Di Mana Indonesia? Tentang Gejala Krisis Indentitas anak-anak Indonsia di Luar Negeri.

Anak-anak saya tentu saja belum bisa menulis. Kalaupun bisa, Amartya lebih mahir menulis dalam bahasa Inggris. Kata gurunya di sekolah Clover Ave, Amartya punya bakat menulis. Ia sudah pandai membuat sebuah cerita sederhana dengan runut dan dengan argumen yang kuat. Satu esainya pernah ditunjukan kepada saya: Why fried rice for lunch. Dalam esai itu Amar mengusulkan agar memasukan menu nasi goreng ke menu makan siang di sekolahnya. Memang selama ini ia sering mengeluh dengan menu makan siang di sekolahnya yang itu-itu saja: pizza, sandwich, noodle, sesekali ayam goreng. Hampir tidak pernah ada menu nasi.

Di sini perasaan saya ambigu. Di satu sisi saya merasa prihatin karena sebagai orang Indonesia, mestinya anak-anak saya lebih mahir menulis dalam bahsa Indonesia. Di sisi lain, jika saya ingat bagaiman susahnya berjibaku belajar bahasa Inggris, saya merasa bangga melihat pada usianya Amartya sudah bisa menulis dalam bahasa Inggris dengan baik. Saya juga senang karena ia tetap lebih memilih nasi goreng daripada pizza atau sandwich.

Amartya dan Yarra adalah gambaran ratusan ribu mungkin jutaan anak-anak Indonesia yang tumbuh bukan di ‘rumahnya’ sendiri. Mereka anak-anak yang tumbuh secara hybrid. Lingkungan sekitarnya sama sekali berbeda dengan apa yang mereka alamai di dalam keluarganya. Di rumah kami paksakan tetap berbahasa Indonesia; memakan menu Indonesia; berprilaku Indonesia; berpakaian Indonesia. Di luar, anak-anak berbahasa Inggris dengan budaya lingkungan yang sepenuhnya berbeda, dari mulai prilaku, makanan sampai busana.

Buat anak-anak generasi kedua dan ketiga yang lahir dari keluarga Indonesia di luar negeri, tantangan ini adalah pertempuran dua tarikan tanpa henti. Di satu sisi mereka ingin terus mewariskan identitas orang tua mereka yang rata-rata lahir dan tumbuh di Indonesia. Di sisi lain, mereka harus secepat mungkin beradaptasi dengan tempat baru karena tanpa itu sulit rasanya mereka terus bertahan.

Beberapa kelompok masyarakat seperti Tionghoa, Meksiko dan Korea di tempat kami hidup di Los Angeles, berhasil hidup di atas dua budaya secara relatif lebih seimbang. Penyebabnya mungkin karena secara komunal mereka cukup banyak sehingga secara sosial setiap anak yang lahir tumbuh di dua lahan yang sama-sama subur. Tersedia sumber nutrisi budaya yang cukup bagi mereka untuk tumbuh. Kelompok imigran yang jumlahnya tidak terlalu banyak dan tidak bisa membentuk identitas komunal yang solid, nasibnya selalu berujung pada asimilasi: perlahan menanggalkan budaya orangtuanya dan mengadopsi budaya tempatnya tumbuh.


Selama tiga tahun di Los Angeles, setiap sabtu sore saya dan keluarga selalu menyempatkan berkumpul dengan komunitas Indonesia di Mesjid yang baru dibeli di kawasan Kampung Korea. Di dalam setiap pertemuan itu saya melihat dengan jelas proses hilangnya identitas dan budaya Indonesia.

Kami, para orang tua, bisanya berkumpul di meja memanjang di ruang tengah setelah shalat. Sementara anak-anak mengaji atau bermain di ruang lain. Kami para orang tua duduk sambil menyantap makanan Indonesia yang selalu dibawa oleh warga secara suka rela. Sambil menyantap itu, kami bercertia masa lalu: main di sawah, mencari ikan, bermain layangan, bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk, lomba-lomba Agustusan dan lain-lain. Sesekali kami bicara politik dalam negeri terutama karena saat itu menjelang pemilu.

Di sisi lain, saya mendengar celotehan anak-anak, selalu dalam bahasa Inggris, berbicara sesuatu yang sepenuhnya lain: game terbaru, musik hip-hop, sesekali berseloroh kasar dalam bahasa Inggris. Jika salah satu anak menghampiri orang tua mereka, orang tuanya akan berbicara dalam bahasa Indonesia, sementara anaknya akan menjawab dalam bahasa Inggris. Makanan mereka juga sudah hampir sepenuhnya Amerika.

Anak-anak itu, seperti juga anak saya, perlahan namun pasti terbawa pada arus menjauh dari budaya orang tuanya. Hal itu tidak sepenuhnya keliru. Tapi yang menjadi soal, anak-anak imigran generasi kedua dan ketiga selalu dihinggapi krisis identitas. Saya mendengar cerita beberapa anak dari orang tua yang sering kumpul di mesjid itu mengalami krisis. Misalnya mereka menjadi sepenuhnya benci dengan semua yang berbau Indonesia dan Islam, bahkan tidak mau berbicara dalam bahasa orang tua mereka. Mereka merasa bukan lagi Indonesia, tapi juga belum sepenuhnya Amerika. Karena itu mereka merasa harus sepenuhnya loncat menjadi Amerika dan menanggalkan apa-apa yang berciri Indonesia.

Beberapa orang tua yang peduli dan kebetulan mampu, biasanya mengirim anak mereka selama musim panas ke Indonesia. Selain bertemua nenek-kakek dan saudara-saudaranya, mereka juga disuruh mengenal budaya dan terutama memperlancar bahasa Indonesia. Tapi tidak banyak yang mempunyai kemampuan seperti itu karena biaya perjalan ke Indonesia cukup mahal.

Yang juga disayangkan, kesadaran melestarikan budaya Indonesia, minimal bahasanya, di sini cukup rendah, setidaknya jika dilihat secara komunal. Mungkin di masing-masing rumah mereka, seperti saya, mereka berusaha berbahasa Indonesia dan menurunkan budaya orang tua mereka sebisa mungkin. Namun budaya bukan semata urusan keluarga. Budaya adalah urusan bersama. Tanpa pendukung sosial yang kuat, sulit rasanya keluarga-keluarga itu bertahan. Paling jauh praktik itu akan bertahan selama orang tua generasi pendatang masih hidup. Setelah generasi pertama hilang, budaya, bahasa, dan cara-cirinya akan juga pergi.

Seharunya kelompok pertemun bersama seperti mesjid dan gereja menjadi gudang dan benteng tempat budaya Indonesia disimpan, dilestarikan dan karena itu bertahan. Syukur kalau bisa tumbuh. Jika komunitas lain bisa, kenapa komunitas Indonesia tidak bisa? Hal-hal sederhana bisa dilakukan. Misalnya, dalam setiap pertemuan internal seperti pengajian dengan anak-anak, selain makanan-makana yang selalu ada itu, komunikasi pengantar diwajibkan dalam bahasa Indonesia. Toh, bukankah setiap hari mereka berbicara dengan ibu-bapak mereka dalam bahsa Indonesia? Lantas kenapa pengajian dengan anak-anak harus dalam Bahasa Inggris.

Saya ingin tutup tulisan ini dengan cerita sederhana. Dua minggu lalu kami datang membawa Regyan, anak bungsu yang baru lahir bulan lalu, ke dokter anak di kampus UCLA. Setelah 10 menit menunggu, seorang dokter datang ke ruangan kami. Mukanya cukup familiar karena rupanya ia juga yang biasa memeriksa Amartya.

Setelah memeriksa Regyan dan mengatakan semuanya baik-baik saja, kami ditraining singkat tentang bagaimana merawat dan berkomunikasi dengan bayi. Lalu dia bertanya: “kalian di rumah memakai bahasa apa?”

Setelah sebentar saya dan istri saling memandang, saya menjawab: “campuran antara Bahasa Indonesia dan Inggris”.

Dia terus menjawab: “jika kalian datang dari keluarga dengan bahasa ibu selain Inggris, lebih baik sedini mungkin mengajak bicara anak dalam bahasa kalian. Ajak dia bicara terus. Bahasa Inggris, jika kalian akan tinggal di Amerika, tidak perlu dipelajari karena dengan sendirinya mereka akan bisa berbicara dalam bahasa itu. Bahasa kamu, bahasa ibumu, kata dokter itu, akan hilang jika tidak dari awal diajarkan kepadanya.”

Sang dokter lantas berbicara pengalaman keluarganya, imigran dari Tiongkok dan kawannya orang Meksiko, yang berhasil tumbuh dalam dua bahasa dan budaya.

Budaya dan bahasa adalah sesuatu yang teramat berharga jika hilang karena dalam kedua institusi itu, warisan beradaban leluhur diawetkan. Budaya dan bahasa adalah proses investasi beradab-abad. Tugas kita meneruskan budaya itu kepada generasi berikutnya.

Salam dari Los Angeles. Merdeka!

Leave a Reply