NU dan Politik Trah

Entah benar atau salah. Dulu ketika hendak memilih organisasi kemahasiswaan di kampus, banyak senior yang berbisik begini: “kalau mau masuk jalur politik NU, kamu siapa?” Saya kaget mendengar pertanyaan itu. Saya belum mengerti seluk-beluk politik kampus, apalagi politik nasional. Tapi sejalan waktu berlalu saya mulai memahami pertanyaan itu. Tentu tidak sepenuhnya benar pertanyaan itu. Juga tidak salah sepenuhnya. Kasus Mahfud MD yang kandas jadi Cawapres karena dianggap kurang NU, menginatkan saya akan pertanyaan itu. 

Catatan ini saya buat karena kecintaan saya pada organisasi terbesar di Indonesia itu. Saya punya banyak kawan di NU. Semoga mereka membacanya dan ada hikmah dan pelajaran dari apa yang saya catatkan. NU adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya. Tapi NU juga bukan organisasi tanpa kekurangan dan kelemahan. Mari kita perbaiki bersama kelemahan ini.  Saya khawatir kalau ini tidak diperbaiki, pada jangka panjang ini akan membuat sumberdaya terbaik akan berfikir 2000 kali untuk masuk struktur politik NU hanya karena dia tidak punya trah. 

Saya tidak habis fikir ketika Mahfud MD yang bagian dari NU dianggap kurang NU. Kurang NU apa dia: Madura, pernah jadi menteri Gus Dur, ke mana-mana di jidatnya ada NU. Lebih kaget lagi ketika mendengar PB NU turun gunung atas desakan PKB untuk menjegal pencalonannya. Cak Imin disambut di PKB seperti pahlawan hanya karena berhasil menjegal orang lain jadi cawapres, bukan karena dia berhasil menjadi calon. Tapi ya maklumi saja, level Cak Imin mungkin baru sampai bisa menjegal orang, bukan menjadikan dirinya dipilih.

Perihal politik trah ini, kita harus akui, bukanlah persoalan khas NU. Partai politik besar seperti Demokrat dan PDIP juga parah. Untuk jadi ketua PDIP harus trah Bung Karno. AHY yang anak bawang jadi kandidat kuat calon presiden karena anak Pak SBY, bukan karena kiprahnya di organisasi. Anas yang jelas kerjanya ditebang dari awal. Semua akarnya bedol desa. Politik trah ini. Jadi sekali lagi ini permasalahan banyak organisasi, termasuk NU.

Dalam hal trah-trahan ini Muhammadiyah sepertinya lebih baik dan modern. Itulah mungkin alasan kenapa banyak kader NU tanpa trah yang beralih aktif di organisasi ini. Pak Din itu konon secara kutural orang NU. Beberapa kawan saya yang NU lantas aktif di organisasi kemahasiswaan Muhammadiyah dan menjadi pemimpin diorganisasi tersebut.

Di NU sayangnya tidak demikian. Meski secara retorika mereka selalu bilang NU adalah rumah bersama, dalam kenyataanya hampir semua posisi strategis ditentukan oleh politik trah: anak kyai mana, keluarga kyai mana. Konon hanya untuk jadi ketua PMII saja, organ kemahasiswaan NU, politik trah ini sangat kencang berperan.

Jika anda bukan keluarga atau anak siapa-siapa, tentu saja bisa aktif dan berperan di NU. Tapi siap-siap saja pada kesempatan penting terkait momen politik, akan tiba saatnya dimana anda akan ditanya keturunannya, trahnya, seperti menimpa Pak Mahfud. Sekali lagi ini terkait momen politik. 

Akibat dari budaya ini, kesempatan orang lain yang tidak punya trah tidak sama besar dengan yang punya garis ningrat NU. Akibat buruknya, NU sebenarnya dirugikan karena perkaderan kepeminpinan menjadi berputar disitu-situ saja. Dalam hal ini NU sebenarnya tidak juga beranjak dari praktik politik kepemimpinan pesantren: anak kyai yang akan pimpin pesantren. Pesantren itu mirip kerajaan kecil. Abdi dalemnya adalah para keluarga Kyai. NU mereplikasi budaya ini pada tataran yang lebih besar. Tapi polanya sama dan tidak berubah: mirip kaderisasi di pesantren. 

Sampai saat ini saya tidak bisa berharap banyak pola kaderisasi kepemimpinan gaya NU akan berubah. Kasus Mahfud menguatkan dugaan saya ini. Semoga kedepan akan lebih baik. 

 

 

Leave a Reply