Menembus Bintang Alhambra

Oleh: Dirga Maulana

(Dimuat di http://www.rmol.co/read/2014/02/21/144777/Menembus-Bintang-Alhambra-)Image

Judul Buku  : Bintang di Atas Alhambra
Penulis        : Ang Zen
Negara        : Indonesia
Bahasa        : Indonesia
Genre          : Novel petualangan
Penerbit       : Bunyan, Kelompok Bentang Putaka
Terbit           : November 2013
Halaman      : x, 358
ISBN            : ISBN 978-602-7888-86-9

MEMBACA Bintang Di Atas Alhambra (BDA) seperti membaca rangkuman tiga novel sekaligus: Laskar Pelangi, Negeri Lima Menara dan 99 Cahaya. Novel ini dimulai dari kisah yang terkesan sedikit klise: sukses bisa diraih oleh siapa pun yang ingin meraihnya, termasuk oleh seorang anak kampung yang hanya bermodal mimipi setinggi langit.

Dimulai dari sebuah desa kecil di Kuningan, Jawa Barat, kisah novel ini berakhir di sebuah kota di semenanjung Iberia, tepatnya di Granada, Andalusia Spanyol.

Seperti layaknya novel-novel lain, BDA sepertinya ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya. Semacam otobiografi. Kelebihan novel jenis ini adalah kuatnya pengalaman batin penulis dan kedetailan yang membuat kita seolah-olah bersama tokoh utama mengikuti petualangannya.

Novel ini mengisahkan seorang anak kampung bernama Iip yang berutung bisa mewujudkan mimpinya sekolah di universitas ternama di Melbourne, Australia dan lantas bersama sahabat baiknya berkelana ke Eropa. Gabungan secara sekaligus latar perkampungan kecil di bumi Parahyangan, kehidupan metropolitan Melbourne dan Eropa mengingatkan pembaca pada novel petualangan semisal 99 Cahaya di Langit Eropa. Bedanya, dalam novel ini pembaca dibawa berputar dahulu ke Australia sebelum akhirnya singgah di Eropa, terutama di Andalusia, Spanyol.

Dalam novel ini penulis mengisahkan hidupnya di pesantren tradisional. Cerita di pondok tradisional selama ini belum banyak diangkat ke dalam cerita. Ahmad Fuadi telah berhasil dengan sangat memukau menceritakan kehidupan di pondok pesantren modern dalam Negeri Lima Menara. BDA sebenarnya sudah lumayan berhasil menggambarkan kehidupan pesantren tradisional. Namun sayangnya, mungkin karena keterbatasan ruang, novel ini hanya singgah saja dalam kehidupan pondok untuk menggambarkan sedikit latar belakang sang tokoh utama, Iip.

Novel inspiratif ?

Meskipun sebuah cerita bisa menjadi inspirasi bagi pembacanya, tak adil rasanya jika kita menilai karya sastra dari sejauh mana karya ini memberi inspirasi atau tidak. Namun diakui atau tidak, genre ‘novel inspiratif’ ini belakangan menjadi trend di dalam khasanah dunia buku di Indonesia. Hampir semua novel laris menyuguhkan cerita-cerita yang dianggap bisa memberikan motivasi dan inspirasi bagi pembacanya.

BDA sepertinya dalam beberapa hal ‘terjebak’ ke dalam trend besar ini. Tanpa mengurangi kenikmatan membaca kisah-kisah yang haru dan lucu di dalamnya, BDA sepertinya terjebak oleh trend pasar yang membuat ceritanya harus dibuat inspiratif. Jika pembaca jeli, mestinya konflik antara Iip, sanga tokoh utama, Lisa Gomez, sahabat Iip yang menemani petualangannya berkelana ke Eropa dengan Mira Asmarandana, istri Iip, bisa diperuncing menjadi sebuah drama yang lebih mendebarkan. Namun rupanya Ang Zen, sang penulis, tak mau membawa alurnya ke arah itu. Alih-alih, dia hanya dengan malu-malu menunjukan konflik ini.

Dengan menyuguhkan kisah sebuah keluarga muda yang hidup di luar negeri karena Iip harus sekolah, sebenarnya novel ini sudah berhasil keluar dari kebiasaan novel lain yang selalu menyuguhkan romansa atau petualangan muda-mudi lajang. Namun sayang konlik rupanya sengaja dihindari, atau tidak ditonjolkan dalam novel ini. Memang kita bisa melihat konflik batin Mira yang selalu cemburu pada Lisa yang sering bersama suaminya. Atau konflik batin Iip yang harus menjaga persahabatan tak melangkah lebih jauh. Namun lagi-lagi, mestinya konflik bisa diperuncing agar lebih mengharu-biru.

Alhambra

Ketika pertama melihat sampul novel ini, orang akan langsung  tertarik dengan kata Alhambra. Apa gerangan Alhambra? Sepertinya kata ini dipilih dengan sengaja untuk menarik pembaca. Dan menurut saya, usaha ini lumayan berhasil. Ang Zen berhasil mengangkat misteri istana super megah yang telah lama terpendam dalam sejarah Islam ke hadapan pembaca.

Iip sejak di pondok selalu disuguhi cerita kejayaan masa lalu agamanya di semenanjung Iberia, Spanyol sekarang. Mimpi untuk bisa melihat istana termegah dan penuh misteri ini membawanya berpetualang ke Eropa dan Spanyol. Dia tak sendiri. Ada Lisa Gomez, sahabatnya yang ia jumpai di Melbourne, yang juga mempunyai mimpi yang sama. Lisa Gomez adalah seorang gadis dari Santiago, Chili yang ingin mengunjungi negeri tempat kakek buyutnya berasal: Spanyol. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Komarudin Hidayat, aspek inilah yang membuat novel ini menarik: petualangan dua orang dari dua tradisi dan dua belahan dunia berbeda untuk berkunjung ke satu tempat yan sama: Alhambra! Novel ini tak hanya berhasil menelusuri khasanah sejarah Islam, tetapi juga sejarah Kristiani

Dalam petualangan menuju Alhambra inilah Ang Zen membawa pembaca pada diskusi sejarah yang kadang-kadang mengejutkan pembaca seperti kisah tentang Snouck Hurgronje, asal usul hukum internasional dan lain-lain. Tepat disinilah saya kira kelebihan BDA dari novel lain yang saya sebutkan di atas. Tetapi memang harus diakui, buat pembaca kadang data-data sejarah ini bisa sedikit membosankan, meski penulis telah berusaha keras meramunya dalam bahasa yang mengalir dan hidup.

Tetapi jangan khawatir, novel ini menyuguhkan juga cerita lucu dan kadang konyol. Ang Zen rasanya berhasil membuat ibu-ibu terharu ketika bercerita tentang pengalaman istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit di Melbourne. Saya juga sangat terkesan dengan kisahnya terdampar di Utrecht dengan hanya mengenakan kolor.  Sungguh lucu dan haru.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangnnya saya rasa BDA bisa menjadi bacaan menarik dan cerdas, selain kaya. Selamat membaca! [***]

Dirga Maulana
Penikmat Novel dan aktif di Forum Studi Media (FSM)

2 Comments

Leave a Reply