Mengenang Cak Nur
Oleh: Zezen Zaenal Mutaqin
–Tulisan ini aku buat tanggal 31 Agustus 2005, dua hari setelah kematian Cak Nur dalam sebuah blocknote. Aku merasa harus memindahkannya ke komputer–
Dua hari lalu Cak Nur meninggalkan kita. Kepergiannya menyebabkan tetesan air mata tumpah di mana-mana. Cak Nur meninggal dunia pada saat yang tidak tepat: saat BBM melambung tinggi mencekik rakyat, saat korupsi semakin tak kunjung juga bisa diberantas, saat kondisi semakin terpuruk. Seandainya saya bisa bertatap muka dengan Tuhan, saya akan usul padanya agar catatan takdir dirubah: umur Cak Nur ditambah. Atau seandainya saya menjadi Sun Go Kong, sang monyet nakal dari legenda Cina yang datang ke tempat takdir dibuat dan kemudian mengacak-ngacak semaunya, saya pasti akan mengganti takdir Cak Nur agar hidup lebih lama agar dia bisa terus memberikan masukan untuk perbaikan bangsa.
Tapi itu semua hanyalah mimpi. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menerima kenyataan: Cak Nur dipanggil Kekasihnya. Dia tidak mati. Seperti sering diungkapkannya pada kita sebelum dia pergi. Dia hidup di alam lain dengan lebih kekal dan lebih bebas. Kematian adalah kebangkitan. Mati ibarat bangun dari mimpi. Hidup ini sendiri seperti mimpi. Ketika kita mimpi, kita tidak sadar bahwa kita sedang mimpi. Mimpi begitu real, begitu nyata. Dalam mimpi, kita hadir sebagai sosok bertulang berdaging, berperasaan lengkap layaknya seperti terjaga. Kita sadar itu mimpi ketika kita bangun. Mimpi begitu singkat. Hidup ini seolah begitu real, begitu nyata. Namun ketika kita mati, sama ketika ketika terbangun dari mimpi, kita akan menemui alam lain yang mugkin lebih nyata dan abadi. Jadi, yakinlah Cak Nur tidak mati, dia pindah hidup di ruang alam lain yang lebih bebas dan damai.
Saya merasa begitu dekat dengan Cak Nur. Kedekatan itu terbentuk satu arah tentunya: aku yang dekat padanya, dia tentu tidak. Aku merasa dekat karena aku begitu dipengaruhi pemikiran dan ide-idenya. Semanjak kedatanganku di Ciputat sekitar enam tahun lalu, bayang-bayang Nurcholish Madjid terus membayangi. Awalnya aku penasaran karena namanya sering disebut-sebut oleh senior-senoirku, terlebih setelah aku bergabung di HMI. Rasa penasaran itu kemudian membawaku menemui pemikirannya melalui sejumlah buku. Mengagetkan dan menantang, itulah kesan pertamaku dulu membaca sejumlah karyanya. Bagi seorang yang baru keluar dari kungkungan dunia pesantren, membaca pemikiran Cak Nur serasa terlibat dalam sikap subversif. Aku diajar olehnya bagaimana menggugat pikiranku sendiri yang selama di pesantren terlalu doktriner dan normatif. Kata-kata “sekuler” yang semenjak dipesantren menggelayut di kepalaku dengan penuh kecurigaan dan sedikit ketakutan, tiba-tiba dibela Cak Nur. Itulah perkenalan awalku dengannya. Mengagetkan dan penuh tanda tanya.
Pertemuanku secara peribadi dengan beliau hanya sekali, sekitar tiga atau empat tahun silam. Saat itu aku menjadi ketua pelaksanaan Ahmad Wahib Award, lomba esai yang kubuat (ketika menjadi Kabid PA HMI Cab. Ciputat) dengan Akhmad Sahal (seniorku di Formaci yang saat itu ditunjuk Rizal Mallarangeng menjadi deputi direktur Freedom Institute) untuk mahasiswa seluruh Indonesia dan berhadiah 30 juta—hadiah yang saat itu dianggap tidak wajar karena terlalu besar. Untuk kepantingan lomba itu, aku, Sahal, Mas Hamid dan Mas Ulil, juga pak Rizal, datang kerumahnya di Cibubur. Kunjungan itu adalah rangkaian kunjungan ke sejumlah tokoh yang pernah aktif berinteraksi dengan mendiang Wahib semasa hidupnya. Aku yang mengusulkan kunjungan ke rumah Cak Nur saat itu ke Sahal. Aku merasa, Cak Nur harus ditemui untuk dimintai pendapatnya, juga sekaligus sowan dan meminta cerita tentang persahabatannya dengan Wahib.
Rombongan dari Freedom datang dirumahnya yang sangat sederhana di kawasan perumahan di Cibubur menjelang Isya. Aku sedikit kaget karena tidak menyangka rumah Cak Nur, tokoh nasional yang disegani oleh banyak orang, begitu sederhana. Pas kami datang, kebetulan di rumahnya juga telah hadir sejumlah tokoh lintas agama yang hadir untuk sekedar berslaturahmi dan meminta pendapat Cak Nur tentang kegiatannya. Juga kebetulan saat itu ada Mas Djohan Efendi yang memang konsern terhadap isu kerukunan umat beragama dan aktif di ICRP. Aku tahu Djohan juga adalah kawan dekat Wahib, bahkan mungkin lebih akrab ketimbang Cak Nur. Djohan semasa menjadi aktivis HMI dulu tinggal di Yogya bersama Wahib. Sementara Cak Nur tinggal beberapa ratus kilo meter dari Wahib karena ia tinggal di Ciputat. Obrolan malam itu tentu akan berjalan dengan hangat dan menarik.
Saat itu aku baru semester delapan. Masih sangat muda. Dan karena itu dalam pertemuan itu lebih banyak diam. Aku dikenalkan oleh Sahal setelah dia basa-basi pada Cak Nur tentang lomba esai AWA. Dalam pertemuan itu Cak Nur bercerita pengalaman pribadinya dengan Wahib. Ia berterus terang bahwa dirinya tidak terlalu akrab secara personal dengan Wahib. Alasannya, kata dia, karena mereka beraktifitas di dua tempat yang lumayan jauh. Cak Nur di Ciputat dan Wahib di Yogya. Meskipun begitu, kata dia, ia sering bertemu dan terlibat diskusi hebat dengan Wahib pada momen perkaderan di HMI. Terlebih setelah Cak Nur menjadi ketua PB HMI dan harus lebih banyak berkunjung ke daerah-daerah. Orang seperti Dawam dan Solarso sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan Wahib, kata Cak Nur. Tetapi terlepas dari semua hal itu, Cak Nur merasa sangat senang dan mendukung kegiatan nasional itu.
Informasiku mengenai keterlibatan Cak Nur dan Wahib justru lebih banyak aku dapatkan dari buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang diterbitkan LP3ES. Wahib sering terlibat polemik dengan Cak Nur dalam perdebatan-perdebatan pada forum perkaderan HMI. Keduannya sering berbeda pendapat. Mungkin mereka berbeda pendapat bukan hanya karena secara subtantif mereka berbeda pandangan, tetapi ego gerbong HMI juga menyertainya. Cak Nur adalah pentolan gerbong Intelektual Ciputat, sementara Wahib, Djohan dan Dawam adalah lokomotif gerbong intelektual HMI Yogya. Di samping itu ada juga gerbong Bandung yang diwakili Endang Saefudian Ansari dan Kang Imad c.s. Tetapi justru perdebatan intelktual dengan aroma persaingan antar gerbong intelektual iniah yang membuat HMI tumbuh sebagai organisasi intelktual yang disegani. Meraka berebut pengaruh di hati para kader. Konon—aku tidak tahu persis kebenarannya, namun cerita ini banyak beredar di kalangan teman-teman HMI—puncak perdebatan itu terjadi ketika Cak Nur dan Wahib c.s sama-sama mengajukan draf ideologi perkaderan yang sekarang dikenal dengan NDP. Draft itu sendiri lahir setelah kunjungan Sularso ke Berlin sekitar satu bulan. Pada saat yang bersamaan Ca Nur juga mendapat kesempatan kunjungan ke Amerika, juga selama satu bulan. Dari kunjungan itu, Sularso membawa oleh-oleh buku kecil yang biasa dipakai sebagai pegangan perkaderan Partai Sosialis Jerman. Buku itu judulnya adalah—kalau tidak salah—Fundamental Value of Socialist Democratic Party. Buku itulah pula yang menginspirasi para aktivis HMI untuk membuat rumusan ideologi bagi perkaderan di HMI. Namun nilai-nilainya harus digali dari Islam sebagai akar organisasi, bukan dari ajaran sosialisme sebagaimana buku itu. Maka dibuatlah tiga rencana kerja oleh beberpa orang aktivis HMI saat itu. Tiga usulan itu adalah: membuat nilai-nilai dasar yang akan dijadikan pegangan organisasi (rumusan ideologi); membuat rumusan kebutuhan mendasar bangsa Indonesia versi HMI yang harus segera dipenuhi agar bengsa ini lebih maju; dan merumuskan langkah-langkah yang sifatnya lebih operasinal.
Tiga tugas itu di distribusikan pada tiga kelompok, yakni kelompok yang dipimpin oleh Cak Nur untuk mengerjakan tugas pertama, kelompok yang dipimpin oleh Sudjoko Prasojo—ayah Imam Prasojo—untuk tugas kedua, dan kelompok yang dipimpin oleh Sularso untuk menyelesaikan tugas ketiga. Dalam sejarah perumusan Nilai Dasar Perjuangan organisasi itulah konon Cak Nur dan Wahib terlibat polemik. Menanggapi usulan Cak Nur, Wahib menganggap rumusan itu terlalu normatif dan berbau fundamentalisme. Wahib memang dianggap lebih liberal ketimbang Cak Nur. Aku tdiak tahu detail perdebatan itu. Tadinya aku bermimpi untuk menanyakannya langsung pada Cak Nur, namun dia keburu pergi. Meskipun begitu, aku masih bisa mengetahui detail perdebatan itu melalui Dawam dan Djohan. Keduanya masih sehat. Suatu saat aku harus bersilaturahmi dengan beliau-beliau yang sudah sepuh itu.
Di akhir pertemuanku di rumah Cak Nur di Cibubur dengan rombongan dari Freedom aku dan Ipud—tadi aku tidak sebuat dia, lupa, dia ikut juga dalam rombongan itu mewakili ketua cabang—berbicara sebentar tentang kondisi PB yang baru saja pecah ke dalam kedua kepeminpinan. Saat itu PB pecah dalam dua kubu yang sama-sama menganggap dirinya legitimate, yakni kubunya Mukhlis Tapitapi dan Kholis Malik (Kholis yang terpilih di kongres). Berbarengan dengan konflik di tubuh HMI yang tidak kian mereda setelah perpecahan itu, Cak Nur, begawan HMI memaklumatkan sebaiknya HMI dibubarkan saja. Pernyataan itu menyesakan banyak orang. Betapa tidak, Cak Nur selama ini dikenal sebagai orang yang tumbuh besar di HMI. Orang HMI seutuhnya samapai tulang sumsumnya. Cak Nur tentu tidak sepenuhnya berminat membubarkan HMI. Itu hanya terapi kejutan agar anak-anak di HMI mau berfikir dan merasa malu oleh umat karena konflik tidak kunjung reda.
Cak Nur saat itu sangat marah pada KAHMI yang masih senang mengadu domba adik-adiknya untuk kepentingan pribadi. Secara eksplisit dia mengemukakan nama seorang KAHMI, dan mengatakan mungkin dia biang keladinya semua perpecahan ini. Dengan terus terang dia mengatakan pada kami bahwa dia tidak senang pada orang itu. Diakhir obrolan itu Cak Nur memberikan wejangan agar terus bersemangat membangun organisasi dan terus konsisten dengan perjuangan moral dan pembentukan kekuatan intelaktual, bukan kekuatan politik.
Rupanya tak ada lagi pertemuan secara personal dengan beliau setelah itu. Itulah pertemuan pertama dan terakhir. Tiga tahun setelah pertemuan itu Cak Nur meninggal. Meski aku merasa sangat kehilangan, aku masih bisa merasa bahagia, aku pernah berbicara secara pribadi dengannya. Dan pertemuan itu sangat berkesan.
Meskipun jasadnya sudah tidak ada, Cak Nur tetap hadir diantara pertemuan-pertemuan kita, tetap hadir di antara pengajian-pengajian, latihan-latihan kader, dan tulisan-tulisan kita. Ia akan abadi hidup bersama kita. Itulah kelebihan orang yang berilmu dan memanfaatkan ilmunya buat umat. Umurnya akan panjang.
Kepergiannya 29 Agustus silam seperti kelahiran baru bagiku. Kepergianya tiba-tiba menumbuhkan tekad yang begitu kuat di hatiku: aku hars seperti dia, bahkan lebih. Aku harus meneruskan perjuangannya. Aku harus meniru sifat konsistennya pada kejujuran, keadailan dan kebenaran serta kesederhanaan. Takad itu semakin kuat setelah aku menyadari keberadaanku saat ini di HMI. Cak Nur dulu berangkat memperbaiki umat dan memberikan sumbangan pada bangsa dari HMI. Pada kondisi HMI yang semakin terpuruk secara intelktual, aku merasa terdorong untuk menghidupkan semangat intelektualisme HMI yang dulu ditabur Cak Nur. Dulu pun, seperti dia, ia menaburkan benih intelektulalisme dari Ciputat.
Selamat jalan Cak Nur. (Versi asli naskah catatan harian ini masih panjang, aku capek melanjutkanya. Mungkin lain kali.)
Ciputat, 31 Agustus 2005