Bintang di atas Alhambra

bintang di atas alhambra(1)Andi Hakim

Tuan Zezen Zaenal Mutaqin mengirimkan di wall fesbuk saiyah satu gambar sampul buku, Bintang di Alhambra, yang di dekatnya ada ditulis statusnya sendiri: ‘Setelah 2 tahun menanti dengan sabar akhirnya novel saya siap terbit.’

Zen memang termasuk mahasiswa yang senang membaca dan menulis, selain berdiskusi dengan kawan-kawannya di UIN Jakarta. Satu diskusi yang ramai-ramai saja, karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dengan latar belakang pesantren NU. Setelah hadir di Jakarta mereka sedikit terkontal-kontal dengan aneka metoda interpretasi yang membuat pandangan mereka terhadap kitab-kitab klasik Islam sedikit tergoyahkan.

Pernah satu kali saya berdiskusi dengannya dan setelah berkali-kali dia menyebut nama-nama filsuf modern sebagai tanda bahwa dia telah membaca baca buku maka saya ambil sendal dan arahkan ke mukanya. Ia mengelak karena serangan mengejutkan tadi, dan itu sudah cukup bagi saya menutup diskusi dengannya dan berkata;

“Saya tidak kenal dengan orang-orang yang tadi kamu sebut, dan saya tidak peduli mereka siapa. Tapi dengan mengelak dari ancaman sendal saiyah sebenarnya saya tetap yakin anda tipe orang yang masih bisa mengambil keputusan bagi diri anda sendiri tanpa perlu merujuk-rujuk.”

Saya tidak faham apa dia mengerti atau tidak, tetapi dia bukan orang yang mudah kesal, ini karena setelahnya dia masih saja mengundang saya datang ke UIN.

Lama saya tidak mendengar kabarnya, tetapi ketika saya di eropa dia bilang dia mendapatkan beasiswa belajar di Ostrali dan mengatakan tentang sesuatu berkaitan dengan pelatihan pemateri bagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setelahnya dia pun hilang lagi, sampai dikiriminya saya pesan bahwa dia bekerja untuk Palang Merah. Dia bilang ingin bertemu saya di kota Jenewa, karena kebetulan ada undangan berkunjung ke markas besar Henry Dunant di kota indah ini. Saya tidak bertemu dengannya karena pada saat dia datang saya ada di kota lain.

Sebelum hari ini dia mengirimi saya sampul buku, pernah dikiriminya juga saya satu foto berisi dagangan alat-alat dan bahan-bahan toiletri, sanitasi kamar mandi. Dengan keterangan mohon doa restu atas pembukaan toko kelontong cleaning service miliknya. Nah siapa yang tidak ingin mendoakan orang yang punya usaha di sektor kebersihan? Itu karena kebersihan adalah sebagian dari Iman. Jadinya dia saya doakan menjadi pedagang kelontong yang sukses dan bersih dunia acherat.

Pada orang yang menjalani pertaruhan hidup beraneka ragam seperti ini, termasuk ketika dia mencelupkan diri pada usaha kebersihan maka Tuan Zezen mungkin contoh orang yang menjadikan prinsip: hidup mengalir terserah bawa badan kemana ala bohemian rapsody. Nyentrik dan nyeleneh.

Sehingga ketika dia membuat buku dengan judul Bintang di atas Alhamra dan mengirimkan sampulnya ke wall saya, maka jujur saja, saiyah langsung menduga-duga isinya soal kisah-kisah melo drama perjalanan ala buku-buku “finding the way on a winding road” penulis Indonesia. Seperti Negeri Lima Menara, 9 summer 14 autums, ketika cinta bertasbih, Edensor, Eifel I’m in love dan sebagainya. Ini mungkin kisah-kisah bohemian yang bokis dan saya pikir dia pasti bekerja keras untuk menjadi serius dengan bukunya.

Namun dari pemilihan judul saja, saya ragu apakah editor atau produsen buku memarahinya dan mengganti judul yang terkesan berbau luar negeri sebagaimana judul-judul novel sukses pemasaran sebelumnya. Sehingga si Zezen yang nyeleneh ini harus terima nasib dibongkar pasar oleh industri percetakan yang sekarang-sekarang ini seperti kehilangan aliran.

Novel seperti miliknya biasanya memiliki kronologi menanjak dimana pada akhir biasanya ada semacam pesan bahwa dari jalan berat dan berlumpur orang bisa dapet altar, piala, atau karpet merah kesuksesan. Suatu proses keras dan tempaan dimana pada akhirnya terjadi kristalisasi air mata dan keringat (Tukul Arwana).

Kronologi ini biar mendebarkan, diikat dengan gelombang pertarungan pilihan-pilihan. Bisa soal kelangkaan materi, duit maupun kekosongan pikiran dan pergulatan pertanyaan filosofis ala mahasiswa Soe Hok Gie atau Ahmad Wahid mencari tuhan, yang khas gejala daripada pertemuan tradisi dan modernisme seperti kisah robohnya surau kami (Hamka).

Hanya bedanya di dunia modern yang terkoneksi, dimana setiap orang terhubung dengan jejaring pelaporan sosial, maka kegalauan ini terproses dalam mesin multiplikasi menjadi laporan-laporan pandangan mata real time seperti fesbuk, twitter, blog, dst-dst yang membuat semua orang tiba-tiba harus menghadirkan kedirian dan keberadaannya dimana dan kapanpun mereka update ke mesin internet.

Di sini kemudian novel ala winding road memperoleh tantangannya. Ia bila sekedar berkisah tentang sebuah perjalanan maka si novel kemudian menjadi kadar luarsa dari hal kecepatan pembaca di media sosial. Bila ia bercerita tentang catatan harian ia juga bersaing dengan narsisme jutaan atau ratusan anggota sos-med lokal yang menciptakan ledakan-ledakan diari tiap hari, jam, dan detik.

Pada jalur seperti ini kemudian novel-novel winding road pada akhirnya minta ditarik keluar dari ketenggelamannya diantara narsisme real-time diary. Yang sayangnya (menurut saya) sering kali malah melontarkannya menjadi buku-buku nasihati atau sukses hidup. Dan ditaruh oleh manajer bagian pajang di toko buku dalam kumpulan buku-buku motivasi dan self-improvement.

Tetapi saya percaya,buku seperti Bintang di atas Alhambra dari Tuan Zezen Zaenal Mutaqin, pasti ditaruh di kalangan buku-buku novel sastra novel yang memang sudah seharusnya diberikan kepada buku-buku seperti ini. Ini karena bila saya ingatkan akan pribadi tuan Zezen Zaenal Mutaqin dan jalan hidupnya yang kerap ber-vivere peri coloso mente, hidup yang suka menyerempet-nyerempet bahaya seperti kebanyakan dari kita, saya yakin Bintang di Atas Alhambra punya kemampuan bukan hanya sekedar jurnal catatan harian dari si penulisnya, tetapi juga dapat menghadirkan sastra diari yang hidup dan memberi pembaca penemuan-penemuan kecil. Penemuan-penemuan kecil dalam hidup yang dipungut dan ditulis Tuan Zezen dalam novelnya, yang mungkin sering kita abaikan.

Repost dari notes Facebook Om Andi Hakim, senior dan guru saiyah 🙂

One Comment

Leave a Reply

%d bloggers like this: