Cerita Soal PhD Linglung
Sebagai mahasiswa Ph.D saya sering merasa ‘linglung’, ‘disoriented’ dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kondisi ini kadang berlangsung seharia atau dua hari, tapi kadang bisa berlangsung lebih lama. Pekerjaan menjadi mahasiswa penuh waktu menuntut saya harus melakukan riset dan membaca hampir tanpa henti. Pekerjaan itu kelihatan mudah, tapi yang pernah menjalani proses ini pasti tahu dimana letak kesulitannya.
Kesulitan pertama adalah karena sebagai mahasiswa PhD, meskipun kita sudah mempunyai proposal, kita bekerja secara soliter, sendirian. Beda dengan mengikuti perkuliahan dimana kita memiliki batasan waktu (akhir semester harus mengerjakan tugas akhir atau ujian), target dan bahan bacaan yang sudah ditentukan, menjadi mahasiswa PhD ibarat mengarungi lautan sendirian dengan perahu: kita tahu ada batas diujung sana, tapi batas itu tak tampak mata saat ini.
Karena pantai akhir belum terlihat, saya cenderung terseret arus yang kadang mengalihkan laju perahu dari tujuan awal ke tujuan lain di luar kompas navigasi. Dalam kasus mahasiswa PhD, kompas navigasi itu adalah proposal disertasi. Arus yang mengalihkan itu tidak mesti hal-hal yang buruk. Sebagian besar arus itu justru hal yang menarik dan sulit kita tolak. Ketika kita membaca satu karya, misalnya, kita selalu cenderung ingin melihat catatan kaki dan rujukan. Setelah itu kita merasa harus mencari rujukan itu dan membacanya padahal bacaan awal belum selesai. Belum lagi bacaan kedua yang kita baca berdasarkan catatan kaki tulisan pertama, kita telah tergoda oleh karya lain yang dirasa juga penting. Begitulah seterusnya minat kita menjadi puting beliung yang bisa menghanyutkan perahu kita.
Ketika kita terhanyut itu, kita tiba-tiba mempunyai ide gila untuk melakukan lain yang sama sekali tidak terlait dengan petunjuk kompas navigasi untuk menuju akhir tujuan. Misalnya tiba-tiba saya ingin sekali menulis satu topik yang tidak terlalu terkait dengan projek utama riset saya. Keinginan itu terus menghantui sampai saya harus menyerah dan akhrinya memuaskan dahaga sementara untuk menggali lebih dalam tema itu. Namun sepotong nurani saya selalu saja melarang: “jangan! kau bisa mengerjakan itu nanti, Zen!” Tapi sepotong bisiakan diri lain mengatakan lain: “kalau kau tidak menulisnya sekarang, orang lain akan menulisnya dan kau kehilangan kesempatan. Kau masih punya cukup waktu.”
Disitulah soalnya: mahasiswa PhD selalu merasa masih ada waktu bahkan sampai setelah ia melakoni masa itu selama lebih 5 tahun! Perang dua bisikan dalam diri saya inilah yang membuat seminggu ini saya tidak fokus sama sekali dan linglung: balik ke topik utama atau sementara mengikuti arus lain. Akibat ‘melamun’ intelektual ini saya malah jadi tidak melakukan apa-apa. Dan ketika perasaan itu muncul, ada perasaan berdosa.
Saya merasa lebih berdosa jika tidak melakukan apa-apa dibanding dengan tidak mendapatkan atau mencapai sesuatu. Jika sudah melakukan sebuah pekerjaan dengan baik, saya merasa lega meski tidak melihat hasilnya atau bahkan gagal mencapai hasil yang diinginkan. Secara psikologis, bekerja dan melakukan sesuatu itu menyehatkan, terlepas dari hasilnya seperti apa. Tak berlebihan jika saya selalu tiba-tiba terbawa pada suasana ketika dulu diskusi di Ciputat sampai larut tentang teori kerja Karl Mark. Omongan Marx selalu terngiang-ngiang: kerja adalah manifestasi, proyeksi diri kita. Dengan kerja, kita ada dan mengada!
Kembali ke soal perang dua bisikan itu, apa yang lantas saya lakukan adalah mengatur waktu: saya hanya akan menyentuh topik lain setidaknya beberapa kali dalam seminggu sementara waktu saya sebagian besar tetap akan diinvestasikan untuk riset topik disertasi. Strategi ini, setidaknya selama ini, lumayan berhasil. Saya masih bisa menerbitkan tiga jurnal yang sama sejakali tidak terkait dengan tema utama disertasi. Pada saat yang bersamaan saya juga sudah selesai sidang proposal da mulai menulis.
Namun lagi-lagi, soal membagi waktu ini mudah diucapkan sulit sekali dilaksanakan! Mengalihkan fokus dari satu soal ke soal lain dalam waktu cepat itu bukan perkara mudah. Meninggalkan begitu saja bacaan dan fokus riset hanya karena merasa harus mengerjakan hal lain yang lebih utama juga tidak mudah.
Sebagai mahasiswa PhD saya selalu diingatkan kawan agar memiliki mentalitas pelari maraton, bukan lari cepat sprint. Mengatur stamina dan semangat sangatlah penting. Saya sadar bahwa manusiawi sekali kalau kadang-kadang kita malas, linglung dan tidak semangat. Mungkin itu bagian dari hak kita. Membiarkan diri kita bermalas-malasan dalam kadar tertentu mungkin tidak soal. Yang penting kita harus segera kembali dan ingat pada tujuan awal, lihat kembali alat navigasi perahu kita!
Salam linglung dari Los Angeles