Islam dan Demokrasi
Ketika membaca buku karya Saiful Mujani, Muslim Demokrat, sesaat setelah diluncurkan, saya langsung ingat apa yang diucapkan Kyai saya di Pesantran Darussalam Ciamis sekitar 8 tahun silam. Bapak Irfan Hilmy, Kyai saya itu, tak bosan-bosan menasihati santrinya agar menjadi muslim demokrat, mukmin moderat, muhsin diplomat. Tiga semboyan pesantren kami itu benar-benar dinternalisasikan dalam kehidupan para santri. Kunci memiliki tiga sifat itu, kata Pak Kyai, adalah berpikir luas dan terbuka. Maka tak aneh jika Pak Kyai sering mengapresiasi dan mengkritisi pemikiran Barat di samping pemikiran Islam.
Bayangan pesantren yang mengajarkan santrinya menjadi seorang demokrat dan mengadopsi cara pandang moderat bagi banyak orang Barat adalah hal aneh. Dalam bayangan mereka, pesantren/ madrasah adalah institusi di mana bibit teror disemai. Dari institusi itulah fundamentalisme Islam dan cara pandang ekstrim bermula. Pandangan negatif itu muncul karena mereka selama ini begitu saja menyamakan pesantren/madrasah yang ada di Indonesia dengan pesantren/madrasah di kamp-kamp Mujahidin Afganistan dan daerah Timur Tengah lainnya. Pesantren dan madrasah di Indonesia jelas sangat berbeda dengan yang ada di kawasan Timur Tengah.
Keunikan madrasah dan pesantren di Indonesia adalah prototipe keunikan Islam yang dijumpai di negeri ini. Islam Indonesia hadir sebagai bantahan terhadap tesis yang populer di kalangan pemikir Barat bahwa Islam pada dasarnya tidak sesuai dengan demokrasi. Islam dianggap tidak mendukung keberagaman budaya, keterbukaan pikiran, dan toleransi. Anggapan seperti ini muncul karena para pemikir Barat seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis dan lain-lain menyamakan begitu saja Islam dan Arab. Faktanya memang Islam lahir di tanah Arab. Dan fakta juga menunjukan bahwa tak satupun negara Arab yang mayoritas berpenduduk muslim itu sekarang hidup dalam sistem demokrasi. Tapi mengambil kesimpulan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi bisa memicu kontroversi.
Perdebatan apakan Islam sesuai atau tidak dengan demokrasi, muncul setelah orang seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis, Elie Kedourie dan lain-lain melihat dalam tiga dekade terakhir tak satupun negara Islam di dunia ini menerapkan sistem demokrasi. Hanya ada Mali, negara kecil di Afrika, yang sepenuhnya demokratis (Freedom House, 2002). Bahkan, delapan dari 13 negara paling represif di dunia adalah negara Islam. Fakta ini dikuatkan dengan beberapa kasus di Eropa Timur menyusul keruntuhan Uni Soviet. Enam negara pecahan Uni Soviet yang mayoritas berpenduduk Muslim dipimpin oleh rezim-rezim otoriter. Sementara negara lainnya, di kawasan yang sama, mengadopsi sistem demokrasi.
Jadi, apa yang salah? Orang seperti Samuel Huntington dan Bernard Lewis menjawab bukan fundamentalisme Islam atau ekstrimisme Islam yang menjadi penghalang, tetapi Islam pada dirinya sendiri memang bertentangan dengan demokrasi. Bahkan menurut Huntington, kelompok Islam liberal sekalipun pada dasarnya tetap memusuhi budaya politik Barat (Huntington, 1997). Ajaran Islam seperti konsep ummah, al-din wa al-daulah, Islam solusi semua masalah, adalah beberapa doktrin Islam yang diyakini menjadi penghalang demokrasi. Doktrin itu mengakar begitu kuat di semua kelompok Islam dan hampir mustahil dihilangkan.
Di tengah perdebatan hangat seputar apakah Islam sesuai dengan demokrasi, muncul Indonesia ke panggung dunia. Awalnya reformasi. Lantas tumbuhlah demokrasi. Semua proses demokratisasi di Indonesia berjalan hampir tanpa penghalang berarti. Kini Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Bahkan mungkin satu-satunya negara berpenduduk Islam yang fully-democracy. Pertanyaan Bernard Lewis “what went wrong” dengan Islam, bisa dibalik menjadi “what went right?” dengan Islam Indonesia.
Kenapa Indonesia bisa demoratis sementara negara Muslim yang lain tidak? Pertanyaan tersebut menuntut sebuah jawaban yang panjang dan menyeluruh. Saeful Mujani, ilmuan Politik yang tumbuh dari kultur santri, memberikan banyak hal berharga dalam mengurai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Buku Saeful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, memberikan persfektif yang sangat menarik dan unik. Melalui buku itu Saeful Mujani ingin membantah tesis yang mengatakan Islam tidak sesuai dengan demokrasi.
Temuan Mujani sedikit mirip dengan apa yang ditemukan Alexsis de Tocqueville ketika pada tahun 1830-an melakukan penelitian terhadap kehidupan orang Amerika. Dalam penelitiannya Tocqueville melihat agama Kristen di Amerika memiliki peranan positif bagi munculnya budaya kewargaan (civic culture). Budaya kewargaan adalah modal sosial yang sangat penting bagi munculnya demokrasi. Organisasi keagamaan berbasis gereja memberikan banyak hal seperti kemandirian, kritisisme, kesadaran akan masalah-masalah publik, kesadaran akan hak dan kewajiban warga dan lain-lain. Hal-hal demikian penting sekali peranannya dalam demokrasi.
Mungkin itu pula yang terjadi di Indonesia. Tesis bahwa semakin Islami seseorang maka semakin tidak demokratis, semakin tidak toleran dan semakin teralienasi ternyata sama sekali tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya. Seseorang yang sering shalat berjamaah, sebagi contoh, cenderung lebih aktif terlibat dalam organisasi-organisasi warga non-agama ketimbang yang tidak. Alasannya sederhana: orang datang ke masjid untuk shalat berjamaah, tapi biasanya mendapatkan lebih dari hanya sekedar shalat. Obrolan tentang irigasi yang rusak, hama tikus yang menyerang, kepala desa yang membawa lari uang bantuan dan lain-lain biasanya dibicarakan di mesjid setelah shalat. Kasus lain yang juga menarik adalah tahlilan dalam tradisi NU. Tahlilan sangat berperan positif dalam pembentukan budaya kewargaan karena alasan yang relatif sama dengan shalat berjamaah: orang bertemu, berkomunikasi dan lantas beraksi (melakukan sesuatu: membetulkan irigasi, kerja bakti membersihkan sampah dll).
Ada banyak sekali data menarik yang dikemukakan Mujani dalam bukunya itu. Namun secara keseluruhan fakta-fakta empiris hasil survei itu menunjukan satu hal: bantahan terhadap tesis bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi.
Kalau benar apa yang dikemukakan Mujani adalah bantahan terhadap tesis bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi, lantas apa yang menjadi penyebab tidak demokratisnya banyak negara Islam? Pertanyaan seperti ini tentu saja sangat rumit. Tapi yang jelas, tesis Islam tidak sesuai dengan demokrasi sesungguhnya baru sekedar asumsi yang belum diteliti secara empirik. Sebagaimana dikemukakan Mujani, sampai saat ini belum banyak ilmuan yang meneliti secara empiris implementasi demokrasi pada masyarakat di kawasan Timur Tengah. Memang sekilas Timur Tengah terlihat otoriter. Namun bukankah itu terjadi di level negara? Kita tidak tahu apa yang terjadi di kalangan masyarakat: apakah mendukung nilai-nilai demokrasi atau tidak. Bagaimana kita mau mengetahui dukungan masyarakat Timur Tengah terhadap demokrasi kalau penelitiannya saja hampir mustahil dilakukan karena rezim yang otoriter pasti tidak mengizinkan penelitian tersebut.
Argumen di atas dikuatkan oleh sedikit penelitian empirik yang dilakukan di Timur Tengah oleh Marx Tessler dan Pippa Noris yang mengungkapkan bahwa Islam tidak memiliki hubungan negatif dengan demokrasi (Mujani 2007). Artinya, semua kondisi yang tidak demokratis itu bukan disebabkan ajaran Islam. Muslim demokrat, karena itu, bukanlah hal yang aneh. Seorang muslim mestinya juga seorang demokrat, seorang mukmin seharusnya juga moderat, dan seorang muhsin lebih baik kalau juga diplomat.
2 Comments
ISLAM DEMOCRACY
Demokrasi adalah produk manusia dan manusia tempat salah dan dosa. Namun demikian saat ini diakui atau tidak demokrasi masih menjadi suatu sistem yang dianggap paling baik.Islam dan demokrasi bisa saja sejalan dan bisa saja tidak sejalan tergantung masing-m,asing individu dan ideologi yang dikembangkan.saya mendapatkan banyak ulasan tentang islam dan demokrasi, ada juga artikel tentang maraknya jaringan teroris di asia tenggara adalah berkaitan dengan tumbuh suburnya demokrasi di wilayah ASEAN saya baca di : http://www.islamdemocracy.blogspot.com.
ina
salam..saya sangat tertarik dengan tulisan anda ini..saya cuma mo tanya dimana saya bisa mendapatkan buku Saeful Mujani mengenai Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru?terima kasih