (common law) dan Eropa daratan (continental)

Jangan membayangkan bahwa dengan mengambil mata kuliah ini kita bisa menemukan pasal-pasal hukum yang dibandingkan dengan hukum lain. Katakanlah, misalnya, membandingkan hukum kontrak di Inggris dengan hukum kontrak di Prancis. Atau kita akan disodorkan beberapa sistem hukum setiap bab: hari ini bagian mempelajari sistem hukum Inggris, besok Jerman dan lusa hukum Islam. Bukan perbandingan hukum seperti itu yang dia ampu. Aku juga awalnya mengira demikian. Pengalaman masa kuliah S1 tentu menjadi acuan. Aku membayangkan kelas akan diisi kuliah seperti dulu Bu H menerangkan hukum nikah antara madzhab syafi’i dan Hanafi; hukum waris Islam antar madzhab dan lain-lain. Ternyata bukan, Prof PR lebih fokus pada apa yang aku bilang ‘the ethic of comparation’: bagaimana seharusnya seorang ‘comparatist’ memposisikan diri; apa nilai-nilai yang harus digunakan dan lain-lain.

Setelah 3 hari mengikuti kelasnya, kini aku malah merasa apa yang 3 hari didiskusikan di kelas dengan menarik lebih dekat pada wilayah filsafat hukum. PR yang post-modernis tulen mencoba menawarkan pola ‘bongkar total-pasang ulang’ perbandingan hukum. Dia mengaku diri sebagai pengkritik ulung ortodoksi perbandingan hukum. Semua perdebatan di kelas berkutat pada perdebatan antara kaum universalis dan culturalis, antara modernisme dan post-modernisme, antara positivis dan interpretasionis. Sedikit sekali menyinggung pasal-pasal hukum. Paling dikutip sesekali untuk menunjukan sebuah contoh dari perdebatan di tingkat filosofis.

PR berangkat dari pemaparan seputar pandangan yang mapan dalam perbandingan hukum. Pendapat orthodoksi ini, kalau mau disimplifikasi, berpuatar pada aplikasi logika cartesian dalam perbandingan hukum. Ini adalah model positivisme hukum yang menganggap tugas seorang pembanding hukum sama seperti fisikawan atau ahli biologi. Tugas utamanya menemukan objektivitas yang ada di luar sana. Jika sudah ditemukan, nisacaya, menurut sang positivis, akan berlaku sebuah universaisme hukum. Atau semacam univikasi hukum. Positisvis yakin, terutama dalam hukum privat, meskipun di permukaan seolah-olah banyak hal berbeda, sesunggunya hukum-hukum itu ‘convergent’. Positivis maju lebih jauh dengan mengatakan: jika setelah melakukan sebuah penelitian terhadap hukum-hukum itu sang peneliti tidak menemukan persamaan atau ‘common similarity’, maka dia harus memeriksa ulang apakan metodologinya benar atau tidak, apakah ada yang salah dengan data dan lain-lain.

Secara metodologis, positivis adalah penganut utama doktrin fungsionalisme, sebuah doktrin dalam perbandingan hukum yang di lahirkan oleh Hein Kotz dan Konrad Zweigert, dua orang profesor di Institute Max Planck, Jerman. Fungsionalisme dalam perbandingan hukum kurang lebih beranggapan bahwa jika pun dalam dua sistem hukum berbeda kita tidak menemukan persamaan, pada tingkat fungsi pasti terdapat kembarannya di masing-masing sistem hukum tersebut. Alasan huku, atau ratio decidendi dalam sistem Hukum Inggris, sebagai contoh, tentu berbeda dengan ilat hukum dalam hukum Islam. Tapi di mata postivis, ratio decidendi sama atau ‘convergent’, setidaknya dalam tataran fungsi, dengan ilat. Keduanya adalah acuan bagi berlakunya sebuah putusan hukum.

Positivisme ini dalam ilmu perbandingan hukum, juga dalam disiplin ilmu lain, menajadi pandangan arus utama. Kotz dan Zweigert menjadi semacam batu pijakan buat para positivis lain untuk mengembangkan cara pandang positivisme perbandingan hukum. Meski contoh yang sering dipakai untuk memebuktikan kesamaan, konvergensi, universalime hukum oleh Kotz berputar pada hukum yang ‘paling sedikit unsur politiknya’, yakni hukum privat, para pengikutnya mengembangkan lebih lanjut.

Pengikut positivisme perbandingan hukum yang terkenal salah satunya adalah Alan Watson. Aku merasa perlu menyebutkan nama Watson karena nama ini tenar sebagai penggagas ide ‘legal transplant’. Aku mengenal ide lagal transplant ini ketika ikut kuliah Hukum Islam dan Politik di Asia di kelas Pak Tim. Legal transplant, intinya, ingin bilang bahwa hukum adalah sebuah entitas yang relatif otonom dari budaya. Hukum muncul bukan karena budaya melahirkannya. Hukum berubah, lahir kembali, maju karena dirubah oleh para pihak yang terlibat dengan hukum; pengacara, hakim, jaksa polisi, orang yang berperkara dan lain-lain. Katakanlah, hukum berubah karena elit hukum merubahnya. Kalaupun hukum menyatu dengan budaya, maka budaya yang dimaksud adalah budaya hukum.

Karena hukum relatif otonom dari budaya, maka hukum bisa dengan mudah di pindahkan dari pot budaya satu ke pot yang lainnya. Bisa dicangkokkan ibarat pohon. Watson mengambil contoh, lagi-lagi, hukum privat. Namun yang paling kasat mata adalah hukum konstitusi. Hukum kontitusi, kurang lebih, memeiliki banyak sekali kesamaan di hampir setiap sistem hukum. Sebagai contoh: setiap warga negara punya hak menguji secara konstitusional keabsahan sebuah produk undang-undang yang telah disahkan oleh dewan. Prancis, negara yang awalanya tidak membolehkan pengujian undang-undang yang telah disahkan, kini juga membolehkannya. Untuk hukum konstitusi ini, Vicki Jackson pantas kita jadikan referensi sebagai tokoh penting positivisme perbandingan hukum.

PR datang dari pinggiran. Kritiknya bisa ditebak tentu: keberatan terhadap positivisme hukum ini. Hukum bukan batu, atom atau tumbuh-tumbuhan. Gaya potisitivisme dalam perbandingan hukum bukan hanya tidak akan memuaskan dalam melakukan perbandingan hukum, tapu juga positivisme telah melakukan ‘kejahatan’ dan ‘kekerasan’ terhadap hukum. Keberagaman dipaksakan untuk sama oleh si pembandingan. Fakta keberagaman dihilangkan dan hanya data-data yang mendukung ‘keseragamaan’ inilah yang di ambil. Realitas dipaksakan masuk ke dalam kerangka ideologi si pembanding.

PR masuk dari perdebatan yang lebih filosofis tentang penghormatan pada ‘yang lain’ (the other). PR beranggapan, karena diri kita adalah bukan yang lain, maka kita tidak bisa menjadi yang lain. Bahkan lebih jauh dia bilang bahwa karena kita bukanlah orang lain, bahkan komunikasipun akan menemukan jalan buntu. Kita tidak bisa memahami yang lain. Kita hanya bisa menghormati yang lain. Namun, kata PR, posisi ini tidak serta merta menjadi dasar pessimisme. Justru ini hanyalah pengingat agar kita selalu realistis dalam memahami dan berhadapan dengan ‘yang lain’. Dalam prakteknya, yang kita bisa lakukan adalah berusaha sebisa mungkin mendengar dan membiarkan ‘yang lain’ hadir dalam diri kita.Biarkan objek berbicara. Usahakan kita seolah berdiri di dalam posisi mereka. Meski, kata dia, tetap pada ujungnya kita tidak bisa lepas dari penggambaran ulang (re-presentasi) objek melalui diri kita. Namun setidaknya kita telah berusaha membuat ‘yang lain’ hadir dan berbicara.

Dus, dalam kacamata sang ‘culturalist’ tujuan dari perbandingan hukum bukan untuk mencari hukum objektif persamaan dalam sistem hukum yang ada, namun justru untuk merayakan perbedaannya. Kalau perbandingan justru mencari konvergensi dan berkesimpulan bahwa hukum ini dan hukum ini sama, buat apa ada perbandingan hukum? Bukankah perbandingan selalu niscaya membandingkan dua hukum yang berbeda. Begitu kata PR.

Secara pribadi aku melihat bahwa dari segi perdebatan akademis dan moral, apa yang di usung para ‘culturalist’ cukup meyakinkan dan menenangkan. Namun ini bukan tanpa malalah. Bagaimana jika ‘yang lain’ itu adalah ‘yang lain’ yang jahat. Katakanlah: bagaimana sikap para ‘culturalist’ terhadap sebuah hukum yang memblolehkan pembantaian atau pembunuhan–dihalalkannya terrorisme  dan bom bunuh diri, pembersihan etnis pada zaman nazi sebagai contoh?. Bagaimana jika ‘yang lain’ hadir justru untuk meniadakan keberagaman (pluralisme)? Bagaimana sikap sang culturalis terhadap budaya yang hidup subur dalam iklim pluralisme namun ingin membunuh atau menghilangkan pluralisme? Untuk lebih jelas, misalkan begini; bagaimana kita bersikap terhadap Hizbut Tahrir yang hidup subur dalam iklim pluralisme demokrasi namun justru ingin menghilangkan demokrasi dan menggantikannya dengan hukum lain (khilafah?). Bagaimana sikap kita?

Aliran culturalist juga menemukan masalah dalam hal praktis. Ujung-ujungnya kita harus melakukan ‘penyamaan’. Unifikasi hukum tak terhindarkan. Bukankah hukum hadir untuk sebuah kepastian dan keajegan? Untuk sebuah kepastian dan keajegan, setiap orang harus sepakan pada sebuah aturan. PR, menjawab dengan mudah: itu bukan tugas saya sebagai pembanding hukum. Tugas utama si pembanding hukum hanya memaparkan hukum, menerangkan, menjelelaskan dan membiarkan ‘yang lain’ berbicara. Itu saja. Fakta bahwa harus ada eksekusi di suatu saat

Melbourne, April 2010

Leave a Reply